G20: Skenario Menyelamatkan Krisis Kapitalisme Neoliberal - ekologi [merah]
Headlines News :
Home » » G20: Skenario Menyelamatkan Krisis Kapitalisme Neoliberal

G20: Skenario Menyelamatkan Krisis Kapitalisme Neoliberal

Written By ekologi [merah] on 4.02.2009 | Kamis, April 02, 2009

Pernyataan Sikap
Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme-Imperialisme (GERAK LAWAN)

G20: Skenario Menyelamatkan Krisis Kapitalisme Neoliberal
”Indonesia Kembali dalam Jebakan Utang dan Pasar Bebas”

Pertemuan negara-negara G-20 dalam The London Summit akan segera diselenggarakan pada tanggal 1 – 2 April 2009. Tentunya agenda forum 20 pemimpin negara-negara maju dan berkembang tersebut punya banyak tawaran. Beberapa pihak pun akhirnya berharap banyak akan adanya solusi berbagai macam krisis melalui forum ini. Namun karena secara garis besar masih tetap dalam kerangka kebijakan kapitalisme-neoliberal, tawaran dan harapan sepertinya akan jauh api dari panggang. Hal tersebut kami tuangkan dalam pernyataan sikap kami di bawah ini:

Pertama, kami menyatakan bahwa G-20 tidak memiliki legitimasi sebagai forum pengambilan keputusan untuk rakyat di seluruh dunia, khususnya yang berada di negara-negara miskin dan berkembang. Liberalisasi investasi, perdagangan dan keuangan (pasar bebas) yang menjadi agenda utama G-20 adalah rangkaian kebijakan yang telah dan akan mendorong krisis menjadi semakin parah.
Selanjutnya kami mendorong suatu upaya penyelesaian krisis di tingkat global yang lebih representatif dan sah, salah satunya melalui mekanisme PBB. Berbagai inisiatif yang sudah dilakukan dengan pembentukan High Level Task Force (HLTF), yang merupakan koordinasi global dalam rangka mengatasi krisis pangan. Kemudian ada pula usulan untuk pembentukan Global Economic Council (yang diinisiasi oleh Joseph Stiglitz), yakni sebuah sistem penyimpanan global yang skupnya diperluas. Cara-cara alternatif dan partisipatif merupakan jalan keluar yang lebih demokratis dalam mengambil keputusan yang dapat mempengaruhi seluruh dunia.

Kedua, kami mendesak negara-negara maju untuk tidak memperalat negara-negara berkembang dalam pertemuan G-20 untuk merevitalisasi Putaran Doha Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan pembukaan investasi dalam rangka eksploitasi kekayaan alam negara berkembang dan perdagangan karbon/offset dalam penyelesaian krisis. Sebagai bagian dari masalah krisis global, terutama krisis pangan, mekanisme pasar dalam WTO sudah sejak lama diprotes oleh rakyat di seluruh dunia. Hal tersebut telah menimbulkan: 1) Ketergantungan yang sangat besar terhadap pasar internasional, yang pada saat krisis ini menyebabkan pertanian di berbagai negara kolaps; 2) Eksploitasi secara besar-besaran sumber daya perikanan negara-negara berkembang via negosiasi NAMA (Non-Agriculture Market Access); 3) Subsidi domestik dan ekspor yang tidak adil dan merusak pasar domestik (terutama negara miskin dan berkembang); 4) Keuntungan sejumlah perusahaan transnasional (TNCs) besar pertanian, pemerintah negara sponsornya, serta spekulator di pasar internasional pangan dan pertanian.
Kami juga mendesak sebuah strategi ekonomi domestik yang melindungi kepentingan rakyat dari serangan utang, eksploitasi sumber daya alam dan liberalisasi pasar.

Ketiga, Pertemuan G-20 tidak digunakan untuk mempromosikan utang baru bagi negara-negara berkembang melalui reformasi Lembaga Keuangan Internasional (IFIs). Agenda tersebut semakin menguatkan kembali peran Bank Dunia dan IMF dalam penyebaran utang luar negri yang semakin memiskinkan negara-negara berkembang. Kami juga menolak utang baru dan penggunaan anggaran negara untuk restrukturisasi perbankan dan lembaga keuangan yang mengalami kebangkrutan akibat krisis.
Transaksi utang luar negeri memaksa Indonesia untuk terus melaksanakan kewajiban pembayaran utang luar negerinya meskipun sumber keuangan negara terbatas. Sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren yang meningkat. Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 277 triliun. Sedangkan total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp 101,9 triliun.
Reformasi terbatas terhadap IMF dan Bank Dunia bukanlah jalan keluar. Sebab dua lembaga tersebut sejak lama beroperasi sesuai dengan selera negara-negara kaya yang menjadi pemilik saham mayoritas. Institusi finansial ini seharusnya berfungsi mendukung pembangunan. Namun, institusi finansial yang ada sekarang merupakan pengejawantahan ideologi kapitalisme-neoliberal yang malah mereduksi makna pembangunan hanya pada pertumbuhan ekonomi semata. Selanjutnya, terjadi legalisasi praktek akumulasi kapital tanpa batas oleh TNCs dengan mengesampingkan kerusakan sosial dan ekologi.

Keempat, dibutuhkan tanggung jawab dan kewajiban negara (state obligation) secara langsung serta perubahan kebijakan secara mendasar dalam rangka penyelamatan rakyat. Menolak model penyelesaian krisis apalagi hanya dalam bentuk stimulus “pemicu” dalam bentuk insentif bagi penanaman modal, pembebasan pajak dan keringanan tarif bea masuk yang merugikan perekonomian nasional.
Konsep stimulus ekonomi sebagaimana yang direncanakan pemerintah Indonesia, tidak berkontribusi langsung terhadap pekerja dan masyarakat miskin yang justru terkena dampak paling parah. Stimulus hanya berkontribusi terhadap para pelaku usaha, yang itupun tidak akan dapat langsung diharapkan dapat mempertahankan kondisi keuangan perusahaan yang tergerus akibat pelemahan pasar global.
Langkah yang mesti diambil oleh pemerintah/negara dalam mengatasi krisis harus merupakan langkah koreksi total dari mekanisme pasar. Krisis yang sedemikian akut tidak akan dapat diatasi dengan cara-cara yang konservatif seperti rangsangan/stimulus yang terkesan masih mengharapkan pasar dapat bekerja secara alamiah. Paradigma penyelesaian krisis sebagai bagian dari paradigma pembangunan ekonomi harus diubah secara progresif yaitu menggantikan pasar dengan ekonomi perencanaan yang menuntut peran langsung negara dalam melibatkan rakyatnya untuk membangun stabilitas ekonomi yang riil. Hal ini tentunya berhubungan erat dengan amanat konstitusi RI yang menyatakan bahwa produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

Kelima, Kami menuntut penyelesaian krisis sumber daya alam (energi, pangan, air dan perikanan), krisis lingkungan (pencemaran, perubahan iklim), dengan pengarusutamaan hak-hak rakyat terutama buruh, petani dan konsumen kecil.
Kehancuran sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal, di mana produksi terkonsentrasi pada segelintir individu dan korporasi, harus menjadi momentum perubahan mendasar. Perekonomian nasional ke depan haruslah menjamin terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan budaya seluruh masyarakat. Sekaligus melakukan koreksi atas pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi ekspor demi kepentingan Negara kapitalisme maju menjadi lebih mengedepankan kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat banyak dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekologi.

Keenam, Presiden SBY agar tidak membuat kebijakan yang merugikan rakyat dengan penciptaan utang baru yang dapat menjadi beban bagi pemerintahan berikutnya. Mengingat utang indonesia yang sudah terlampau besar dan menjadi beban ekonomi nasional dan perekonomian rakyat. Selain itu penggunaan utang untuk restrukturisasi (bantuan keuangan) untuk pengusaha di tengah kemiskinan rakyat adalah tidak dibenarkan. Kebijakan utang baru hanya akan melanggengkan ketergantungan Indonesia pada IMF, World Bank, dan ADB. Tiga lembaga yang harus bertanggung jawab terhadap krisis berkepanjangan yang dihadapi Negara ini.

Di tengah kritik yang tajam atas kegagalan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal saat ini, pemerintah justeru sangat aktif mengusulkan agenda-agenda penyelamatan/pemulihan ekonomi yang berorientasi pasar. Kebijakan liberalisasi pasar yang luas hanya akan menjadi beban bagi pemerintah berikutnya dalam memulihkan krisis ekonomi dan menjadi beban bagi perekonomian nasional dan ekonomi rakyat saat ini dan di masa yang akan datang.


Jakarta, 31 Maret 2009

Serikat Petani Indonesia, Serikat Buruh Indonesia, Koalisi Anti Utang, Institute for Global Justice, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Sarekat Hijau Indonesia
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekologi [merah] - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger