YANG MERAH DAN YANG HIJAU: PERSPEKTIF KIRI DALAM MEMAHAMI EKOLOGI - ekologi [merah]
Headlines News :
Home » » YANG MERAH DAN YANG HIJAU: PERSPEKTIF KIRI DALAM MEMAHAMI EKOLOGI

YANG MERAH DAN YANG HIJAU: PERSPEKTIF KIRI DALAM MEMAHAMI EKOLOGI

Written By ekologi [merah] on 12.10.2008 | Rabu, Desember 10, 2008

Oleh: Katherine Yih


“Satu, permasalahan-permasalahan kologi adalah masalah politis dalam makna bahwa maslah-maslah tersebut dihasilkan atau sangat dipengaruhi oleh kesenjangan-kesenjangan kontrol atas sumber daya dan kekuatan politik di antara kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa; Dua, ekologi tidak dapat menjadi program politik itu sendiri, melainkan harus menjadi bagian dari analisa dan program yang lebih luas; Tiga, perlu memahami kapitalisme, dan khususnya dinamika akumulasi modal, agar mengerti mengapa kerusakan lingkungan terjadi dan akan terus berlanjut dalam dunia yang kapitalistik; Empat, oleh karena mobilitas dan ekspansi modal, serta melemahnya negara-bangsa, maka perlu mengkoordinasikan strategi secara internasional.”

Gerakan pro lingkungan di AS, menurut perkiraan Murray Bookchin’s, “bisa jadi merupakan salah satu gerakan paling radikal dalam kurun waktu mulai dari tahun enam puluhan hingga sekarang.” Perspektif ekologi radikal, yang meliputi antara lain ekologi mendalam, ekologi
sosial, bioregionalisme, ekofeminisme, maupun pandangan-pandangan Marxis, semuanya mengandung beberapa kritik mendasar atas tatanan politik/ekonomi/sosial yang berkembang di dunia, yang karena itu membedakannya dari environmentalisme arus-utama (terkemuka). Namun, sekalipun tanpa para environmentalis arus-utama (terkemuka), apakah “gerakan” tersebut¾yang lebih merupakan pencampuradukan organisasi-organisasi yang terbangun
oleh beragam idelogi dan menerapkan strategi yang jauh saling berbeda¾benar-benar memiliki kemauan atau kemampuan untuk mewujudkan perubahan struktural yang dibutuhkan guna menunda dan memulihkan kehancuran lingkungan?

Perspektif kiri dalam ekologi¾khususnya ekologi sosial dan pandangan-pandangan Marxis¾paling menjanjikan dalam hal merumuskan dan memecahkan persoalan seputar
hubungan antara manusia dengan isi alam yang lainnya. Mereka memberikan komitmen pada keadilan dan pemahaman bahwa kapitalisme pada akhirnya menghalangi kesetaraan
sosial maupun rasionalitas ekologi. Kendati demikian, ada beberapa perbedaan penting di antara
pandangan-pandangan tersebut, yang berhubungan dengan keampuhan politisnya.

Salah satu titik perbedaan mendasar antara penganut ekologi sosial dan kaum Marxis adalah tingkat penekanan yang mereka berikan untuk persoalan-persoalan ekologis dalam keseluruhan program politik mereka. Penganut ekologi sosial menempatkan ekologi sebagai elemen inti dalam program mereka, dari situ semua yang lainnya dianggap kurang-lebih mengikuti. Bagi kaum Marxis yang memiliki kepekaan ekologis, rasionalitas ekologis lebih merupakan sasaran kritik yang terkait dengan persoalan lain dalam analisis dan program yang lebih luas—menjadi
merah sama perlunya dengan menjadi hijau.

Perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah hal sepele dan menimbulkan konsekuensi di lapangan. Sebagai contoh, di Burlington, Vermont (di Burlington sebagian besar anggotanya penganut ekologis sosial), Partai Hijau mengajukan seorang kandidat dalam pemilu raya 1989, yang pertarungan utamanya adalah antara Partai Demokrat dan seorang kandidat independen yang didukung oleh kaum sosialis yang tergabung dalam Koalisi Progresif. Sehingga keikutsertaan Partai Hijau mengancam terpecahnya suara bagi Koalisi Progresif. Akhirnya, Koalisi Progresif menang dengan mudah; hanya 3,4 persen suaranya yang terbagi untuk Partai Hijau. Pada pemilihan anggota Dewan Kotapraja tahun 1990, kandidat Partai Hijau di satu daerah pemilihan
jelas-jelas menyatakan bahwa tujuannya bukanlah kemenangan melainkan mengalahkan Koalisi Progresif; Koalisi Progresif kehilangan daerah pemilihan tersebut dengan selisih suara yang tipis dibandingkan dengan jumlah suara milik Partai Hijau.

Adalah penting untuk melihat ideologi dan analisis yang mendasari ekologi sosial dan pandangan-pandangan Marxis tentang ekologi secara lebih rinci guna mengevaluasi implikasi-implikasi politiknya dan potensi mereka dalam menghadirkan tatanan sosial serta ekologi yang didambakan.

Ekologi Sosial
Karena berakar dari pandangan anarkis, maka ekologi sosial sangat anti-kapitalis dan menolak semua bentuk dominasi. Banyak kaum Hijau-kiri merupakan pendukung ekologi sosial; yang cukup dikenal adalah Murray Bookchin, yang menggunakan pertama kali istilah tersebut di tahun 1964 dalam esainya Ecology and Revolutionary Thought.

Bookchin memandang kemerosotan kualitas lingkungan terkait erat dengan ebutuhan/keinginan kapitalisme. Jadi, bukan industri dan teknologi yang salah, melainkan sistem ekonomi yang tak pernah puas, yakni kapitalisme. Selebihnya, sama seperti Marxis, ia menyatakan bahwa “kelas, juga eksploitasi, merupakan landasan bagi akumulasi kapitalis dan keniscayaan menuju pembusukan serta penghancuran planet ini.” Ekologi sosial memandang manusia terutama sebagai makhluk sosial, bukan sebagai spesies yang tidak dapat dibeda-bedakan¾makhluk sosial, yang menurut Bookchin, “sangat berbeda-beda oleh karena status mereka sebagai
orang kaya dan miskin, lelaki dan perempuan, hitam dan putih, gay dan ‘straight’, tertindas dan
penindas.” Ekologi sosial “menekankan tuntutan keadilan dari kaum tertindas terhadap masyarakat yang secara semena-mena mengeksploitasi manusia, karenanya membutuhkan kemerdekaan kaum tertindas.”

Meski mereka tak diragukan lagi humanis, ekologis sosial tidak memandang alam semata-mata sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan material manusia. Jelas sekali ada penilaian estetis seperti terlihat pada kutipan ini: Lepas dari bayang-bayang keraguan apapun, kita sangat membutuhkan kepekaan ekologis¾yang ditandai oleh ketakjuban pada evolusi alam dan semarak biosfer dengan beragam bentuknya…Lebih dari itu, alam merupakan suatu proses—proses mengagumkan yang dapat dinikmati dengan caranya sendiri….

Masyarakat ideal bagi penganut ekologi sosial, menurut
pendapat Howard Hawkins, adalah sebuah “konfederasi
non-hirarkis—masyarakat tanpa kenegaraan,
terdesentralisasi, dan demokratis, yang berbasiskan
kepemilikan bersama atas alat-alat produksi,” atau,
dalam kata-kata Bookchin, “masyarakat berorientasi
ekologis yang berbasiskan komunitas-komunitas dengan
tata-nilai kemanusiaan yang bersifat bebas,
terkonfederasi, yang di dalamnya manusia akan memiliki
kendali langsung, tanpa perantara/ perwakilan, atas
kehidupan sosial dan perorangannya.”

Hawkins mengkaji aspek langsung, tanpa
perantara/perwakilan tersebut: Dengan melandaskan diri
pada majelis kerakyatan sebagai kesatuan publik
non-hirarkis yang menangani semua kepentingan sosial
seperti ekonomi [model anarko-komunis], maka akan
terbangun solidaritas sosial yang lebih solid
ketimbang memfokuskan diri pada persoalan ekonomi
secara lebih sempit seperti model dewan. Dengan
menyatukan kembali produksi dan konsumsi,
anarko-komunisme hendak menghindari pembagian antara
satuan-satuan usaha dan konsumsi yang berbeda-beda,
kepentingan-kepentingan ekonomi yang terpisah-pisah,
dan kemungkinan munculnya hirarki di antara mereka.
Asumsi yang digunakan adalah bahwa dalam masyarakat
tanpa kenegaraan, terdesentralisasi, demokratis, dan
dengan tata-nilai kemanusiaan, maka manusia akan
memiliki kendali yang lebih besar atas masyarakatnya
dan saling memiliki rasa tanggung jawab yang lebih
besar satu sama lainnya, yang akan membuat mereka
mengelola lingkungan dan sumber daya alamnya secara
rasional.

Tentang bagaimana cara untuk menuju ke sana, beberapa
penganut ekologi sosial, seperti Brian Tokar,
mengatakan bahwa caranya adalah dengan menciptakan
alternatif-alternatif yang telah berjalan dengan baik,
khususnya bioregionalisme, dikombinasikan dengan
konfrontasi langsung dengan
perangkat-perangkat/lembaga-lembaga kapitalis
(contohnya demonstrasi di Wall Street setelah Hari
Bumi, 23 April 1990). Para bioregionalis, yang tidak
semuanya mengaku sebagai ekologi sosial, mendukung
penarikan diri yang lebih besar dari ekonomi pasar dan
memantapkan kemandirian pencukupan kebutuhan regional
serta hubungan ekonomi kerjasama di antara
komunitas-komunitas yang disatukan.

Ketika strategi ini dijalankan, pandangan tentang
masyarakat alternatif tersebut terjerumus dalam
tradisi utopian, miskin akan teori yang teruji tentang
bagaimana transisi terjadi di bawah hegemoni
kapitalis. Bukannya menganggap negara sosialis sebagai
tahap yang diperlukan menuju masyarakat tanpa kelas,
misalnya, namun kaum ekologis sosial (seperti Bookchin
dan Hawkins) justru menolak habis negara, yang menurut
mereka sudah pasti merupakan lembaga hirarkis dan
tidak demokratis. Juga tak ada pemikiran mengenai
dunia ketiga¾bagaimana dunia ketiga terkait dengan
negeri-negeri maju dalam hubungan yang tidak setara
dan bagaimana aksi di satu tempat mempengaruhi keadaan
di tempat lain.

Marxisme dan Ekologi
Marxisme, sebagai filsafat dan teori ekonomi-politik,
menyediakan kerangka yang lebih luas dan matang
ketimbang ekologi sosial. Karena itu, keduanya lebih
berguna untuk memahami dunia, termasuk dunia “alam”,
dan memberikan landasan yang lebih kokoh bagi tindakan
politik. Dua aspek dari teori Marxis yang paling
relevan untuk memahami dan melakukan aksi atas isu-isu
tentang ekologi serta lingkungan adalah materialisme
dialektik dan teori akumulasi.

Materialisme dialektik, sebagai filsafat, menjadi ada
dan menyadari relevansinya dengan diskusi ekologi
karena implikasinya pada cara kita memahami alam. Kini
sudah menjadi pemahaman umum di kalangan ekologis
profesional bahwa alam tidaklah statis, bukan sesuatu
yang selalu sama, sekalipun tanpa gangguan manusia.
Dengan ukuran komunitasnya maupun dengan ukuran
biosfernya, alam tidak berada “dalam keseimbangan”,
tidak juga berada dalam “keadaan terbaik”-nya. Kita
tahu tidak ada kekuatan apapun yang dapat memastikan
kesetimbangan stabil dari jumlah populasi ataupun
komposisi spesies dari komunitas-komunitas. Jadi
pernyataan tentang keseimbangan dan keselarasan
bersifat idealis dan ideologis. ( “Keseimbangan alam”
dinyatakan sebagai analog dari “tangan yang tak
terlihat” dalam ekonomi¾di mana persaingan di antara
kekuatan-kekuatan yang berbeda dianggap akan
meleburkan dirinya dalam sistem yang seimbang dan
stabil.)

Dalam esai mereka Dialectics and Reductionism in
Ecology (Dialektika dan Reduksionisme dalam Ekologi)
Richard Levins dan Richard Lewontin melancarkan kritik
atas idealisme dan juga menolak materialisme
reduksionis. Sebagai gantinya mereka mengajukan
pendekatan materialis dialektik untuk mengkaji alam.
Reduksionisme menggunakan asumsi dasar bahwa fenomena
dapat digambarkan secara keseluruhan sebagai gejala
dari obyek yang terisolasi, atau dengan kata lain,
bahwa “yang keseluruhan” (misalnya komunitas), dapat
dipahami semata sebagai penjumlahan dari “yang
sebagian” (misalnya spesies dalam komunitas), yang
tidak memiliki gejalanya sendiri. Namun, dalam
reduksionisme, bagian maupun keseluruhan sama sekali
tidak saling menentukan atau mempengaruhi. Keyakinan
reduksionis akan dunia atomistik tersebut menyebabkan
kegagalan teori ilmiah dan aplikasinya¾karena
membenarkan penelitian atas bagian-bagian dalam
sekat-sekat pembatas antara satu sama lainnya dan
meremehkan kebutuhan untuk memahami saling
keterhubungan, asal-usul saling keterkaitan, dan
sifat-sifat dari keseluruhan yang rumit.

“Ekologi harus menjawab persoalan saling
ketergantungan dan otonomi relatif, kemiripan dan
perbedaan, umum dan khusus, kesempatan dan kebutuhan,
keseimbangan dan perubahan, kontinuitas dan
diskontinuitas, proses-proses kontradiktif,” tulis
mereka. Menurut mereka filsafat yang efektif untuk
memahami karakteristik dan proses-proses tersebut
adalah materialisme dialektik, yang “tesis utamanya
adalah pendapat bahwa alam mengandung
kontradiksi-kontradiksi, bahwa ada kesatuan dan
interpenetrasi dari apa yang kelihatannya eksklusif
tak saling pengaruh, dan karenanya isu utama bagi ilmu
pengetahuan adalah kajian tentang kesatuan dan
kontradiksi tersebut.”

Mungkin berlebihan jika berpendapat bahwa seseorang
harus menjadi Marxis terlebih dulu untuk menjadi
ilmuwan yang baik, kritis, sadar akan kontradiksi
dalam alam dan menyadari asumsi-asumsi perorangan.
Namun Levins dan Lewontin memberi alasan kuat¾dengan
didukung oleh contoh-contoh ekologi populasi dan
komunitas, mereka mengatakan bahwa, bagi kita, tak
cukup sekadar menggunakan pendekatan materialis,
melainkan harus menggunakan pendekatan materialis
dialektik pada hal-hal khusus agar dunia menjadi masuk
akal. Pendapat tersebut benar, khususnya dalam
ekologi, karena melibatkan penelitian atas sistem yang
kompleks secara intrinsik. Hal tersebut mendukung
janji-janji materialisme dialektik untuk menjadi alat
yang dapat lebih diandalkan ketimbang alat
konvensional¾yakni cara-cara reduksionis, yang
menggunakan ilmu pengetahuan untuk mengalihkan
teknologi padat modal dan energi menjadi teknologi
yang lebih “padat-ide”.

Aspek khusus lain yang relevan dari Marxisme adalah
teori akumulasi, yang menjelaskan bahwa syarat
pertumbuhan kapitalisme dihasilkan dari upaya
kekuatan-kekuatan (perusahaan) dalam menghadapi
tekanan-tekanan kompetisi di antara mereka, sehingga
memaksa mereka memotong biaya dan mengakumulasikan
modal sebagai cara untuk bertahan hidup. Teori
tersebut menjelaskan kebutuhan kekuatan-kekuatan
kapitalis yang berkompetisi untuk mengeksternalkan
sebanyak mungkin biaya produksi menjadi beban
masyarakat dalam jumlah besar, termasuk biaya “cuci
tangan”¾(berupa) insentif tetap bagi aktivitas
produksi dan konsumsi yang menghasilkan banyak limbah;
dan ekspansi internasional kekuatan kapitalis ketika
mereka mencari pasar baru, sumber daya baru dan, lebih
banyak lagi tempat baru untuk membuang limbahnya.

Sehingga, terdapat konflik mendasar antara kapitalisme
dan rasionalitas ekologis. Seperti yang dikatakan oleh
Paul Sweezy, bahwa catatan buruk (di bidang
lingkungan) kapitalisme disebabkan oleh sifat
bawaannya yang mengusung proses akumulasi modal yang
tak terkendali. Sistem tersebut tak memiliki mekanisme
pengerem/pengendali selain krisis ekonomi berkala;
satuan-satuan individual yang menyusunnya¾modal yang
terpisah-pisah¾harus tanggap terhadap peluang-peluang
meraup keuntungan dalam jangka pendek, atau
tersingkir; tak ada bagian dalam sistem itu yang
membuka diri atau sesuai dengan suatu perencanaan
jangka panjang yang mutlak sangat penting bagi
pelaksanaan sebuah program ekologi yang efektif.
Banyak yang berpendapat, merujuk pada catatan
lingkungan negeri-negeri sosialis maju, bahwa
sosialisme bukan solusi, dan menegaskan bahwa negeri
sosialis juga berada di bawah tekanan besar untuk
mengakumulasikan modal, mendorong perilaku yang sama
dengan perusahaan-perusahaan kapitalis. James O’Connor
membantah pendapat kebanyakan tersebut dengan
mengatakan bahwa tekanan untuk mengurangi biaya lebih
kecil di dalam negeri sosialis (maupun dalam
satuan-satuan produksinya) ketimbang dalam
perusahaan-perusahaan kapitalis¾karena
perusahaan-perusahaan kapitalis dibimbing oleh
norma-norma pasar; sedangkan perusahaan-perusahaan
sosialis dibimbing oleh norma-norma politik. Walaupun
pertumbuhan ekonomi juga menjadi tujuan kunci dalam
negeri sosialis, namun tak ada kebutuhan pertumbuhan
sistemik dalam kadar yang sama. Pertumbuhan lebih
cenderung menjadi sebuah keputusan politik…. Memang,
watak pengerukan sumber daya yang berani dan tak
terencananya bertujuan demi pemanfaatan, bukan demi
keuntungan, dan pertumbuhan dipandang sebagai sarana,
bukan merupakan tujuan antara maupun tujuan akhir,
kendati dalam prakteknya tentu tidak selalu demikian.
O’Connor berpendapat bahwa ekonomi sosialis berpotensi
menggunakan dan membuang sumber daya dalam jumlah yang
lebih kecil ketimbang ekonomi kapitalis, dan konsumsi
personal di bawah sosialisme menghasilkan lebih
sedikit polusi. Karena dipaksa oleh permintaan,
ekonomi kapitalis didasarkan pada pemenuhan kebutuhan
berbentuk komoditi, melibatkan penciptaan
“kebutuhan-kebutuhan” yang diindividualkan dalam semua
jenis komoditi. Di lain pihak, ekonomi sosialis
menekankan konsumsi kolektif, tempat pemberhentian
massal, fasilitas rekreasi dan liburan bersama,
penanganan kesehatan bersifat pencegahan, dan
permukiman bersama. Sehingga, seperti juga dikemukakan
oleh Sweezy dan Magdoff, negeri-negeri sosialis
setidaknya berpotensi membuat beberapa kemajuan
signifikan menuju produksi yang rasional secara
ekologis.

Kendati demikian, negeri-negeri dengan
kebijakan-kebijakan sosialis secara umum memiliki
catatan lingkungan yang kurang baik. Sebagian karena
keadaan tempat pemerintahan sosialis itu
berada¾relatif miskin, mendapat serangan-serangan dari
luar dan, khususnya bagi yang kecil, mengalami
ketergantungan ekonomi ala Dunia Ketiga, suatu posisi
yang tidak menguntungkan dalam pasar internasional.
Hambatan-hambatan yang saling berhubungan dalam
memenuhi kebutuhan material penduduknya, mendorong
pembentukan pertahanan militer yang cukup kuat, dan
berlanjutnya produksi dan ekspor tanaman industri
serta bahan mentah untuk perdagangan luar negerinya,
sehingga pengambil kebijakan sosialis lebih menekankan
pada akumulasi oleh negara¾suatu adopsi yang tidak
kritis atas banyak bagian dari pembangunan kapitalis,
yang catatannya sangat buruk saat berhadapan dengan
lingkungan (meskipun, tentu saja, ada beberapa
pengecualian).

Tapi factor-faktor yang melekat pada ideologi sosialis
juga memberikan sumbangan terhadap karakter kebijakan
ekonomi sosialis tersebut. Salah satunya adalah
produksionisme Marxisme, yang dicatat oleh Arthur
MacEwan sebagai kelemahan penting yang menyebabkan
diutamakannya kemajuan dalam produksi di atas kemajuan
dalam bidang lain, dan subordinasi tujuan-tujuan lain
di bawah akumulasi sosialis. Faktor lain, dalam
pandangan Michael Redclift, adalah cara Marxisme
mengkonseptualisasikan nilai (value)¾mendasarkannya
pada waktu kerja, karena memang begitu adanya,
ketimbang mendasarkannya pada sifat-sifat bawaan dari
material alam, sehingga membuat “nilai” lingkungan
menjadi tak jelas.

Akhirnya, karena gagal menyadari demokrasi yang
sepenuh-penuhnya maka ekonomi dan politik di bawah
kapitalisme atau sosialisme menjadi persoalan mendasar
dalam krisis ekologis. Seperti ditulis oleh Barry
Commoner, “pemerintahan sosial produksi telah gagal
diwujudkan baik dalam negeri kapitalisme maupun negeri
sosialisme. Apa yang dibutuhkan adalah perluasan
demokrasi hingga ke ajang di mana keputusan produksi
dibuat.” Agak senada, Redclift mengatakan bahwa
individu-individu baik dalam masyarakat industrial
kapitalis maupun sosialis makin dibatasi dalam ikut
bertanggung jawab atas lingkungan terdekat mereka
sendiri dan lingkungan lain di masyrakat yang lain.
Dalam penelitiannya tentang gerakan Hijau di Eropa
Timur, ia menyimpulkan bahwa krisis ekologi
berhubungan erat dengan penghargaan yang kurang
terhadap hak-hak dasar manusia, kebebasan informasi,
dan demokrasi partisipatoris.

Meskipun kecenderungan bawaan kapitalisme membuang
sampah (ke lingkungan) adalah konsekuensi dari
syarat-syarat pertumbuhannya, kita tidak boleh
“meragukan kecerdikan kapitalisme dan kemampuannya
untuk menyesuaikan diri,” seperti diperingatkan oleh
Andre Gorz dalam Ecology in Politics. Dalam tingkat
tertentu, terlihat jelas bahwa kapitalisme bisa
menerima keprihatinan ekologi, sejauh solusi-solusinya
bisa dikomoditikan. Jika masyarakat akan puas dengan
air minum yang bersih¾sementara sungai dan air tanah
berpolusi¾maka kami akan menjual air dalam botol dan
menyaringnya untuk disimpan. Jika agen pengontrol
biologis dapat dikemas dan dijual demi keuntungan bagi
produsen pertanian, hal itu akan dilakukan, dan
mungkin penggunaan pestisida yang berbahaya akan
berkurang. Perusahaan-perusahaan kapitalis, jauh-jauh
hari sebelum dipaksa, bukan saja karena alasan politik
tapi juga karena alasan ekonomi, sudah mmpertimbangkan
sumber-sumber daya ekologi, seperti unsur hara tanah
dan populasi serangga bermanfaat, sebagai persediaan
modal dalam perhitungan mereka.

Kendati beberapa masalah lingkungan dapat dipermak di
sana-sini dalam konteks kapitalisme, tapi tidak
demikian halnya dengan masalah lingkungan secara
keseluruhan. Itu karena kecenderungan kapital untuk
berekspansi secara internasional¾ketika kapital
dibatasi di tingkat lokal (contohnya, ketika
pemerintah setempat menanggapi tekanan dari para
environmentalis dan menerapkan regulasi berbiaya
tinggi pada industri swasta demi perlindungan
lingkungan), maka ia akan pindah.

Tindakan Politik
Dalam pemahaman akhir, tuntutan akan rasionalitas
ekologis dalam skala besar merupakan tuntutan radikal
karena pemenuhannya membutuhkan perubahan struktural
yang mendasar. Hal itu tentu tidak dipahami sepenuhnya
oleh gerakan lingkungan, banyak partisipannya melihat
bahwa tuntutan dan tujuan aksi-aksi mereka hanyalah
untuk menerapkan perangkat-perangkat khusus
perlindungan lingkungan. Peran khusus dari sayap kiri
(ekologis sosial dan Marxis) dalam gerakan lingkungan
adalah untuk secara berkelanjutan mengekspresikan
politik dari keprihatinan ekologis¾bahwa kemerosotan
lingkungan bukan lah masalah “industri” atau
“modernisasi” yang lepas dari hubungan-hubungan sosial
produksi dan pertukaran. Bukan pula persoalan
ideologi, yang selesai dengan kesadaran lingkungan
yang lebih besar atau perubahan dalam gaya hidup
perorangan. Kemerosotan lingkungan adalah persoalan
kontrol yang tidak demokratis atas sumber daya-sumber
daya dan proses pengambilan keputusan.

Walaupun pandangan ekologi sosial dan Marxis memiliki
kesamaan dalam humanisme dan anti kapitalismenya,
sesungguhnya mereka berbeda dalam cara mewujudkannya.
Dalam praktek politik, posisi tegas Marxisme adalah
bahwa ekologi tidak dapat (secara tersendiri) menjadi
tujuan khusus dari suatu masyarakat atau suatu
program. Sebaliknya, ekologis sosial, seperti yang
mereka tunjukkan dalam analisis-analisis dan peran
politiknya dalam partai-partai Hijau dan
organisasi-organisasinya, mendefinisikan politiknya
dalam konteks ekologi dan menurunkan model masyarakat
mereka dari ekologi atau kriteria-kriteria ekologis.
Misalnya, ekologis sosial melihat desentralisasi
sebagai elemen kunci dari masyarakat yang rasional
secara ekologis. Namun, seperti dinyatakan oleh
O’Connor, merujuk pengalaman Cina, desentralisasi
industri, dalam ukuran ekonomi, mempersulit upaya
untuk mewujudkan pengelolaan limbah, dan menyebabkan
permasalahan-permasalahan polusi yang parah di tingkat
lokal. Terlebih lagi, menentukan ekologi sebagai
satu-satunya kriteria untuk aksi, seseorang mungkin
akan menolak kapitalisme tapi tak tahu ke mana harus
pergi. Seperti dipahami oleh Gorz, “ekologi tidak
perlu melakukan penolakan terhadap otoritarianisme,
solusi-solusi teknofasis,” karena dengan itu
aturan-aturan dan kegiatan-kegiatan perlindungan
lingkungan dapat diterapkan pada penduduk secara
paksa.

Konflik yang sering dikedepankan adalah, di satu sisi,
antara lapangan kerja atau keberlangsungan ekonomi
dan, di sisi lain, kualitas lingkungan. Konflik
tersebut sebenarnya tidak ada. Contohnya, menghadapi
perlawanan kaum pecinta lingkungan
(environmentalist)¾terakhir paling terlihat dalam
kampanye Redwood Summer tahun 1990 untuk menyelamatkan
Redwoods yang sudah lama tumbuh di California
utara¾industri kayu California menyalahkan upaya-upaya
pelestarian atas hilangnya lapangan kerja perkayuan.
Kenyataannya industri itu sendiri yang bertanggung
jawab. Dalam dekade terakhir saat produksi kayu di
Humboldt County (salah satu lokasi aksi-aksi Redwood
Summer) meningkat hingga lebih 50%, jumlah pekerja
perkayuan menurun hingga 35%. Otomatisasi dan ekspor
gelondongan untuk digergaji di luar negeri menyebabkan
hilangnya lapangan kerja, dan walau ada penebangan
berlebihan lapangan kerja perkayuan akan tetap menurun
di kemudian hari.
Analisis politik yang lebih besar diperlukan untuk
bergerak menuju tatanan yang lebih sosial dan rasional
secara ekologis. Program yang menghubungkannya harus
mencakup baik tujuan rasionalitas ekologis maupun
tujuan keadilan dan demokrasi yang lebih didefinisikan
secara sosial. Perspektif Marxis menyediakan elemen
penting dalam analisis politiknya yang lebih
besar¾dengan kritiknya pada kapitalisme dan khususnya
teori akumulasi. Akumulasi kapitalis tidak hanya
mendasari dan menggerakkan perusakan lingkungan, tapi
juga penderitaan-penderitaan yang lain, seperti
penerapan kontrol ekonomi dan politik oleh kepentingan
kapitalis atas manusia di seluruh dunia. Hasilnya,
jika kapitalisme adalah masalahnya, maka secara logis
tidak lengkap dan secara politis dangkal jika
membangun gerakan semata berbasis utama pada
keprihatinan ekologis.

Akumulasi kapitalis, dan mobilitas, ekspansi, serta
kontrol yang mengikutinya, memiliki implikasi langsung
terhadap aksi politik kita di seputar isu lingkungan.
Aksi kita harus diluaskan secara geografis jika tidak
ingin menghasilkan kualitas lingkungan (yang baik) dan
keselamatan untuk sekelompok orang tapi dengan
mengorbankan lingkungan, kesehatan, atau nyawa orang
lain. Contohnya, agitasi oleh para pecinta lingkungan
dan konsumen di AS dalam menolak residu dari pestisida
yang mengendap dan menyebabkan kanker (organoklorin
seperti DBCP) telah membuat perusahaan-perusahaan yang
memproduksinya “membuang” pestisida-pestisida tersebut
ke Dunia Ketiga dan menggantinya dengan pestisida yang
tidak menetap di tubuh tapi lebih beracun
(organofosfat seperti parathion). Hasilnya, buruh tani
di AS dan di luar negeri, yang mengerjakan tanaman
budidaya untuk pasar AS, kemudian menderita lebih
banyak keracunan dan tingkat kematian yang lebih
tinggi. Di AS sendiri, kaum pecinta lingkungan
menghasilkan dampak yang tak merata¾terdapat
kecenderungan yang nyata untuk menempatkan sampah
mematikan di lingkungan miskin orang-orang
African-American, Latino dan penduduk asli Amerika
berkaitan dengan rasisme dan kurangnya kekuatan
politik komunitas-komunitas tersebut dibandingkan
dengan warga yang lebih kaya atau tetangga kulit putih
mereka.

Melemahnya negara-bangsa berhadapan dengan kapital
adalah alasan lain mengapa pengorganisasian lingkungan
harus berlingkup internasional. Pada musim gugur 1989
misalnya, dalam menanggapi Belanda yang memberlakukan
aturan emisi kendaraan, Prancis membawanya ke
pengadilan Eropa. Pemerintah Prancis berargumen bahwa
hukum Belanda menunjukkan pengingkaran terhadap
kesepakatan Pasar Umum, karena mobil Prancis akan
terhalangi untuk dijual di Belanda. Prancis
memenangkan kasus tersebut.
Sebagai tambahan, untuk mengkonsolidasikan dan
mempolitisir perlawanan-perlawanan lokal yang sudah
ada¾melawan pembuangan limbah beracun, pestisida,
penambangan tak terkendali, dan lain sebagainya¾demi
kesatuan dan dampak politik yang lebih besar, kita
perlu mulai mengkoordinasikannya dalam gerakan
nasional dan internasional. Itu sama dengan
internasionalisasi pengorganisasian buruh, yang
diperlukan karena alasan yang sama.

Banyak gerakan lingkungan di Dunia Ketiga terdiri dari
orang-orang yang lingkungan hidupnya mengalami ancaman
langsung dari polusi dan ekstraksi sumber daya.
Beberapanya secara sadar anti imperialis dan atau
sosialis. Tapi gerakan dan organisasi-organisasi Dunia
Ketiga tersebut biasanya kekurangan sumber daya untuk
melakukan lebih banyak koordinasi internasional.
Organisasi-organisasi lingkungan progresif yang
berbasis di negeri-negeri yang lebih kaya dapat
memainkan peran penting dalam internasionalisasi
aktivisme lingkungan, tidak hanya dengan kerja
solidaritas jangka panjang, seperti pekerjaan New
World Agriculture Group di Nikaragua, tapi juga
melalui pembangunan jaringan organisasi-organisasi dan
koordinasi aktivisme dalam skala internasional. Contoh
dari organisasi yang membantu membangun jaringan
internasional dan mengkoordinir aksinya adalah
Pesticide Action Network, Greenpeace (yang sudah
mengangkat dan melawan ekspor pestisida serta limbah
beracun berbahaya), dan mereka yang membantu
mengorganisir Fourth Internasional Congress in the
Fate and Hope of the Earth yang diselenggarakan di
Managua bulan Juni 1989, termasuk Earth Island
Institute dan Environmental Project on Central America
(EPOCA).

Karena mustahil menerapkan rasionalitas ekologis dalam
skala luas di bawah kapitalisme, para pecinta
lingkungan dan gerakan lingkungan dapat, dan di
beberapa bagian dunia sudah, menjadi agen-agen
perubahan revolusioner. Untuk mewujudkan potensi itu,
para aktivis harus mengingat bahwa:
· permasalahan-permasalahan ekologi adalah masalah
politis dalam makna bahwa maslah-maslah tersebut
dihasilkan atau sangat dipengaruhi oleh
kesenjangan-kesenjangan kontrol atas sumber daya dan
kekuatan politik di antara kelompok-kelompok dan
bangsa-bangsa;
· ekologi tidak dapat menjadi program politik itu
sendiri, melainkan harus menjadi bagian dari analisa
dan program yang lebih luas;
· perlu memehami kapitalisme, dan khususnya dinamika
akumulasi modal, agar mengerti mengapa kerusakan
lingkungan terjadi dan akan terus berlanjut dalam
dunia yang kapitalistik;
· oleh karena mobilitas dan ekspansi modal, serta
melemahnya negara-bangsa, maka perlu mengkoordinasikan
strategi secara internasional.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekologi [merah] - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger