Ian Angus
Abstrak oleh penyunting: Setelah membeberkan sebab-sebab penurunan produksi dan inflasi pangan pada bagian pertama, dalam bagian kedua Angus menegaskan dari awal bahwa tidak ada kelangkaan pangan. Perusahaan pertanian dan perdagangan bijih-bijihan terbesar di dunia adalah penyebab tidak tersedianya cukup makanan bagi mereka yang membutuhkan. Dengan begitu, kedaulatan pangan, bukannya keamanan pangan, adalah jalan keluar yang lebih tepat bagi krisis pangan, sebagaimana disuarakan oleh La Via Campesina. Pada akhirnya Angus berkesimpulan bahwa tugas mereka di negeri maju yang peduli terhadap krisis pangan adalah menghentikan penghancuran pertanian negeri berkembang dengan antara lain menghentikan penggunaan pangan untuk BBM, menghapuskan hutang luar negeri-negeri tersebut, menyingkirkan WTO dari pertanian, dan memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri bagi selatan dunia.
-----
"Tidak ada di dunia ini, di peristiwa genosida mana pun, di peperangan apa pun, sebegitu banyak orang tewas dalam tiap menit, tiap jam dan tiap hari sebanyak mereka yang tewas oleh kelaparan dan kemiskinan di planet kita." - Fidel Castro, 1998"
Ketika pecah kerusuhan pangan di Haiti bulan lalu, negeri pertama yang meresponnya adalah Venezuela. Dalam hitungan hari, beberapa pesawat berangkat dari Caracas membawa 364 ton makanan yang sangat dibutuhkan.
Rakyat Haiti "menderita akibat serangan imperium kapitalisme global," kata presiden Venezuela Hugo Chavez. " Haiti membutuhkan solidaritas yang murni dan mendalam dari kita semua. Setidaknya inilah yang dapat kita lakukan untuk Haiti."
Aksi Venezuela ini merupakan tradisi termulia dari solidaritas manusia. Ketika rakyat lapar, kita harus melakukan yang terbaik untuk mengatasi kelaparan mereka. Contoh Venezuela patut dipuji dan harus ditiru.
Tetapi, pemberian bantuan, walaupun memang amat dibutuhkan hanyalah penyelesaian masalah sementara. Untuk benar-benar menyelesaikan masalah kelaparan dunia, kita harus memahami dan kemudian mengubah sistem yang menyebabkannya.
Tidak ada kekurangan pangan
Analisa kita haruslah dimulai dengan sebuah tekad: tidak ada lagi kekurangan pangan di dunia pada saat ini.
Bertentangan dengan pendapat Malthus di Abad 18, penelitian demi penelitian menunjukkan bahwa produksi pangan global secara konsisten telah melampaui pertumbuhan penduduk, dan bahwa jumlah pangan yang diproduksi jumlahnya lebih dari cukup untuk memberi makan semua orang. Menurut Organisasi Pangan dan Agrikultur PBB, pangan yang diproduksi oleh dunia cukup untuk menyediakan hingga 2800 kalori per hari bagi tiap orang - benar-benar melebihi jumlah minimum yang dibutuhkan untuk hidup sehat. Jumlah ini mengalami kenaikan 18 % jika dibandingkan dengan tahun 1960-an, meskipun jumlah penduduk juga mengalami peningkatan secara signifikan. [1]
Sebagaimana ditunjukkan oleh Food First Institute, "keberlimpahan, bukannya kelangkaan, adalah yang paling pantas menggambarkan persediaan pangan saat ini."[2]
Walau demikian, solusi kelaparan dunia yang paling sering diusulkan adalah teknologi baru untuk meningkatkan produksi pangan.
Aliansi untuk Revolusi Hijau di Afrika, yang didanai oleh Yayasan Bill dan Melinda Gates dan Yayasan Rockefeller, bertujuan mengembangkan "tanaman pangan utama Afrika yang bervarietas tahan hama (resilient) dan lebih produktif ... untuk memungkinkan petani skala kecil di Afrika memproduksi panen yang lebih besar, lebih beragam dan handal."[3]
Serupa dengan itu, Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) yang bermarkas di Manila telah mengambil inisiatif kemitraan publik-swasta "untuk meningkatkan produksi beras di penjuru Asia dengan percepatan pengembangan dan pengenalan teknologi beras hybrida."[4]
Dan presiden Bank Dunia berjanji membantu negeri-negeri berkembang mendapatkan "akses teknologi dan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan hasil budidaya."[5]
Penelitian ilmiah adalah penting dan vital bagi pengembangan agrikultur, tapi inisiatif yang sedari awal mengasumsikan bahwa benih dan bahan-bahan kimia baru mutlak dibutuhkan bukanlah sesuatu yang kredibel ataupun benar-benar ilmiah. Kenyataan bahwa telah terdapat cukup pangan untuk memberi makan seluruh dunia menunjukkan bahwa krisis pangan bukanlah permasalahan teknis – melainkan sebuah permasalahan sosial dan politik.
Alih-alih mempertanyakan bagaimana meningkatkan produksi, pertanyaan pertama kita haruslah mengapa, ketika begitu banyak pangan tersedia, 850 juta orang kelaparan dan kurang gizi? Kenapa 18.000 anak meninggal karena kelaparan setiap hari?
Mengapa industri pangan dunia tidak dapat memberi makan mereka yang lapar?
Sistem Profit
Jawabannya dapat dinyatakan dalam satu kalimat. Industri pangan global tidak diorganisir untuk memberi makan mereka yang lapar; Industri pangan global diorganisir untuk menciptakan keuntungan bagi korporasi agrobisnis.
Raksasa agrobisnis memang sangat berhasil mencapai tujuan tersebut. Tahun ini, keuntungan agrobisnis melambung dibandingkan tahun lalu. Sementara itu rakyat lapar dari Haiti hingga Mesir hingga Senegal turun ke jalan memprotes harga pangan yang semakin meninggi. Angka-angka ini untuk hanya tiga bulan di awal 2008.[6]
Perdagangan Bijih-bijihan (Grain Trading)
- Archer Daniels Midland (ADM). Gross profit (keuntungan kotor): $1,15 milyar, naik 55% dari tahun lalu
- Cargill: Net earnings (pendapatan bersih): $1,03 milyar, naik 86%
- Bunge. Consolidated gross profit (keuntungan kotor terkonsolidasi): $867 juta, naik 189%.
Benih & Herbisida
- Monsanto. Gross profit (keuntungan kotor): $2,23 milyar, naik 54%.
- Dupont Agriculture and Nutrition. Pre-tax operating income (penghasilan operasi pra-pajak): $786 juta, naik 21%
Pupuk
- Potash Corporation. Net income (penghasilan bersih): $66 juta, naik 185.9%
- Mosaic. Net earnings (penerimaan bersih): $520.8 juta, naik lebih dari 1.200%
Perusahaan-perusahaan yang ditulis di atas, plus segelintir lainnya, memonopoli jual beli produk pertanian di seluruh dunia. Enam perusahaan mengontrol 85% perdagangan bijih-bijihan dunia; tiga mengontrol 83% biji kakao; Tiga mengontrol 80% perdagangan pisang. [7] ADM, Cargill dan Bunge secara efektif mengontrol produksi jagung di dunia, yang artinya hanya merekalah yang menentukan seberapa banyak hasil tanaman tiap tahun digunakan untuk membuat ethanol, pemanis, pakan ternak atau pangan manusia.
Sebagaimana ditulis oleh para editor Hungry for Profit, "Kekuasaan demikian besar yang dimiliki oleh korporasi pangan/ agrobisnis terbesar memungkin mereka mengontrol harga bahan baku yang dibeli dari petani, sementara pada saat yang sama menjaga harga pangan bagi masyarakat umum berada di tingkat yang cukup tinggi untuk menjamin keuntungan yang besar.[8]
Selama tiga dekade terakhir, perusahaan agrobisnis transnasional telah merekayasa restrukturisasi pertanian dunia secara massif. Secara langsung melalui kekuatan pasar mereka sendiri dan secara tak langsung melalui pemerintah dan Bank Dunia, IMF dan World Trade Organization, mereka telah merubah cara-cara budidaya dan distribusi pangan di seluruh dunia. Perubahan ini membawa efek-efek yang sangat bagus bagi keuntungan mereka, sementara secara simultan mengakibatkan kelaparan dunia semakin memburuk dan krisis pangan tak terhindarkan lagi.
Serangan terhadap pertanian tradisional
Krisis pangan saat ini tidaklah berdiri sendiri: krisis ini merupakan puncak dari masalah-masalah pertanian yang telah menumpuk selama puluhan tahun.
Sebagaimana telah kita lihat pada Bagian Pertama artikel ini, selama tiga dekade terakhir negeri-negeri kaya di Utara memaksa negeri-negeri miskin untuk membuka pasarnya, kemudian membanjiri pasar-pasar tersebut dengan pangan yang disubsidi, dan hasilnya adalah kehancuran bagi pertanian Dunia Ketiga.
Tapi restrukturisasi pertanian global, yang dibuat semata untuk keuntungan para raksasa agrobisnis, tidaklah berhenti di situ. Di saat yang sama, negeri-negeri Selatan diyakinkan, dibujuk dan diintimidasi untuk mengadopsi kebijakan pertanian yang mengedepankan tanaman ekspor dari pada tanaman pangan untuk konsumsi domestik. Mereka juga dipaksa untuk mengembangkan industri pertanian berskala besar yang mengharuskan mereka memproduksi tanaman tunggal (monokultur), menggunakan air, pupuk dan pestisida dalam jumlah yang amat besar. Industri agrobisnis membuat industri pertanian tradisional makin terpinggirkan.
Transformasi itu merupakan penghalang utama terhadap pertanian rasional yang dapat memusnahkan kelaparan.
Fokus terhadap ekspor pertanian telah menyebabkan hasil yang absurd dan tragis bahwa jutaan orang kelaparan di negeri-negeri yang mengekspor pangan. Di India, contohnya, lebih dari seperlima penduduknya menderita kelaparan kronis dan 48% anak di bawah lima tahun kekurangan gizi. Walau begitu, India mengekspor beras giling senilai US$1,5 milyar dan gandum senilai $322 juta pada 2004.[9]
Di negara lainnya, lahan pertanian yang dulunya digunakan untuk membudidayakan pangan untuk konsumsi domestik kini ditanami tanaman komoditas mewah untuk negeri utara. Kolombia, di mana 13% penduduknya kurang gizi, memproduksi dan mengekspor 62% dari seluruh bunga potong yang dijual di Amerika Serikat.
Dalam banyak kasus, akibat dari peralihan ke tanaman ekspor telah memberikan hasil-hasil yang menggelikan bila saja tidak begitu menghancurkan. Kenya mampu melakukan swasembada pangan hingga sekitar 25 tahun lalu. Kini salah satu negara Afrika ini mengimpor 80% pangannya - dan 80% ekspornya adalah produk-produk pertanian lainnya.[10]
Pergeseran menuju industri pertanian telah memaksa jutaan orang meninggalkan lahan mereka, membuat mereka mejadi penganggur dan membuat terpaksa hidup di perumahan kumuh yang padat yang makin menjamur di banyak kota dunia.
Mereka yang paling memahami lahan mereka kemudian dipisahkan darinya; unit-unit pertanian dihimpun menjadi pabrik-pabrik raksasa di alam terbuka yang berproduksi hanya untuk ekspor. Ratusan juta orang kini harus bergantung pada pangan yang dibudidayakan ribuan mil jauhnya karena pertanian tanah air mereka telah ditransformasikan untuk memenuhi kebutuhan korporasi agrobisnis. Sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa bulan terakhir, seluruh sistem ini rapuh: keputusan India untuk membangun kembali cadangan berasnya mengakibatkan pangan tak terjangkau oleh jutaan orang di belahan dunia lainnya.
Bila tujuan pertanian adalah untuk memberi makan manusia, maka perubahan pertanian global selama 30 tahun terakhir ini tidaklah masuk akal. Industri pertanian di Dunia Ketiga telah memproduksi jumlah pangan yang semakin meningkat, tapi dengan korban jutaan orang tersingkir dari lahannya dan terpuruk ke kehidupan dengan kelaparan kronis - dan dengan korban teracuninya udara dan air, dan secara pasti mengurangi kesuburan tanah untuk memberikan pangan yang kita butuhkan.
Bertentangan dengan klaim agrobisnis; penelitian agrikultar terkini, termasuk pengalaman kongkrit selama satu dekade lebih di Kuba, membuktikan bahwa usaha-usaha pertanian berukuran kecil dan sedang yang menggunakan metode agroekologis yang berkesinambungan adalah jauh lebih produktif dan sangat tidak merusak terhadap lingkungan hidup dibandingkan industri pertanian besar.[11]
Industri pertanian terus berlanjut bukan karena lebih produktif, tapi karena ia mampu, hingga kini, menghasilkan produk yang seragam dengan kuantitas yang dapat diperkirakan, dan dibudidayakan secara khusus agar tak rusak saat pengapalan ke pasar-pasar yang jauh. Di sinilah terdapat keuntungan, dan keuntungan inilah yang penting, tak peduli apa efeknya terhadap tanah, udara, dan air atau bahkan orang-orang yang lapar.
Memperjuangkan kedaulatan pangan
Perubahan yang diterapkan oleh agrobisnis transnasional dan agen-agennya bukannya tidak mendapat tantangan. Salah satu perkembangan terpenting dalam 15 tahun adalah kemunculan La Via Campesina (Jalan Petani), suatu badan payung yang menjangkau lebih dari 120 organisasi pengusaha tani dan tani kecil di 56 negeri, berasal dari Gerakan Pekerja Pedesaan Tanpa Lahan (MST) di Brasil hingga Serikat Petani Nasional di Kanada.
La Via Campesina awalnya mengajukan programnya sebagai tandingan terhadap "KTT Pangan Dunia," suatu konferensi tentang kelaparan di dunia yang diorganisir oleh PBB pada 1996 dan dihadiri oleh perwakilan resmi dari 185 negara. Para peserta pertemuan itu menjanjikan (dan selanjutnya tidak berbuat apa-apa untuk memenuhinya) penghapusan kelaparan dan kekurangan gizi dengan menjamin "keamanan pangan yang berkelanjutan bagi semua orang."[12]
Seperti biasanya pada acara serupa, rakyat pekerja yang benar-benar terkena dampaknya tidak disertakan dalam diskusi. Di luar ruang pertemuan, La Via Campesina mengusulkan kedaulatan pangan sebagai alternatif terhadap keamanan pangan. Akses sederhana terhadap pangan tidaklah cukup, demikian argumen mereka: yang dibutuhkan adalah akses terhadap tanah, air, dan sumber daya, dan rakyat yang merasakan dampaknya harus berhak mengetahui dan menentukan kebijakan pangan. Pangan terlalu penting untuk diserahkan kepada pasar global dan manipulasi agrobisnis: kelaparan di dunia hanya dapat diakhiri dengan mendirikan kembali usaha-usaha pertanian keluarga berukuran kecil dan sedang sebagai unsur kunci produksi pangan. [13]
Tuntutan sentral gerakan kedaulatan pangan adalah bahwa pangan harus diperlakukan terutamanya sebagai sumber gizi bagi komunitas dan negeri yang membudidayakannya. Bertentangan dengan kebijakan perdagangan bebas dan ekspor agro, kedaulatan pangan menekankan pemfokusan pada konsumsi domestik dan swasembada pangan.
Berkebalikan dari argumen beberapa kritikus, kedaulatan pangan bukanlah seruan untuk mengisolasi diri secara ekonomi atau suatu usaha kembali ke masa lalu yang ideal di pedesaan. Namun, ia merupakan suatu program untuk mempertahankan dan memperluas hak asasi manusia, land reform, dan perlindungan terhadap bumi dari ecosida (ecocide) kapitalis. Selain menyerukan swasembada pangan dan penguatan usaha-usaha pertanian keluarga, seruan awal La Via Campesina bagi kedaulatan pangan menyertakan butir-butir berikut:
* Menjamin agar tiap orang mendapat akses terhadap pangan yang aman, bergizi dan pantas secara budaya dengan kuantitas dan kualitas yang cukup untuk mempertahankan kehidupan sehat dengan harga diri penuh manusia
* Memberikan rakyat tanpa lahan dan petani - terutama perempuan - kepemilikan dan kontrol terhadap lahan tempat mereka bekerja dan mengembalikan wilayah-wilayah kepada penduduk asli.
* Menjamin perawatan dan penggunaan sumber daya alam, terutama tanah, air dan benih. Mengakhiri ketergantungan terhadap input kimiawi, tanaman komoditas monokultur dan produksi terindustrialisasi dan intensif.
* Menentang kebijakan WTO, Bank Dunia dan IMF yang memfasilitasi kontrol korporasi multinasional terhadap pertanian. Meregulasi dan menerapkan pajak terhadap kapital spekulatif dan menegakkan Aturan Perilaku (Code of Conduct) yang ketat terhadap korporasi transnasional.
* Mengakhiri penggunaan pangan sebagai senjata. Stop dislokasi (displacement), urbanisasi paksa dan represi terhadap petani.
* Menjamin tani dan petani kecil, dan perempuan pedesaan pada khususnya, masukan langsung untuk memformulasikan kebijakan pertanian di segala tingkat.[14]
Tuntutan kedaulatan pangan La Via Campesina merupakan program agraria yang kuat bagi abad ke 21. Gerakan buruh dan kiri di dunia harus memberikan dukungan penuh kepadanya dan kepada petani dan tani pekerja yang mengkampanyekan land reform dan menolak industrialisasi dan globalisasi pangan dan pertanian.
Hentikan perang terhadap petani Dunia Ketiga.
Dalam kerangka ini, kami di utara dunia dapat dan harus menuntut agar pemerintahan kami menghentikan segala aktivitas yang melemahkan atau menghancurkan pertanian Dunia Ketiga.
Stop penggunaan pangan untuk bahan bakar. La Vía Campesina telah menyatakannya dengan jelas dan sederhana: "Bahan bakar agro industrial adalah omong kosong secara ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Pengembangannya harus dihentikan dan produksi pertanian harus berfokus pada pangan sebagai prioritas."[15]
Hapus Hutang Dunia Ketiga. Pada 30 April, Kanada mengumumkan kontribusi khusus sebesar C$ 10 juta untuk bantuan pangan ke Haiti.[16] Itu positif - tapi sepanjang 2008 Haiti akan diharuskan membayar bunga sebesar lima kali jumlah tersebut dari hutang luar negerinya yang sebesar $1.5 milyar, yang kebanyakan diperoleh dalam masa kediktatoran Duvalier yang didukung kaum imperialis.
Situasi di Haiti tidaklah unik dan bukanlah kasus ekstrim. Total hutang eksternal negeri Dunia Ketiga pada 2005 adalah $2.7 trilyun, dan pembayaran hutang mereka tahun tersebut bertotal $513 milyar.[17] Mengakhiri pengeringan kas tersebut dengan segera dan tanpa syarat, akan menyediakan sumber daya yang amat dibutuhkan untuk memberi makan kaum yang lapar saat ini dan untuk membangun kembali pertanian domestik seiring berjalannya waktu.
Keluarkan WTO dari pertanian. Kebijakan pangan regresif yang dipaksakan kepada negara miskin oleh Bank Dunia dan IMF dikodifikasi dan dijalankan oleh Kesepakatan dalam Pertanian (Agreement on Agriculture(AoA) ) dari Organisasi Dagang Dunia. AoA, sebagaimana ditulis oleh Afsar Jafri dari Focus on the Global South adalah "bias dan memihak pada pertanian yang padat-modal (capital intensive), yang didorong-agrobisnis dan berorientasi-ekspor."[18] Itu tidak mengherankan, karena pejabat AS yang merancang dan kemudian menegosiasikannya adalah mantan wakil presiden raksasa agrobisnis Cargill.
AoA harus dihapuskan, dan negeri-negeri Dunia Ketiga harus memiliki hak untuk secara unilateral membatalkan kebijakan liberalisasi yang dipaksakan oleh Bank Dunia, IMF, dan WTO, maupun melalui kesepakatan perdagangan bebas bilateral seperti NAFTA dan CAFTA.
Penentuan Nasib-Sendiri bagi Selatan Dunia. Upaya AS saat ini untuk mendestabilisasi dan menggulingkan pemerintahan anti-imperialis kelompok ALBA - Venezuela, Bolivia, Kuba, Nikaragua dan Granada - meneruskan sejarah panjang aksi-aksi negeri-negeri utara dalam mencegah negeri-negeri Dunia Ketiga dari menegakkan kendalinya terhadap nasib mereka sendiri. Maka, mengorganisir penentangan terhadap intervensi semacam itu "dari dalam perut monster" adalah suatu komponen kunci dalam pertarungan memenangkan kedaulatan pangan di seluruh dunia.
* * *
Lebih dari seabad lalu, Karl Marx menulis bahwa meskipun mendukung perkembangan teknik, "sistem kapitalis bekerja secara bertentangan dengan pertanian rasional ... suatu pertanian rasional tidak cocok dengan sistem kapitalis."[19]
Krisis pangan dan usaha pertanian kini sepenuhnya mengkonfirmasikan penilaian tersebut. Suatu sistem yang mendahulukan keuntungan setelah kebutuhan manusia telah menggiring jutaan produsen dari lahannya, mengurangi produktifitas tanah sambil meracuni udara dan airnya, dan menyebabkan hampir semilyar orang mengalami kelaparan kronis dan kekurangan gizi. Krisis pangan dan krisis pertanian berakar dari sistem yang irasional dan anti-manusia. Untuk memberi makan seluruh dunia, rakyat pekerja di perkotaan dan pedesaan harus bergandengan tangan untuk menyapu bersih sistem tersebut.
------------
Catatan Kaki
[1] Frederic Mousseau, Food Aid or Food Sovereignty? Ending World Hunger in Our Time. Oakland Institute, 2005. http://www.oaklandinstitute.org/pdfs/fasr.pdf.
International Assessment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development. Global Summary for Decision Makers. http://www.agassessment.org/docs/Global_SDM_210408_FINAL.pdf
[2] Francis Moore Lappe, Joseph Collins, Peter Rosset. World Hunger: Twelve Myths. (Grove Press, New York, 1998) p. 8
[3] “About the Alliance for a Green Revolution in Africa.”
http://www.agra-alliance.org/about/about_more.html
[4] IRRI Press Release, April 4, 2008.
[5] “World Bank President Calls for Plan to Fight Hunger in Pre-Spring Meetings Address.” News Release, April 2, 2008
[6] Angka-angka ini diambil dari laporan kuarta terbaru perusahaan tersebut, yang diambil dari situs mereka. Karena mereka melaporkan angka-angka tersebut dengan cara yang berbeda, mereka tak dapat dibandingkan satu sama lain, namun bisa dengan laporan mereka sebelumnya.
[7] Shawn Hattingh. “Liberalizing Food Trade to Death.” MRzine, May 6, 2008. http://mrzine.monthlyreview.org/hattingh060508.html
[8] Fred Magdoff, John Bellamy Foster and Frederick H. Buttel. Hungry for Keuntungan: The Agribusiness Threat to Farmers, Food, and the Environment. Monthly Review Press, New York, 2000. p. 11
[9] UN Food and Agriculture Organization. Key Statistics Of Food And Agriculture External Trade. http://www.fao.org/es/ess/toptrade/trade.asp?lang=EN&dir=exp&country=100
[10] J. Madeley. Hungry for Trade: How the poor pay for free trade. Cited in Ibid
[11] Jahi Campbell, “Shattering Myths: Can sustainable agriculture feed the world?” and ” Editorial. Lessons from the Green Revolution.” Food First Institute. www.foodfirst.org
[12] World Food Summit. http://www.fao.org/wfs/index_en.htm
[13] La Vía Campesina. “Food Sovereignty: A Future Without Hunger.” (1996) http://www.voiceoftheturtle.org/library/1996%20Declaration%20of%20Food%2...
[14] Diparafrasekan dan disadur dari Ibid
[15] La Vía Campesina. “A response to the Global Food Prices Crisis: Sustainable family farming can feed the world.” http://www.viacampesina.org/main_en/index.php?option=com_content&task=vi...
[16] Bila dibandingkan, tahun ini Kanada membelanjakan $1 milyar untuk pendudukan ilegal dan perang di Afganistan
[17] Jubilee Debt Campaign. “The Basics About Debt.” http://www.jubileedebtcampaign.org.uk/?lid=98
[18] Afsar H. Jafri. “WTO: Agriculture at the Mercy of Rich Nations.” Focus on the Global South, November 7, 2005. http://www.focusweb.org/india/content/view/733/30/
[19] Capital, Volume III. Karl Marx & Frederick Engels, Collected Works, Volume 37, p. 123
Home »
Cakrawala
» Krisis Pangan (Bagian Kedua): "Demonstrasi Terbesar Kegagalan Historik Model Kapitalis"
Salam pembebasan,
BalasHapusTragedi!
Di tingkat global setelah kisah krisis air, krisis iklim, krisis minyak, krisis pangan, kini krisis finansial naik panggung, Paradoksnya jalan krisis itu terus ditempuh. Masih saja mekanisme pasar dan korporasi dianggap solusi yang menjanjikan. Ironi abad ini, rasionalitas yang irasional. Rasionalitas yang paling tidak masuk akal.
It’s the capitalism, stupid! (adaptasi dari frase politik yang populer digunakan Clinton ketika berkampanye melawan George Bush Senior, it’s the economic, stupid!)
Silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/krisis-keuangan-global-karl-marx-di.ht