A. Landasan
Bagi kaum sosialis ilmiah, perjuangan untuk mewujudkan sosialisme, mengandung pengertian bahwa terjadinya transformasi kepemilikan alat produksi ketangan masyarakat, membuat proletariat menjadi superior. Transformasi ke tangan proletariat tersebut adalah syarat, selain untuk mencapai kemakmuran, namun yang terpenting adalah menciptakan mewujudkan keadilan (menghilangkan penghisapan), kesetaraan (jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama dll), menghargai indivualitas, meningkatkan tenaga produktif manusia, solidaritas dan lain sebagainya, yang dihilangkan dalam masyarakat berkelas. Karena itulah, sehubungan dengan persoalan kepemilikan tanah oleh kaum tani, sosialis ilmiah tidak pernah menganjurkan untuk memuja-muja kepemilikan pribadi atas tanah.
Marx menjelaskan dalam artikel Penghapusan Hak Milik Atas Tanah bahwa: Pemilikan atas tanah-sumber awal dari semua kekayaan-telah menjadi masalah besar yang pemecahannya menentukan hari-depan klas pekerja. Lebih jauh menurut Marx:
“Yang kita perlukan ialah produksi yang hari demi hari meningkat, yang urgensinya tidak dapat dipenuhi dengan membiarkan sekelompok kecil individu mengaturnya sesuka mereka dan kepentingan-kepentingan pribadi atau secara bodoh menghabis-habiskan daya bumi (tanah). Semua cara modern seperti irigasi, drainasi, penggarapan tanah dengan mesin, pemeliharaan secara kimiawi, dsb, pada akhirnya haruslah dilakukan dalam pertanian. Namun, pengetahuan ilmiah yang kita miliki, dan alat-alat tehnik pertanian yang kita kuasai, seperti permesinan, dsb, tidak akan pernah dapat diterapkan secara berhasil kecuali dengan pembumidayaan tanah secara besar-besaran. Penggarapan tanah secara besar-besaran-bahkan dalam bentuk sekarang yang kapitalistik, yang memerosotkan produser itu sendiri menjadi sekedar hewan kerja-mesti menunjukan hasil-hasil yang jauh lebih unggul ketimbang penggarapan tanah secara sebagian-sebagian dan kecil-kecilan-tidakkah itu, jika diterapkan dalam dimensi-dimensi nasional, jelas memberikan dorongan luar biasa pada produksi? Kebutuhan rakyat yang terus-meningkat di satu pihak, terus meningkatnya harga produk-produk agrikultur di lain pihak, menjadi bukti yang tidak dapat disangkal bahwa nasionalisasi atas tanah telah menjadi suatu keharusan sosial. Pengerdilan produksi pertanian yang bersumber pada penyalahgunaan individual menjadi tidak dimungkinkan lagi dengan pelaksanaan kultivasi yang terkendali/diawasi, dengan suatu biaya dan demi keuntungan bangsa.”
Dalam rangka mendorong nasionalisasi tanah, kaum sosialis ilmiah tentu saja tidak cukup hanya sekadar berbicara tentang penghapusan kepemilikan pribadi semata, tanpa melihat keharusan sejarah sesuai tahap-objektif perkembangan masyarakatnya, saat ini dimana kapitalisme sedang mengalami perkembangannya, maka kebutuhan untuk suatu perubahan sistem ekonomi dan politik dengan garis borjuis demokratik adalah yang tidak terhindarkan dan tidak terbantahkan. Penghapusan kepemilikan pribadi memang menjadi pemberhentian terakhir bagi kaum sosialis ilmiah, namun bukanlah seorang sosialis ilmiah yang baik apabila meninggalkan tugas-tugas terpentingnya sekarang, yang seratus kali lebih sukar. Revolusi Bolshevic di Rusia, dibawah kepemimpinan Lenin, mengerti betul akan tugas-tugas tersebut. Kondisi di Rusia yang terbelakang, bersentuhan dengan revolusi borjuis- proletar melawan borjuis, dan revolusi petani melawan tuan tanah dapat dikelola dengan baik. Lenin lah yang pertama kali mengajukan tesisnya tentang dua tahap revolusi yang tidak terinterupsi, yaitu revolusi borjuis-demokratik dan dilanjutkan dengan revolusi sosialis.
Pengajuan thesis ini didasarkan pada pengetahuannya yang mendalam tentang proses transisional, dimana pada saat itu di Rusia dan Eropa pada umumnya terdapat klas semi proletariat dan borjuis kecil yang sangat luas. Lenin mempercayai bahwa kaum marxis tidak bisa melompati batas-batas ini, yaitu apabila kaum proletariat di kota belum mampu berjuang bersama kaum miskin desa melawan tani kaya, karena dengan demikian artinya kaum tani secara keseluruhan masih dibawah kepemimpinan ekonomi, poitik, dan moral kulak, orang-orang kaya dan borjuis. Lenin tidak mau berkalkulasi tentang kombinasi kekuatan di kalangan tani “sehari setelah” revolusi borjuis- demokratik, pemaksaan nasionalisasi tanah segera, tanpa ada dukungan dari tani miskin, maka proletariat hanya akan menjadi minoritas yang dikepung (termasuk oleh tani miskin yang dimanipulasi untuk menggulingkan pemerintahan proletar).
Lebih jauh, aliansi proletariat dan tani juga akan dapat menetralisir kekuatan borjuis liberal, pimpinan alamiahnya kaum tani, yang dikenal tidak konsisten, menghianati revolusinya sendiri, sehingga hanya dengan cara inilah revolusi borjuis-demokratik semakin bisa dituntaskan, karena semakin lengkap, semakin cepat, dan semakin luas revolusi borjuis-demokratik tersebut, maka semakin teguhlah perjuangan menuju sosialisme.
Bahkan Lenin menilai bahwa, equal land tenure (pembagian tanah-tanah besar kepada tani miskin untuk dijadikan pertanian skala kecil-kecil) memiliki nilai revolusioner dalam revolusi borjuis-demokratik, karenanya kaum proletariat harus membantu perjuangan pembagian tanah-tanah besar kepada tani miskin tersebut, namun juga tidak menganjurkan. Yang terpenting diatas semua itu adalah memelihara aliansi dengan mayoritas tani—yang termiskin dan merupakan bagian semi-proletarnya.
Dengan adanya thesis tentang revolusi borjuis-demokratik, apakah berarti Lenin telah meninggalkan kediktatoran proletariat, sebagai bentuk kekuasaan transisional dari kapitalisme menuju sosialisme? Tidak, kekuasaan negara yang mengorganisir kekuatan kelas buruh, yang beraliansi dengan tani secara keseluruhan demi menuntaskan revolusi borjuis-demokratik, juga merupakan suatu bentuk kekuasaan kediktatoran proletariat, tapi belum menjadi kediktatoran sosialis proletar.
B. Arah Revolusi Demokratik di Indonesia
1. Pola Pengusasaan Lahan Oleh Masyarakat
Untuk menyelidiki penguasaan tanah oleh kaum tani, maka kita harus mengkaitkannya dengan berbagai macam kegiatan pertanian yang ada dan hubungan timbal baliknya dengan struktur kekuasaan politik. Sepanjang sejarah kita mengenal 4 bentuk kegiatan pengelolaan lahan, yaitu: sistem perladangan, yang berlangsung sejak jaman pra-sejarah, sistem kebun tradisional, dimulai sejak tahun 1200-an, sistem persawahan, yang dimulai sejak tahun 1600-an dan sistem perkebunan modern.
Sistem perladangan adalah suatu kegiatan pengelolaan lahan, yang pertama kali dikenal masyarakat, sistem ini dikenal secara umum, baik di Eropa ataupun Asian. Jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, pengusaan atas tanah sudah dilakukan oleh masyarakat yang hidup pada saat itu, penguasaan tersebut sifatnya tidak tetap, perpindahan dari satu tempat ketempat lain didasarkan pada ketergantungan alam untuk menyediakan sumber-sumber penghidupan, teknologi yang digunakan juga masih sangat sederhana seperti kapak batu dan peralatan-peralatan lain untuk mengolah lahan pertanian, penguasaan atas tanah pada saat itu hanyalah sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup (subsisten).
Babak selanjutnya, yaitu sistem kebun tradisional. Sistem ini terjadi sekitar tahun 1200-an, menurut para ahli, ciri utama dari berlangsungnya sistem ini adalah pada pengusahaan lahan dengan menanan tanaman-tanaman yang berumur relatif panjang seperti tanaman tahunan (annual plant) dan tanaman ramuan masak atau jamu, disamping tanaman keras berumur panjang. Sistem kebun tradisional ini, digunakan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil ladang. Dengan adanya sistem kebun tradisonal ini membuat penduduk menetap lebih lama dari pada saat perladangan.
Sistem persawahan mulai dikembangkan sekitar tahun 1620 M. Teknologi yang dikembangkan juga lebih maju dan sudah menggunakan lahan pertanian secara menetap. Sistem ini sangat terkait erat perkembangan sistem pengelolaan lahan yang didukung teknologi dengan sistem irigasi yang kompleks dan permasalahan kepadatan penduduk. Sistem ini kemudian melahirkan sistem kekuasaan politik berbentuk kerajaan dimana kekuasaan atas tanah berada ditangan Raja, menurut Carl With Fogel, tuntutan secara organisasional dan tenaga kerja yang diciptakan oleh masyarakat Hidrolik (irigasi) cenderung menciptakan masyarakat Despotik. Maksudnya adalah bahwa sistem irigasi yang kompleks menghendaki sejumlah investasi tenaga kerja yang besar dan setidak-tidaknya akan berhubungan dengan kekuasaan politik yang terpusat. Sehingga saat inilah penguasaan dan pengelolaan atas tanah diatur melalui kekuasaan politik kerajaan. Corak perkembangan dalam pengembangan sistem pertanian telah menunjukan dalam hal fase perkembangan masyarakat Nusantara.
Sistem perkebunan modern, mulai intensif lahir bersama proses kolonialisme di Nusantara. Menurut Prof Sartono Katodiharjo dan Dr. Djoko Suryo sebenarnya, pengusahaan lahan untuk kepentingan perdagangan sudah di mulai sejak abad ke-10 misalnya dengan pengusahaan tanaman kopi, lada, kapur barus, rempah-rempah dan lada yang terjadi diberbagai tempat di Nusantara. Lada yang ditanam pada saat itu sangat laku di pasaran telah mendorong peningkatan pembukaan kebun rempah-rempah di Maluku dan menjadikan Malaka pada tahun 1500 M menjadi pusat perdagangan laut. Namun sebelum kolonialisme masuk, pengusahaan lahan untuk perdagangan masih terbatas sebagai usaha tambahan, skalanya kecil, tidak padat modal, penggunaan lahannya terbatas, sumber tenaga kerja juga terbatas pada anggota keluarga, kurang berorientasi pada kebutuhan pasar dan berorientasi pada kebutuhan subsisten.
2. Sejarah Panjang Penindasan Terhadap Kaum Tani
a) Jaman Kerajaan
Menurut Sejarawan Ong Hok Ham, bagi masyarakat Desa yang agraris, tanah merupakan satu-satunya sumber pendapatan. Menurut tradisi, raja adalah pemilik tanah dalam arti bahwa secara teoritis ialah yang berkuasa atas tanah. Pendapat senada diungkapkan oleh Gunawan Wiradi dan Sediono M.P Tjondro Negoro yang mengatakan bahwa Raja merupakan pusat ketatanegaraan dan kedudukannya hampir bersifat Ilahiah.
Raja kemudian membagi-bagikan tanah tersebut kedalam berbagai penugasan/pengawasan kepada para pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di Istana, kepada para sentana (keluarga raja atau pamong desa) dan para narapraja (pegawai istana/abdi dalem), pembagian wilayah kekuasaan para pejabat tidak berdasarkan luas wilayah, tetapi dihitung berdasarkan jumlah cacah. Jadi pada masa itu, penguasaan wilayah kalah penting dibandingkan dengan penguasaan penduduk (tenaga kerja). Konsep kepemilikan tanah ini berbeda dengan Barat, dimana tanah-tanah tersebut tidak dimiliki oleh pejabat-pejabat atau penguasa (property/eigendom), di Nusantara, pejabat kerajaan hanya mempunyai hak yurisdiksi atas tanah-tanah di wilayahnya untuk dipertahankan, dikuasai, dan digunakan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku, sistem seperti ini sering kita sebut Lungguh, yaitu tanah garapan yang diberikan pejabat kerajaan sebagai pengganti gaji sesuai kedudukannya, seperti yang terjadi pada masa akhir kerajaan Mataram penguasaan tanah oleh para pejabat terutama dibagi atas dasar sistem appanage, yaitu suatu bentuk penguasaan di mana penggunaan atas tanah itu dihadiahkan kepada para pejabat dengan syarat kewajiban membayar upeti kepada penguasa pusat dalam bentuk sebagian hasil bumi yang dikumpulkan dari para petani. Tanah lungguh ini akan kembali kepada Raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat atau meninggal dunia. Tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak. Hal yang demikian ini dilakukan untuk mencegah timbulnya kaum ningrat yang kokoh. Para pemegang tanah lungguh ini disebut patuh atau lurah patuh. Para patuh dapat memungut pajak atas tanah lungguh sebagai penghasilan mereka. Para patuh menyerahkan hak kekuasaan mereka pada bekel yang tinggal di pedesaan yang kedudukannya lebih rendah dari mereka. Bekel mengangkat sikep sebagai petani penguasa tanah yang mempunyai banyak tenaga kerja, yang disebut numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah), numpang dan bujang adalah lapisan terendah dalam masyarakat.
Disamping itu, pada masa ini kita juga mengenal ada tanah-tanah yang dipergunakan untuk kepentingan keagamaan, dan tanah milik pedesaan yang tidak begitu jelas bagaimana organisasi didalamnya. Gunawan Wiradi berpendapat juga bahwa terdapat petunjuk-petunjuk tentang penguasaan Individual maupun penguasaan kolektif atas tanah. Kutipan tulisan dari seorang Belanda yang bernama Van der Meer mengatakan bahwa:
”Hak penguasaan perorangan diberlakukan terhadap seorang petani pionir, apabila dia sudah membuka tanah baru, maka dia diberi waktu tiga tahun untuk membangun sawah sebelum dikenakan wajib pajak. Pembukaan tanah dan pencetakan sawah yang dilakukan oleh beberapa orang petani bersama-sama menjadikan tanah tersebut menjadi tanah milik ’gabungan’. Jikalau seluruh penduduk desa bekerja sama membuka tanah, maka tanah tersebut menjadi milik kolektif sebagai sawah desa”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !