Tatanan keuangan dunia sekarang ini merupakan suatu sistim yang, sebenarnya, sudah kadaluarsa karena, menurut kesepakatan konferensi Bretton Woods, seharusnya hanya berlaku selama 27 tahun saja. Berdasarkan kesepakatan tersebut, sejak tahun 1944 hingga 1971, Standar Penukaran Emas-Dolar—yang didasarkan pada nilai tukar yang telah ditetapkan dan yang didasarkan pada tingkat kepastian stabilitas moneter—harus diberlakukan pada sistem keuangan dunia. Sejak 1971, sejak Amerika Serikat (AS) menghentikan jaminan cadangan emasnya terhadap nilai dolar, keseimbangan pasar berubah dengan adanya perubahan drastis tersebut.
Selama lebih dari 20 tahun, negeri-negeri terkaya di dunia, terutama AS, berupaya sekuat tenaga menyeret, menjerumuskan, negeri-negeri terbelakang ke dalam kebijakan ekonomi neoliberal, yang hasilnya adalah: dibukanya ekonomi negeri-negeri terbelakang tersebut—suatu cara yang tak dipikirkan matang-matang, tak bijak, dan berada di luar kemampuan nyata mereka untuk mengaturnya.
Salah satu pilar kebijakan tersebut, yang merupakan satu faktor intrinsik yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dunia, adalah liberalisasi tanpa pandang bulu dalam neraca pembayaran dan perhitungan finansial. Ketidakstabilan tersebut disebarkan melalui cara (yang disebut) dampak seretan-gerbong (bandwagon efect) atau, dengan kata lain, melalui kekuatan globalisasi pasar modal yang, dengan cara sedemikian rupa, membuat dampak ketidakstabilan tersebut sekonyong-konyong sudah berada di hadapan muka (bukan saja) negeri-negeri yang menerapkan kebijakan tersebut, namun juga berdampak pada negeri-negeri lain, dan seberapa besar dampaknya tergantung dari seberapa besar ekonomi negeri tersebut.
Dengan alasan tersebut, sangat lah bermanfaat bila kita menyebut contoh Cina dan India, yang kurang merasakan dampak krisis ekonomi baru-baru ini. Seperti yang dinyatakan dalam laporan terakhir United Nations Conference ond Trade and Development (UNCTAD): sebaiknya dicatat bahwa itu lah, tepatnya, negeri-negeri yang bisa bertahan dari godaan untuk terburu-buru menyatukan ekonominya ke dalam sistim keuangan dunia.
Dengan kemajuan alat-alat modern dalam pemrosesan informasi otomatik dan telekomunikasi, pasar moneter mengembangkan dinamikanya tersendiri, hingga menjadi sektor penting pasar keuangan dunia dan, secara bertahap, memisahkan diri, terlepas, dari kehidupan ekonomi nyata.
Sekarang ini, dalam skala dunia, jumlah transaksi harian penjualan mata uang asing (yang lansung bisa disediakan) diperkirakan mencapai US $ 1, 5 trilyun. Jumlah tersebut tak termasuk dengan apa yang disebut sebagai operasi-operasi keuangan tambahan, yang jumlahnya kurang lebih sama. Camkan lah perbandingannya dengan jumlah total ekspor dunia dalam satu tahun, yang berjumlah sekitar US $ 6.5 trilyun, sehingga kita bisa membayangkan: betapa luar biasa besarnya jumlah transaksi moneter yang tak berkaitan dengan perdagangan nyata.
Walaupun ada asumsi bahwa sebagian transaksi-transaksi penting tesebut berkaitan dengan operasi-operasi seperti untuk subsidi, donasi, transfer antar-negeri, dan sebagainya, namun, tak perlu diragukan lagi, bahwa sebagian besar transasksi-transaksi tersebut sebenarnya berkaitan dengan operasi-oprasi spekulasi.
Di seluruh lingkungan internasionalyang masih memperdebatkan musabab krisis finansial tersebutterdapat kebutuhan akan transparansi informasi dan pengawasan perbankan yang lebih efektif. Dalam bidang tersebut, antara kebutuhan dengan kemajuan, bagaimana pun juga, ternyata tidak lah simetris/sejalan.
Sebagai contoh, dalam praktek sehari-hari, kita dihadapkan pada perkembangan (mencemaskan) kegiatan entitas keuangan yang sangat dilindungimisalnya saja apa yang disebut sebagai dana-dana terlindungiyang, dalam aktivitasnya, memperoleh pembebasan pajak dan diperbolehkan memberikan secuil (atau tidak sama sekali) informasi. Padahal, institusi-institusi aktivitasnya setiap hari melakukan transaksi yang sangat besarlebih besar ketimbang cadangan finansial yang ada di bank-bank negeri-negeri terbelakangdan memiliki kemampuan nyata untuk menggoyahkan pasar keuangan serta (akibatnya) bisa menghancurkan kegiatan ekonomi negeri-negeri terbelakang. Bahkan, dalam banyak kasus, aktivitas institusi-institusi tersebut ternyata juga mengorbankan pasar negeri-negeri yang paling maju sekali pun.
Baru-baru ini, salah seorang direktur bank, yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah keuangan Internasional, menunjukan kekawatirannya bahwa cara pembebasan pajak akan menyebabkan terjadinya krisis finansial di masa depan.
Semua itu memberikan pelajaran pada kita bahwa, dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih transparan dan agar pengawasan terhadap bank bisa lebih efektif, yang utama sekali diperhatikan adalah pengawasan terhadap aktifitas (kekuatan) institusi finansial tersebut, yang kemampuannya bisa menggoyahkan perekonomian duniadan yang, saat ini, kemampuannya lebih kuat ketimbang kemampuan negeri-negeri Dunia Ketiga.
Kepala pengawas moneter Hong Kong—sebuah wilayah yang memiliki cadangan finansial sebesar US$ 90 milyar, dan termasuk dalam kategori liberalisasi ekonomi dan finansial yang tinggipada pertengahan krisis 1998, menyatakan: “Hong Kong, walaupun merupakan sebuah wilayah yang memiliki daya tahan kuat terhadap serangan krisis ekonomi, karena memiliki fondasi ekonomi yang sangat kuat dan tak memiliki hutang, tapi kegiatan spekulasi merupakan ancaman yang membahayakan bagi struktur model ekonomi semacam Hong Kong. Hong Kong saja, yang sekalipun telah memiliki fondasi ekonomi kuat, bisa terancam oleh kegiatan spekulasi, bagaimana dengan negeri-negeri yang pasarnya baru berkembang dan industrinya pun belum maju?
Tapi, spekulasi bukan lah satu-satunya ancaman bagi stabilitas negeri-negeri berkembang. Ketergantungan yang sangat besar terhadap pinjaman modal jangka pendek menyebabkan mereka rentan terhadap serangan gejolak-gejolak yang berasal dari luar, meskipun kebijakan ekonomi mereka kedengarannya lebih berorientasi ke dalam.
Model sistem keuangan internasional semacam itu memaksa negeri-negeri berkembang dan negeri-negeri yang baru membangun menahan sumber cadangan devisanya namun, hari demi hari, cadangan devisa tersebut semakin tak bermakna bagi pembangunan nasionalnya karena harus dibayarkan untuk hutangyang, hari demi hari juga, semakin melilit. Sebenarnya, tujuannya menahan devisa tersebut adalah: mengakumulasikan simpanan, dalam bentuk cadangan devisa, agar bisa memperkuat/mempertahankan devisa nasional mereka dari serangan para spekulan atau, dengan kata lain, agar bisa mempertahankan stabilitas keuangan mereka. Namun, dalam makna tersebut, laporan terakhir UNCTAD menyebutkan bahwa lebih dari 20 % total pendapatan bersih negeri-negeri berkembang dipakai untuk meningkatkan cadangan nasional mereka. Bagi negeri-negeri yang dianggap pasarnya baru berkembang, prosentasi tersebut dianggap lebih tinggi jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada tahun 80-ansangat ditentukan oleh daya tahan mereka terhadap menguapnya arus-arus modal.
Akumulasi cadangan tersebut harus dilakukan meskipun fleksibilitas nilai tukarnya semakin tingginilai kurs cadangannya semakin rendah sajadan meskipun reformasinya diarahkan untuk memperbesar akses kapital asing ke dalam negeri-negeri tersebut.
Sudah kita ketahui bahwa meskipun cadangan tersebut bisa menghasilkan keuntungan bila diinvestasikan ke dalam aset-aset finansial internasional, tapi resiko yang harus ditanggungnya sangat besar karena sumber yang seharusnya bisa dipakai untuk pembangunan tak bisa dimobilisasi. Lebih-lebih, dalam aktivitas finansial, biaya penyimpanan tersebut biasanya lebih besar ketimbang yang selayaknyakarena tingginya suku bunga yang harus dibayar (oleh negeri-negeri berkembang dan negeri-negeri yang disebut sebagai negeri-negeri yang sedang bangkit) untuk kredit yang mereka terima.
Contohnya: cadangan Korea Selatan pada tahun 1991 berjumlah US$ 13 milyar; tahun 1996, berjumlah US$ 34 milyar; dan pada bulan Januari, 2000, cadangan tersebut telah mencapai US$ 74 milyar; dengan kata lain, cadangan pada tahun 2000 lima kali lipat dibandingkan dengan cadangan tahun 1991, dan dua kali lipat dibandingkan cadangan tahun 1996.
Tujuh puluh persen dari cadangan tersebut tersimpan di bank-bank sentral seluruh dunia dalam bentuk dolar Amerika, dan sekitar 727 milyarnya tersimpan di Amerika Serikat. Suatu hal yang janggal; dengan cadangan yang mereka miliki, sebenarnya negeri-negeri berkembang lah yang memberikan kontribusi dalam menyediakan pinjaman murah, pinjaman jangka panjang, dan membiayai negeri-negeri kaya/makmur di dunia.
Maka jelas lah bahwa sistem keuangan yang demikian memiliki kemampuan dalam memaksa negeri-negeri miskin untuk menahan cadangan sumber devisanya meskipun tak sejalan dengan kepentingannya, hanya sekadar untuk melindungi diri dari instabilitas dan, dengan demikian memungkinkan negeri-negeri miskin membiayai negeri-negeri kaya. Karenanya, yang demikian itu memerlukan analisa yang lebih mendalam.
Di sisi lain, pembukaan/liberalisasi ekonomi, dengan segala resiko dan dengan perubahan bentuk pembiayaan dalam skala internasional, menghasilkan pertumbuhan (yang mengagumkan) pasar negeri-negeri yang baru bangkit. Pada tahun 1980-an, 24 negeri (terpenting) yang baru bangkit, secara keseluruhan, telah memiliki modal sebesar US$ 145 milyar, pada tahun 1992 gambaran tersebut telah meningkat tujuh kali lipat dan, pada tahun 1998, hampir mencapai lima belas kali lipat.
Perkembangan memukau pasar yang terorganisir, yang terjadi di negeri-negeri yang baru bangkit, telah meningkatkan ketidakstabilan sistem keuangan internasional. Kita harus ingat bahwa, setiap hari, pasar modal melakukan penilaian kembali atas berbagai investasi, dan penilaian tersebut akan dijadikan sebagai landasan bagi keputusan (konstan) para investor.
Tapi, kemudian muncul persoalan baru: penilaian tersebut mengakibatkan terjadinya transaksi dalam jumlah yang lebih besar dan lebih cepat ketimbang masa-masa sebelumnya, yang mengakibatkan ketidakstabilan pasar modal.
Dampak lainnya, akibat kebijakan neoliberal tersebut, adalah: terjadinya perpindahan aset milik negara ke tangan pengusaha internasionalyang, dalam kenyataannya, jauh lebih kuat ketimbang pemerintah.
Perbandingan rasio antara biaya dengan manfaat pinjaman jangka panjang tersebut tidak menguntungkan negeri-negeri Dunia Ketiga. Terutama, dalam hal keuntungan finansial, rasio tersebut memberikan problem (yang menjengkelkan) terhadap sektor transaksi keuangan (dengan luar negeri) karena, ternyata, deviden mengalir/dikirim ke luar negeri dan, pada umumnya, dalam jangka pendek saja sudah bisa mengeruk kembali arus keuangan (yang tadinya mengalir ke dalam negeri).
Jika kita mengambil contoh Amerika Latin, terlihat bahwa investasi yang ditetapkan oleh neraca pembayaran, ternyata, merupakan hasil dari privatisasi dan, dengan demikian, tercermin pula perubahan kepemilikan aset-aset akibat adanya penghisapanaset, yang semula ditujukan untuk kepentingan lokal berubah menjadi aset yang diperuntukan bagi kepentingan non-lokal (dengan demikian, mereka, sebenarnya, tidak melakukan investasi yang dapat mendatangkan kesejahteraan dan pekerjaan). Investasi tersebutyang semula dinilai sebagai arus-masuk dalam neraca pembayaran dan perhitungan finansial (saat perubahan kepemilikan didaftarkan)kemudian bertahan dan memberikan masukan berupa pertambahan pendapatan yang (namun) dinilai sebagai arus-keluar untuk pembayaran pembagian keuntungan di luar negeri, sehingga malahan mendekapitalisasi negeri yang menerima investasi dan meningkatkan problem tehadap sektor ekternalnya (atau hubungan ekonomi luar negerinya). Arus sumberdaya tersebut, yang mengalir ke negeri-negeri kayadan jarang diberitakan oleh media massasangat bertolakbelakang dengan pemberitaan (terus menerus) yang menyatakan bahwa negeri-negeri miskin telah ditingkatkan pendapatannya oleh investasi asing.
Jika kita, secara menyeluruh, melihat kembali unsur-unsur yang ada dalam neraca pembayaran Amerika Latin dan Karibia, maka terungkap lah elemen-elemen yang bisa menguatkan analisa tersebut, yakni dengan membuktikan bahwa yang menjadi penyebab (sebenarnya) defisit neraca pembayaran bukan lah karena evolusi neraca perdagangan yang tak menguntungkansebagaimana penjelasan banyak orangakan tetapi karena pencapaian unsur pendapatannya yang, setelah dihitung transfer-bersih arus timbal-balik sumberdayanya, lebih besar mengalir ke luar (berupa keuntungan investasi luar negeri).
Dalam periode 1990-1999menurut perhitungan ECLACakumulasi defisit neraca pembayaran Amerika Latin mencapai sekitar US$ 422 milyar. 95 % hasil (negatif) defisit tersebut disumbangkan oleh unsur pendapatan.
Oleh karena itu, tak ada alasan lagi bahwa swastanisasi, yang digembar-gemborkan kebijakan neoliberalyang, katanya, dalam beberapa kasus, bisa menghasilkan peningkatan pendapatan secara kilatsesunguhnya merupakan transfer-bersih (jangka-menengah dan jangka-panjang) sumber devisa yang akan menghasilkan konsekuensi lilitan spriral-hutang. Lebih jauh lagi, kebijakan pangalihan aset (tanpa pandang bulu) kepada orang asing dalam skala luas tak akan memperbaiki perubahan struktural atau memenuhi kebutuhan nyata ekonomi Amerika Latin [per se (2 )].
Peninjauan kembali model sistem keuangan internasional (yang berlaku saat ini) tak akan lah lengkap tanpa mengacu pada peran IMF. Banyak kritikan yang ditujukan pada IMF sehubungan dengan cara mereka menyelesaikan krisis sekarang ini. Terutama, tuduhan mengenai ketidakmampuan IMF dalam memprediksikan apa yang akan terjadi dan memaksakan (dengan segala bahayanya) syarat-syarat perjanjian kepada negara-negara debitor, yang memberikan hak kepada mereka untuk mencampuri strategi pembangunan sosial pemerintahyang menyebabkan pemerintah tersebut terpuruk ke dalam problem domestik serius yang, pada akhirnya, menimbulkan ketidakstabilan dan memaksa mereka dengan segera menghamburkan sumber-sumber keuangan (devisa)-nya guna mengakhiri krisis tersebut padahal mereka sangat membutuhkannya. Banyak orang berkata bahwa IMF memang seharusnya, demi tindakan preventif, menyediakan fasilitas hutang-bunga rendah karena sumber ketidakstabilan tersebut disebabkan guncangan internasional.
Ada juga yang menyarankan agar IMF memberikan Hak-hak Khusus Menarik Uang bagi negeri-negeri yang kebijakan ekonominya terhambat krisis keuangan.
Yang lainnya mengusulkan agar, secara internasional, diberikan penangguhan pembayaran hutang bagi negeri-negeri yang terancam likuiditasnyabila disebabkan oleh pengaruh (krisis) eksternalsehingga, dengan demikian, mereka bisa menjadwalkan kembali hutang-hutannya dan dampak krisis bisa ditanggung secara adil oleh debitur serta kreditur.
Kesamaan dari usulan-usulan tersebut di atas adalah pengakuan bahwa IMF tak memiliki andil dalam menata stabilitas ekonomi internasional, perannya sekadar sebagai organisasi yang memulihkan krisis yang diderita kreditur, atau bukan sebagai organisasi yang menyediakan dana preventif bagi debitur, yang sedang mencari dana agar tak terancam krisis likuiditas keuangan.
Dalam realitasnya, salah satu kelemahan mendasar IMF adalah: memaksakan syarat-syarat hanya kepada debitur-debitur Dunia Ketiga namun tidak kepada kreditur-kreditur dari negeri-negeri yang makmur. Dengan demikian, mendorong para kreditur bertindak secara tak bertanggungjawab demi mencari keuntungan sebesar-besarnya, berani mengambil resiko besar pada periode boom ekonomi. Tapi, pada saat dihantam krisis, IMF berusaha menjamin investasi/pinjaman yang diberikan tetap bisa dikembalikan, yakni dengan mendorong negeri-negeri Dunia Ketiga terus menerus mengemis hutang yang, di atas segagalanya, mensyaratkan tingkat bunga yang tinggiagar menutup resiko yang diambil oleh pemberi pinjaman/investor saat mereka menanamkan uangnya di negeri-negeri tersebut. Ya, dengan demikian, agar bisa memenuhi kewajiban membayar hutangnya, negeri-negeri Dunia Ketiga harus kembali mengemis hutang pada IMF. Semua itu, maknanya: bahwa tugas IMF adalah menghilangkan resiko para kredituryang akan menentukan tingkat bunga hutang.
Terdapat kerancuan dalam perdebatan mengenai keterlibatan sektor swasta negeri-negeri kaya untuk mencegah dan memecahkan krisis yang terjadi. Sayangnya, tak ada seorang pun mampu menjelaskan secara detail bagaimana usulan tersebut bisa dilaksanakan.
Akhirnya, tak seorang pun juga bisa mengabaikan kenyataan bahwa kerja-kerja yang dilakukan oleh IMF, dalam kenyataannya, semata-mata sekadar sebagai kaki tangan Amerika Serikatsatu negeri yang menentukan struktur IMF agar ia, secara sepihak, bisa mengatur negeri-negeri lain demi melayani tujuan-tujuan kekuasaannya yang sangat besar di tingkat internasional.
Terlepas dari kritikan-kritikan dan kelemahan-kelemahan yang melekat pada IMF, dan segala hal yang pernah diungkapkan beberapa tahun terakhir ini, faktanya hingga saat ini, negeri-negeri yang memiliki problem keuangan tak memiliki pilihan lain kecuali bersandar pada IMFmengemis jalan keluar, dan mengatasinya bersama. Dihadapkan pada pengemis semacam itu, IMF memaksa mereka menanggalkan/mencabut segala macam peraturan perdagangan dan keuangan, termasuk, tentu saja, menuntut liberalisasi kapital dan aturan-aturan finansial dengan sepenuh-penuhnya. Dengan kata lain, makna sebenarnya, adalah: menghilangkan segala hambatan yang menghalangi investasi asing, menangguhkan segala bentuk bantuan atau perlindungan bagi perusahaan-perusahaan domestik, dan mengizinkan partisipasi (tanpa batas) perusahaan-perusahaan asing dalam sektor finansial.
Dilema besar yang dihadapi negeri-negeri tersebut adalah: semakin mereka menerima syarat-syarat tersebut, semakin mereka akan ditelikung oleh krisis di masa mendatang; dan, bila mereka menolaknya, mereka tak akan menerima bantuan yang sangat mereka butuhkan untuk mengatasi krisis tersebut.
Sementara perdebatan-perdebatan mengenai syarat-syarat tersebut berlangsung, situasi krisis pun berjalan terus, bahkan semakin memburuk, sehingga tekanan untuk menerima syarat-syarat tersebut tak bisa dipikul lagi.
Lembaga-lembaga elit Amerika Serikat, yang pekerjaaannya menghitung tingkat-resiko, tak hanya menilai tingkat resiko perusahaan, tapi juga menghitung tingkat resiko negeri-negeri tersebut, dan bisa campur tangan dalam proses-proses penanganan resiko. Saat lembaga-lembaga tersebutdalam periode menunggu campur tangan IMFmengumumkan suatu perubahan (negatif) dalam tingkat resiko, problem-problemnya semakin memburuk, lebih banyak lagi kapital yang kabur, dan biaya finansial untuk memasukkan kembali kapital semakin meningkat.
Situasi tersebut menghadirkan tiga pertanyaan:
Yang pertama: Rasionalitas dan moral apa yang ada di balik tatanan dunia yang mengizinkan sekolompok pakar yang berbasis di Washingtonyang, semua orang tahu, bahwa kedudukan mereka, pada akhir analisis, tergantung pada dukungan Amerika Serikat sebagai “pemegang saham-pengontrol” IMFuntuk merancang, dalam beberapa jam saja, program-program penyesuaian ekonomi yang, sebenarnya, sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat, sehingga hajat hidup jutaan umat manusia tergantung padanya?
Yang kedua: Dalam menghadapi situasi seperti itu, pemerintah negeri-negeri Dunia Ketiga harus mensubordinasikan dirinyadalam beberapa hari, bahkan dalam beberapa jam sajakepada keputusan-keputusan ekonomi-politik yang dibuat oleh segelintir pakar asing yang bertindak di bawah komando Amerika Serikat. Bagaimana mungkin hal itu bisa diselaraskan dengan demokrasi dan kemandirian/kedaulatan negeri?
Yang ketiga: Siapa yang harus bertanggungjawab bila program-program menyebabkan kekacauan ekonomi, politik dan sosial yang, tentu saja, akan samasekali melumpuhkan negeri, seperti yang terjadi di Indonesia dan Ekuador? Siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kematian, pembakaran toko-toko dan pabrik-pabrik, dan kesengsaraan jutaan keluarga akibat pengangguran yang semakin meningkat.
Negeri-negeri Dunia Ketiga sedang menunggu jawabannya.
Tapi, konsekuensi-konsekuensi dari tatanan neoliberal tersebut, yang yang perlu ditunggu lagi, di antaranya adalah:
Pertama, program penyesuaian yang dipaksakan IMF mengkibatkandalam arti yang sesungguhnya—pemotongan drastis dalam pembelanjaan sosial, terutama biaya pendidikan dan perawatan kesehatan. Sementara itu, kehidupan itu sendiri menunjukan bahwa jika persoalan-persoalan sosial tak dihubungkan dengannya (kesehatan dan perawatan kesehatan), tak ada yang namanya pertumbuhan bisa dikatakan solid, tak peduli betapa menakjubkannya statistik makroekonomi yang disajikan pada rakyat. Hari demi hari terus berjalan, dunia telah kehilangan kepercayaannya pada “keajaiban” pertumbuhan ekonomi yang berdiri di atas landasan pengangguran dan peningkatan problem-problem sosialyang, sederhana saja, cepat atau lambat, akan meledak menjadi instabilitas politik yang, pada gilirannya juga, akan menyebabkan kaburnya kapital, tingkat bungan yang tinggi, resesi, lumpuhnya pasar modal dan menurunnya nilai tukar uang, semuanya berputar-putar tak berkesudahan.
Demikian pula, kebutuhan untuk melakukan investasi dalam bidang pendidikan telah memberikan buktinya sendiri. Perwakilan Bank Pembangunan Antar-Amerika, yang menghadiri konferensi globalisasi yang diselenggarakan di Kuba pada bulan Januari, menjelaskan bagaimana, sebagai contoh, rendahnya tingkat pendidikan di Amerika Latin menjadi faktor penyebab menurunnya tingkat pertumbuhan di region tersebut.
Semua itu berkaitan dengan isu menurunnya bantuan pemerintah, dan pembelaan irasional bahwa investasi swasta bisa memnuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur sosial, padahal semakin terbukti saja bahwa kepentingan kapital swasta untuk memperoleh likuiditas dan mengeruk keuntungan tak bisa didamaikan dengan kebutuhan investasi jangka panjang dan proyek-proyek sosial.
Kedua, tahun-tahun globalisasi sekarang ini, ternyata, tidak meningkatkan kesejahteraan mayoritas umat manusia tapi, malah sebaliknya, semakin memperdalam jurang anatara yang kaya dengan yang miskin, dan semakin memperbesar ketidakadilan. Menurut data Bank Pembangunan Antar-Amerika, terdapat 90 juta rakyat Amerika Latin yang hidup dalam kemiskinan pada tahun 1980-an, setelah hampir dua dekade akselerasi globalisasi dan, saat ini, meningkat menjadi sekitar 200 juta
Juga, tak satu pun gugatan terhadap nasib negeri-negeri tebelakang yang sangat menderita akibat dampak krisis ekonomi. Bahkan UNCTAD percaya bahwa krisis yang terjadi saat ini harus dianggap sebagai “krisis pembangunan” yang, konsekuensinya dipikul secara merata, baik oleh negeri-negeri kaya maupun oleh negeri-negeri miskin. UNCTAD mencatat bahwa, pada tahun 1998, penurunan harga barang-barang setengah bagi negeri-negeri OECD bisa meningkatkan neraca perdagangannya sebesar 5%, sehingga membantu mereka mempertahankan tingkat pendapatannya, dan menurunkan inflasi serta tingkat suku bunga; biaya bagi semua itu: kondisi hidup negeri-negeri miskin yang semakin mengenaskan.
Singkatnya, lagi-lagi terbukti bahwa negeri-negeri miskin dan lapisan masyarakat melarat lah yang dengan segera terkena dampak krisisyang, konsekuensinya, memang, melekat dalam tatanan ekonomi dunia saat ini. Saat krisis terjadi, para pemegang saham di Wallstreet merasa keuntungannya berkurang. Seorang melarat (di Amerika Latin atau Asia Tenggara) beserta keluarganya kekurangan makanan atau samasekali kelaparan.
Ketiga, dalam dua dekade terakhir ini telah tersingkap esensi ketidakstabilan model kebijakan neoliberal. Mengalihkan permohonan bantuan pada sektor swastayang dianggap sebagai sumber keuangan duniadan menghapuskan kredit pemerintah, memberikan peluang bagi instabilitas dan spekulasi dalam sistim keuangan internasional. Kapital swasta diberikan peluang untuk mengeruk keuntungan dan menghindari rsiko yang tak diinginkan, sehingga mereka bisa bergerak secara konstan dan sesuka hatinya. Skala besar-besaran dan kecepatan gerakan kapital tersebutsekarang ini, lebih dari sebelum-sebelumnyamerupakan ancaman bagi ekonomi dunia dan, terutama sekali, bagi dunia di belahan yang paling lemah: negeri-negeri Dunia Ketiga.
Upaya memecahkan persoalan tersebut dengan cara meningkatkan liberalisasi nampaknya seperti mencekokkan obat (pada pasen yang kondisinya kritis) dengan dosis yang dapat memberikan reaksi negatif.
Seharusnya semua itu menjadi bukti yang sangat gamblang bahwa negeri-negeri kaya samasekali tak memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan negeri-negeri Selatan, tetangganya sendiri. Kesimpulan mereka nampaknya seperti ini: kami sudah memberikan obat yang ampuh; bila memang si pasen tak sembuh-sembuh, itu sih urusan mereka, bukan urusan kami.
Menurut mereka, persoalan yang kita hadapi bisa dipecahkan oleh lima cara sederhana:
• Informasi yang lebih transparan dan pengawasan perbankan yang lebih efektif.
• Memperkuat sistem perbankan dan sistem keuangan.
• Memperbesar partisipasi sektor swasta.
• Meningkatkan liberalisasi pasar modal.
• Membuat undang-undang yang bisa dipatuhi.
Dan, seakan-akan menawarkan manisnya gula di saat kepahitan, sekarang ini mereka berkoar koar, apakah dengan malu-malu atau secara sisnis, untuk menerapkan kebijakan sosial dan kebijakan-kebijakan yang bisa membantu orang-orang yang miskin dan ringkih.
Seluruh kenaifan dunia tak akan cukup untuk membuat Negeri-negeri Selatan percaya bahwa jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang menekan mereka adalah cara-cara seperti itu.
Apa yang minimal bisa kita harapkan, agar menemukan jalan keluar yang sesungguhnya, adalah menghancurkan keabsolutan, kedikatatoran IMF, dan menggantinya dengan lembaga yang sanggup mengatur keuangan internasional, yang memperhitungkan situasi dunia sekarang ini, yang bekerja dengan landasan demokrasi, serta yang tak memberikan kesempatan bagi kekuasaan Amerika Serikat untuk mencengkramnya.
Sebelum semua itu terwujud:
• Harus dibuat mekanisme yang singkat dan jelas, sehingga negeri-negeri yang mengalami krisis bisa memiliki akses ke dana-dana IMF dengan cara yang mudah dan hemat, tanpa memrlukan syarat-syarat yang menyulitkan. Sudah terbukti bahwa waktu untuk merundingkan paket bantuan (pada saat krisis), dan untuk menyemakati syarat-syarat yang tak pasti, terlalu molor sehingga sudah terlambat untuk menghindari krisis. Sudah terbukti bahwa upaya IMF untuk menghindari dan mengatasi krisis tidak lah ampuh.
• IMF harus berhenti memaksakan resepnyauntuk melakukan liberalisasi (tanpa batas) terhadap arus/pemilikan kapital dan masalah-masalah keuangan. Setiap negeri harus bebas menentukan regulasi kadar liberalisasinya, tanpa tekanan dari pihak luar dalam bentuk apapun.
• Tak boleh ada satu pun syarat IMF yang mengizinkan mereka campur tangan, langsung atau tak langsung, dalam kebijakan-kebijakan sosial domestik karena setiap pemerintah memiliki hak untuk menentukannya secara berdaulat.
• IMF harus melibatkan kreditur untuk memecahkan krisis, yakni melalui perjanjian internasional yang dapat memberikan kesempatan penangguhan hutang bagi negeri-negeri yang sedang terancam likuiditasnya, apalagi bila krisis yang melanda negerinya tersebut disebabkan oleh lingkungan eksternal.
• Transparansi informasi dan pengawasan yang efektif, yang mereka tuntut kepada lembaga-lembaga keuangan negeri-negeri Dunia Ketiga, harus juga merupakan tuntutan yang diberlakukan pada lembaga-lembaga keuangan yang sangat rumit di negeri-negeri Dunia Pertamamisalnya saja, pengelolaan dana-dana darurat (yang dianggarkan untuk perlindungan dari hantaman krisis) sama sekali tak bisa diketahui oleh bank-bank sentral dan pemerintah negeri-negeri kaya. Padahal, paradoksnya, dana-dana tersebutyang sering digunakan untuk tujuan-tujuan spekulatifjumlahnya lebih besar dari cadangan bank sentral negeri berkembang.
• Sangat lah mendesak untuk meningkatkan bantuan resmi (khususnya) dalam menanggulangi, memperkecil, kesenjangan yang begitu mencolok antara negeri-negeri kaya dengan negeri-negeri miskin dalam bidang pendidikan pendidikan, karena tanpa itu tak mungkin ada pembangunan di negeri-negeri miskin, bahkan seandainya pun mereka menerima arus masuk kapital swasta. Sudah terbukti bahwa liberalisasi ekonomi yang semena-mena tak akan bisa diselaraskan dengan pembangunan infrastruktur sosial. Juga, sangat lah jelas bahwa investasi oleh sektor swasta tak bisa menggantikan peranan pemerintah dalam meningkatkan/membantu kesejahteraan rakyat. Liberalisasi dan investasi swasta tak akan memberikan jaminan bagi program-program pendidikan padahal, jika negeri-negeri Dunia Ketiga tak meningkatkan taraf pendidikannya, tak akan ada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sangat lah mengkhawatirkan melihat bagaimana, dalam prakteknya, masalah mendesak tersebut terus menerus dikesampingkan dari agenda internasional.
• Sangat lah vital, bagaimana pun juga, membuat regulasi terhadap perdagangan pasar bebas untuk menelikung aktivitas spekulatif yang begitu besarnyayang jelas-jelas akan membahayakan stabilitas ekonomi negeri-negeri Dunia Ketiga. Beban pajak sebesar tak kurang dari 1 % harus dipikulkan pada transaksi keuangan spekulatif tersebut, dan uangnya harus digunakan untuk mempercepat pembangunan. Pengembangan keilmuan dan teknis dalam sektor telekomunikasi serta pemorosesan informasi akan memudahkan masyarakat internasional menyelesaikan tugas tersebut.
• Sebuah bank negeri-negeri Selatanyang melibatkan pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta, lembaga-lembaga keuangan dan para pengusaha dari negeri-negeri Dunia Ketiga, sebagai pemegang sahamnyaharus segera didirikan. Negeri-negeri pengekspor minyak harus memiliki pengabdian, komitmen, dengan menyerahkan sebagian dana dalam bentuk deposito (tanpa bunga) ke dalam bank tersebut. Bank tersebut akan menjadi alat untuk melayani kepentingan negeri-negeri Selatan dalam membangun hubungan-hubungan dagang dan finansial di antara mereka.
• Masalah hutang luar negeri harus diperlakukan dengan carayang berbeda. Kami akan menjelaskannya dalam dokumen yang lain.
Harus ada proposal kongkret lainnya, namun yang paling penting adalah: pemerintah negeri-negeri Selatan tak boleh sekadar menjadi begundal yang melaksanakan apa yang disebut rancangan “arsitektur keuangan internasional”, yang tujuannya meragukan dan membingungkan. Kita tak bisa sekadar mendengarkan sesuatu yang, katanya, baru tapi sebenarnya hanya lah retorika kosong belaka, bualan, yang tak berdaya menghadapi realitas. Kita wajib untuk betindak.
(1) Lima Apendiks di bawah ini merupakan lampiran pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.
(2) Dalam dirinya; dengan sendirinya; Webster’s New Collegiate Dictionary, a Merriam-Webster, G. & C. Merriam Company, Springfield Massachusetts, USA, 1977, hal. 855.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !