EKOLOGI, KAPITALISME, DAN PEN-SOSIALISASIAN ALAM - ekologi [merah]
Headlines News :
Home » » EKOLOGI, KAPITALISME, DAN PEN-SOSIALISASIAN ALAM

EKOLOGI, KAPITALISME, DAN PEN-SOSIALISASIAN ALAM

Written By ekologi [merah] on 12.10.2008 | Rabu, Desember 10, 2008

Monthly Review, November, 2004 oleh Dennis Soron


Kegagalan Reformasi Lingkungan hidup Global

DENNIS SORON: Setelah pertemuan Rio Earth Summit pada tahun 1992 yang akhirnya memasukkan penyebab reformasi lingkungan hidup global dalam agenda politiknya, banyak ahli lingkungan hidup jadi lebih optimis. Namun dengan kondisi lingkungan hidup yang semakin memburuk dan pemerintah menolak mengambil tindakan yang efektif, optimisme itu memudar. Bagaimana bisa harapan yang memuncak pada pertemuan di Rio jadi salah kaprah?

JOHN BELLAMY FOSTER: Optimisme tersebut jadi salah kaprah terutama disebabkan karena kelompok-kelompok lingkungan hidup tidak memperhitungkan tekanan ekonomi yang ditujukan kepada mereka atau mempertimbangkan fundamental sistem ekonomi kapitalisme yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Selama satu dekade terakhir, kita menyaksikan pesatnya ekspansi perdagangan neoliberal dan rejim investasi mengacuhkan pentingnya perbaikkan lingkungan hidup. Perlu diingat bahwa pada saat pertemuan di Rio, negosiasi GATT sedang berlangsung pula di Uruguay Round. dari negosiasi-negosiasi tersebut lahirlah formasi WTO, organisasi yang mensentralisasi pengambilan keputusan ekonomi internasional dan mengisyaratkan bahwa regulasi-regulasi lingkungan hidup secara global akan ditentukan oleh dewan tersebut. Sama halnya dengan NAFTA, IMF, Bank Dunia, dan institusi-institusi neoliberal lainnya WTO telah menyatakan dengan jelas bahwa pertumbuhan ekonomi adalah tujuan utama mereka apapun harganya, kerusakkan sosial ataupun lingkungan hidup sekalipun.

perkembangan-perkembangan lain beberapa tahun terakhir ini menjadi puncak meningkatnya pesimisme komunitas lingkungan hidup—sebagai contoh, Amerika Serikat mengundurkan diri dari Protokol Kyoto, lalu administrasi Bush bersikeras (position) pada permasalahan seputar perbedaan biologis, bioteknologi, kontrol plasma bakteri, dan sebagainya. Walaupun Amerika Serikat diberbagai bidang telah mengambil keputusan secara sepihak, dia tidak sendirian mengindahkan pemanasan global dan masalah-masalah lingkungan hidup lainnya. Dinamika sistem ekonomi global mendikte dan menyebarkan keengganan pada seluruh dewan/pemerintah negara kapitalis untuk mengambil tindakkan efektif penyelamatan lingkungan hidup.

Pada Johannesburg summit—sepuluh tahun setelah Rio Earth Summit—semangat yang tercipta diantara kelompok-kelompok lingkungan hidup adalah kegamangan dan keyakinan bahwa negosiasi yang mereka lakukan tidak akan menghasilkan apapun, dan mereka memang tidak menacapai resolusi apapun. Betapapun mengecewakan hilangnya optimisme yang ada, pesimisme ternyata lebih masuk akal dalam menyikapi masalah yang sedang kita hadapi. Sebagai contoh, panel intergovernmental tentang perubahan iklim, baru-baru ini menyatakan bahwa perkiraan cuaca yang mereka buat terlalu konservatif, dan kemungkinan perubahan besar dalam dunia lingkungan hidup lebih besar dari yang diprediksi. semua tanda-tanda mengacu pada menggunungnya krisis lingkungan hidup, dan tindakan politik untuk mengatasinya tetap sedikit.

DS: Dalam apatisme politik seperti ini perlukah kelompok-kelompok lingkungan hidup menelaah ulang strategi-strategi mereka untuk mempromosikkan perubahan?

JBF: Saya rasa begitu. Seperti yang anda ketahui, akhir-akhir ini saya sedikit kritis terhadap strategi-strategi yang diadopsi oleh beberapa kelompok. kita ambil contoh International Forum on Globalization (Forum Internasional untuk membahas Globalisasi) dan beberapa organisasi serupa, yang sangat baik dan progresive dalam berbagai bidang. Walaupun demikian, dalam beberapa laporan terbaru mereka, kebijakan utama yg mereka tawarkan adalah “menghijaukan” Bank Dunia, WTO, dll—dan entah bagaimana caranya mengubah institusi-institusi tersebut menjadi lebih “hijau” dan ramah lingkungan. Sedangkan kontrol utama institusi-institusi tersebut adalah modal, dan tidak akan pernah berubah. Tujuan utama WTO, contohnya, adalah memperluas akumulasi modal bagi kepentingan negara-negara kaya dengan menyingkirkan penghalang mobilitas modal internasional, menghapus subsidi dan regulasi, dan pada dasarnya menerapkan kebijakan neoliberal keseluruh dunia. Sampai pada tahap ini, mustahil “menghijaukannya” atau merubahnya menjadi organisasi lingkungan hidup.

Untuk melangkah maju, kita tidak hanya harus lebih terorganisir tetapi juga lebih realistis terhadap kekuatan lawan, dan lebih terbuka mengusung isu ekonomi yang lebih luas tepat dipusat krisis lingkungan hidup. Gerakan lingkungan hidup harus berhenti berpikir bahwa negosiasi dengan sekelompok elit akan melahirkan kompromi yang akan menyelamatkan lingkungan hidup. Sebab tujuan mereka adalah “sustainable development” mempertahankan pertumbuhan—yang berarti mempertahankan pertumbuhan ekonomi di negara kaya dan mempertahankan akumulasi modal. Institusi semacam ini tidak akan pernah berkompromi.

Ekologi melawan Kapitalisme.

DS:Tidak seperti para ekolog radikal, yang cenderung menggambarkan “modernitas” atau “industrialisasi” sebagai sumber pengrusakkan lingkungan hidup. Anda menekankan tentang pentingnya landasan teori ekologis dan praktek yang sistematis dalam mengkritik kapitalisme. Bisa anda jelaskan lebih detil?

JBF: Pertama-tama, fakta bahwa kapitalisme adalah sistem sosial yang berlaku didunia yang kita tinggali ini tidak dapat dipungkiri, dan satu-satunya cara untuk lebih memahami dan memetakan sistem tersebut adalah dengan berpikir seperti seorang kapitalis. Sudah sejak dulu para ahli ilmu sosial dari berbagai disiplin ilmu dan berbagai spektrum politik setuju atas gagasan ini dan berbagi pemahaman dasar cara kerja sistem tersebut.

Tentu saja dalam lingkungan progresif, terus diperdebatkan pentingnya “memberi nama sistem” tersebut atau tidak.sebab terkadang terlihat terlalu radikal dan besar untuk mengklaim bahwa kapitalisme adalah satu-satunya momok dari masalah yang kita hadapi. Sebaliknya, organisasi-organisasi tidak sungkan menyebut “nama” kapitalisme. Majalah Fortune dan Business Week secara eksplisit memuja kapitalisme. Pendekatan apapun yang kita adopsi, masih ada sedikit keraguan sistem apa yang sebenarnya kita anut.

Dengan penghargaan terhadap “Industrialisme,” perlu dipahami kapitalisme merusak lingkungan hidup jauh sebelum adanya revolusi industri—sehingga masalahnya tidak bisa ditimpakan begitu saja pada metode produksi industri. “Modernitas” adalah kategori yang teramat sangat luas sehingga terkadang sangat sulit mendefinisikan arti sesungguhnya. Apapun itu, sebenarnya kita hanya akan banyak menghabiskan waktu membahasnya dan ini bukan cara yang tepat untuk mendeskripsikan sebuah sistem sosial. Dia mungkin saja memberi metode bagaimana menjelaskan pola perkembangan historis karakteristik sistem sosial yang kita miliki, tetapi tidak mengarahkan kita pada apapun yang konkrit. Jika modernitas adalah cikal bakal kerusakan lingkungan hidup, maka masalah hanya akan timbul dalam masyarakat “modern”. Saya rasa terlalu gegabah untuk membuat kesimpulan semacam itu.

Menurut saya persoalan ekologis timbul sejak satu milenia, tetapi untuk memahami persoalan ekologis dalam satu kurun waktu tertentu perlu pemahaman akan sistem yang berlaku pada saat itu. Kapitalisme memang sangat merusak lingkungan hidup, tapi perlu diingat kapitalisme bukanlah satu-satunya sistem yang merusak. Sistem ala-Soviet juga melakukan pengrusakan lingkungan dengan cara dan alasan yang berbeda. Feodal dan masyarakat lainnya pada milenia sebelumnya juga sangat merusak lingkungan hidup. jadi dapat dikatakan meningkatnya krisis ekologis global menunjukan kerja keras kapitalisme. Jika anda mencari apa sumber asal kekuatan yang memicu krisis ini terlihat jelas sebab musababnya tidak dapat dipisahkan dari dinamika dasar kaptalisme global itu sendiri. Dulu dan sekarang kapitalisme tetap menuntut pertumbuhan ekonomi yang konstan dan cepat. Jadi pada dasarnya, dapat disimpulkan ekonomi kapitalis diharapkan menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar 3% setiap tahun. Sehingga perekonomian dunia akan meningkat 16 kali dalam seabad, 250 kali dalam dua abad, dan meningkat 4000 kali dalam tiga abad. Ini memang hanya hitungan matematis tapi ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang begitu hebat tentu saja dalam konteks biospere tertentu akan mendatangkan masalah. Tentu, dalam skala sistem ekonomi global semakin berseberangan dengan proses biokemikal planet. jelas saja ini mendatangkan keraguan terhadap efektifitas dan kemampuan pendekatan lingkungan hidup yang tidak memperhitungkan pentingnya pertumbuhan kapitalis.

DS: Dalam konteks ekologi Marx, anda mengatakan hasil karya Marx sebagai sumber inspirasi pemikiran ekologis radikal kurang dihargai. Ini bukannya bertentangan dengan asumsi umum tentang Marx dan Marxis? Untuk sebagian pemikir “hijau”, Marx diklaim tidak punya sikap terhadap masalah lingkungan hidup, atau bahkan terang-terangan anti-ekologi melalui kepercayaan “promothen” nya tentang perkembangan ekonomi dan teknologi, hubungannya dengan orientasi tradisi pencerahan “kekuasaaan” alam, dan sebagainya.

JBF: Ya, saya memang menentang intrepretasi seperti yang anda sebutkan tentang Marx—dan mungkin hanya saya yang berpikir demikian. Berkat beberapa peneliti, telah didokumentasikan bahwa Marx menulis tentang krisis ekologis dan langkah-langkah penanggulangannya.pandangan Materialis Marx dipengaruhi oleh Justus von Liebig ilmuwan tanah (soil) abad sembilan belas—yang jelas ter-refleksi melalui idenya tentang “metabolic rift” (jurang metabolis) yang timbul antara daerah pedesaan dan kota, dan dislokasi ekologis yang mengakibatkannya. Ide-ide seperti ini, seharusnya terus menjadi sumber analisis kritis problematika ekologis. Kegagalan memanfaatkan kontribusi Marx dimulai, perbidangnya; dari meningkatnya keberpihakkan hingga menganggap enteng nilai-nilai ekologis dan bentuk pemahaman yang sama fundamentalnya dengan kesempatan pemikiran ilmiah dan materialis. Saat ini, menjadi “ekologis” berarti melihat lingkungan hidup dengan cara yang lebih spiritualis dan idealis, dan (steering clear) sikap instrumental, reduktif, dan antagonistik terhadap alam yang ditampilkan dalam ilmu pengetahuan dan pencerahan. Karena itu, menjadi seorang pecinta lingkungan hidup berarti menolak ide-ide “antroposentris” menanamkan kesadaran spiritual nilai-nilai yang dimiliki alam, dan bahkan mungkin saja menempatkan alam diatas manusia.

Berbeda dengan pernyataan diatas, ada tradisi lingkungan hidup yang lebih menggunakan prinsip-prinsip materialis dan sebenarnya melahirkan lebih banyak ilmu ekologi yang sampai sekarang masih terus diperdebatkan. Tradisi ini dalam berbagai bidang telah memprediksi permasalahan ekologis lebih awal dan lebih substansial, dan—menurut saya—memberikan banyak kontrubusi bagi kita untuk mengatasinya sekarang ini. Terlebih lagi tidak begitu saja mengkotak-kotakkan anda sebagai antrophosentris atau ekosentris, pro-manusia atau pro-alam. Sebaliknya tradisi ini mengetahui bahwa inti masalahnya lebih mengacu pada interaksi hubungan antara manusia dan alam, bagaimana kita mengatur hubungan kita dengan alam. Kita harus mengetahui kandungan instrinsik alami bumi dan tentu saja berusaha melindunginya. Tetapi kita juga perlu memahami bahwa kita tidak dapat memungkiri fakta kita telah merubah alam selama kita hidup dan bekerja dalam bumi ini. Sampai tahap ini, tujuan utama kita seharusnya adalah merubah alam tanpa merusaknya, membuat peraturan hubungan kita dengan alam.

Disinilah Marx sebenarnya menyajikan bagaimana mengatur hubungan kita dengan alam dan bagaimana lingkungan hidup berproses sebenarnya berkaitan dengan perkembangan hubungan masyarakat dan sosial. Sayangnya, para analis marxis tidak benar-benar mengikuti jejak sang guru, setidaknya tidak cukup lama, sehingga pandangannya tentang ekologis hilang. Para anti-positifisme Marxisme Barat terkadang memanifestasikan diri dengan mengacuhkan atau memusuhi ilmu pengetahuan. Dilain pihak, “materialisme dialektik” yang berasal dari Unisoviet over-positif serta terlalu memuja dan memakai konsepsi ilmu pengetahuan yang salah. Disinilah analisis ekologis jadi salah kaprah, disatu sisi, ilmu pengetahuan mekanis tidak memberikan ruang untuk manusia, disisi lain hermeneutis, adalah tradisi humanistik menolak ilmu pengetahuan.

Kita membutuhkan materialisme, yang lebih rasional, yang memandang permasalahan ekologis dengan imbang dan menggalang kepedulian untuk mengatasi krisis lingkungan serta kebutuhan mempertahankannya dilihat dari perspektif ekonomi. Sampai pada tahap ini Marx adalah salah seorang pemikir yang meletakkan prinsip-prinsip dasar materialisme tipe tersebut, saya rasa pemikirannya masih sangat penting bagi kita.
Tentang Moralitas Ekologis

DS: Anda jelas berhati-hati terhadap posisi idealistik lingkungan hidup yang berbasis pada pandangan “ekosentris”, semangat abad baru, dan sebagainya. Anda juga berpendapat krisis ekologi saat ini juga merupakan krisis nilai—yang muncul dari dominasi nilai-nilai pasar dibanding yang lain. Berarti anda menyatakan kita membutuhkan “revolusi moral” dalam hubungan kita dengan alam, revolusi tidak hanya terhadap tindakan-tindakan dan keputusan tidak bertanggung jawab konsumen perorangan, politisi, dan para CEO, tetapi juga kepada “amoralitas tingkat tinggi” sistem kapitalisme itu sendiri. Bagaimana caranya kita mengaplikasikan kategori-kategori moral terhadap pelaksanaan sebuah sistem sosial? Apakah ini berarti menyepelekan tanggung jawab individu yang sekarang diteriakkan para ahli lingkungan hidup?

JBF: Memang agak sulit membicarakkan moralitas pada tahap ini, tetapi perlu dilakukan jika kita tidak ingin meletakkan kesalahan pada individu tertentu atas kerusakkan ekologi yang dipicu oleh sistem pasar para kapitalis. Saya mengutip istilah “amoralitas tingkat tinggi” dari C. Wright Mills, beliau juga menggunakannya untuk mengekspresikan kepedulian terhadap status moral struktur-struktur sosial yang membentuk dan membatasi pilihan dan tindakan seseorang.
seiring dengan berjalannya waktu kita terbiasa menerima prinsip-prinsip dasar moral tertentu mengenai perkembangan manusia—contohnya setiap orang tidak bebas dari tekanan dan kontrol, berhak mengembangkan bakat dan kemampuan masing-masing, berpartisipasi dalam proses demokrasi, dan sebagainya. Prinsip-prinsip tersebut tentu saja terikat pada soal-soal perkembangan sosial yang lebih umum, yang berarti prinsip-prinsip dasar tersebut berevolusi seiring pergulatan manusia dan memiliki kondisi-kondisi sosial tertentu dalam prakteknya.

Jadi bagaimana kita melihat sebuah sistem sosial yang menghambat perkembangan manusia seperti ini? Bagaimana jika sistem tersebut, seperti yang kita miliki, sebenarnya membatasi kebebasan berkembang keseluruhan populasi dan dikuasai oleh segelintir orang? Bagaimana jika sistem tersebut hanya mengutamakan kepentingan para investor kaya, dan mengabaikan nasib seluruh populasi sekarang dan keturunannya? Buat saya, ini terlihat sebagai bentuk “amoralitas tingkat tinggi.”
Anak cucu kita, jika tidak punah, tentu tidak akan memuja orang yang merusak alam, tidak juga sistem yang memungkinkan terjadinya hal memalukan itu. Perlu kita sadari bahwa tanggung jawab moral kita pada anak cucu tidak hanya terletak ditangan perorangan, tetapi terkait pada keseluruhan struktur masyarakat dimana kita, sebagai individu, terlibat didalamnya.

Tentu saja kita bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pribadi kita, yang perlu dipahami tindakan-tindakan tersebut terkadang bukan pilihan melainkan ditentukan dan diarahkan oleh struktur masyarakat tertentu yang kita anut. Marx, sebagai contoh, tidak menggambarkan para kapitalis sebagai orang baik, tetapi dia, mungkin melebihi kritikus sosial terkenal pada jamannya, berulang kali menyalahkan kelemahan kapilisame atas kerakusan dan kesalahan pelakunya. Marx menyadari ketika orang ditempatkan dalam kelas kapitalis, maka tidak salah jika dia melaksanakan aturan pasar dan berusaha mendapat untung besar atas barang dan investasinya. Masalahnya proses pasar berorientasi keuntungan ini secara sistematis berkecenderungan merampas hak orang lain dan merusak lingkungan hidup.

Setiap Institusi yang merusak alam dan mengakibatkan keturunan kita semakin kehilangan interaksi dengan alam masuk dalam kategori amoralitas tingkat tinggi. Marx menulis manusia tidak memiliki dunia, kita hanya menggunakan dan berkewajiban melestarikannya untuk anak cucu kita. Inilah sebagai dasar prinsip moral menggaris bawahi semua pertanyaan tentang ketahanan alam—landasan dasar universal bagi setiap masyarakat yang merasa keturunan kita berhak mendapat kesempatan yang sama.

Sedihnya, prinsip-prinsip dasar tersebut tidak berpengaruh banyak dalam masyarakat kita. Masyarakat yang dengan rakus terus menerus memanfaatkan alam milik anak cucu kita. Para peneliti meyakini pada akhir abad ini akan terjadi kepunahan sekitar 30-50 spesies mahluk hidup. Mereka menyebutnya sebagai “kepunahan keenam.” Kepunahan terakhir yang sebanding terjadi sekitar 65 juta tahun yang lalu, yaitu ketika dinosaurus mengalami kepunahan. Kita, manusia, melakukan ini terhadap bumi—tidak sebagai individu-individu, melainkan sebagai bagian dari sebuah sistem sosial yang membuat kita menjadi penghancur dan menilai segala hal berdasarkan akumulasi modal.

DS: Walaupun mengalami kemunduran politik dalam beberapa tahun ini, sebagian besar segmen masyarakat tetap menunjukkan kepedulian mereka terhadap permasalahan lingkungan hidup. Sayangnya, banyak sekali cara untuk menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan hidup—seperti bersepeda kekantor, mandi lebih cepat, menggunakan lampu hemat energi, daur ulang, kompos, dan lain sebagainya—tanpa menciptakan pilihan gaya hidup yang sadar lingkungan. Bagaimana gerakan lingkungan hidup mulai menghubungkan ekspresi-epspresi kesadaran dan tanggung jawab ekologi seperti tersebut diatas kearah yang lebih transformatif?

JBF: tentu saja dibutuhkan organisasi politik yang lebih tinggi tingkatannya dan kemauan besar untuk menohok langsung kepusat masalah sebenarnya. Gerakan lingkungan hidup harus menyadari bahwa musuh utama mereka berada pada struktur kekuasaaan masyarakat kapilatis. Intinya, mencapai kestabilan lingkungan hidup berarti merubah struktur kekuasan masyarakat kapilatis, bukan memperbaiki kerusakan kecil yang dihasilkannya.

Saya akan berikan contohnya. Kita sering diberitahu, agar sadar lingkungan, untuk secara sadar memilih tidak mengendarai mobil, dan sebaliknya lebih memilih berjalan kaki, mengendarai sepeda, atau menggunakan kendaraan umum. Padahal bagi sebagian orang pilihan-pilihan tersebut tidak masuk akal. Jalan-jalan, pekerjaan dan keseluruhan infrastruktur urban yang ada tidak memungkinkan kita melakukan kegiatan sehari-hari dengan bersepeda atau berjalan kaki, serta banyaknya tempat yang tidak terjangkau kendaraan umum. Dengan keadaan seperti ini, mengaharapkan manusia membuat pilihan pribadi yang sadar lingkungan saja sangat tidak memadai. Kita perlu terorganisir secara politis untuk menciptakan struktur-struktur sosial—transportasi umum, sistem kereta dalam kota, jam kerja yang fleksible, perencanaan kota dan pengembangan lahan yang baru, dan lain sebagainya—yang memungkinkan manusia benar-benar dapat melakukan pilihan-pilihan tersebut.

Hal ini juga berlaku pada berbagai permasalahan lain. Anda bisa saja menyuruh seseorang untuk “belanja hijau” (belanja produk ramah lingkungan¬), tetapi tidak banyak faktor penunjang yang memungkinkannya. Tidak ada label pada produk yang membedakan produk “hijau” dari produk lainnya di rak-rak supermarket; atau bahkan produk-produk ramah lingkungan tersebut malah tidak tersedia sama sekali, atau terlalu mahal sehingga tidak terjangkau. Intinya, semua ini permasalahan politik, yang berpusat pada struktur kekuasaan yang perlu diambil alih sebelum kita dapat membuat pilihan –pilihan yang ramah lingkungan.

Melihat Kedepan

DS: Dalam sebuah artikel yang awalnya diterbitkan dalam Monthly Review dan kemudian menjadi salah satu bab dalam buku anda yang berjudul Ecology Against Kapitalisme (Ekologi Melawan Kapitalisme), anda menuliskan tentang “the limits of environmentalism without class” (keterbatasan lingkungan-hidup-isme tanpa kelas). Menurut anda mengapa gerakan lingkungan hidup yang ada sekarang perlu melirik persoalan kelas sosial?

JBF: Tulisan tersebut saya tulis awal tahun 1990an pada saat krisis burung hantu berbintik di hutan tua, barat-laut pasifik. Pada masa itu, strategi kebanyakan organisasi lingkungan hidup berpengaruh adalah menggunakan pendekatan yang sempit dan tunggal terhadap konflik. Pada dasarnya, mereka memihak alam—satu-satunya perhatian mereka tertuju pada melindungi hutan tua, dan sama sekali bukan tanggung jawab mereka untuk mengurusi penyebab kerusakan hutan seperti pekerja hutan atau kondisi ekonomi komunitas para pekerja. Saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang yang bertugas mengadakan lobi dengan Washington DC tentang permasalahan ini, dan dia dengan gamblang menjelaskan pandangan organisasinya, mempertimbangkan kondisi para pekerja hanya akan melemahkan posisi mereka. Baginya, kerja aktifis lingkungan hidup hanyalah melindungi hutan.

Kekurangan strategi ini adalah anda memaksa para pekerja yang sebenarnya punya kepedulian melestarikan alam, tetapi masih berkepentingan mempertahankan hidup dan pekerjaannya, memihak manajemen dan mengadopsi bentuk industri yang merusak ekologi. Pada kasus krisis burung hantu berbintik, para pekerja—walaupun sebenarnya bermasalah dengan perusahaan-perusahaan kayu tempat mereka bekerja mengenai soal gaji dan persoalan buruh lainnya—tidak punya pilihan selain memihak perusahaan. Mereka melihat kerja para aktifis mengancam pekerjaan mereka. Dalam konteks ini “gerakan bijak” di barat berhasil mengeksploitasi dan meng-“kipas”-i kekhawatiran para pekerja, walaupun mereka dibiayai oleh kapital dan tujuan utamanya memperlancar jalannya modal. Aliansi politik antara pekerja dan industri inilah penyebab utama proses perumusan kebijakan lingkungan hidup mendapat banyak perlawanan di Barat.

Yang ingin saya sampaikan disini jika aktivis lingkungan hidup hanya menggunakan satu sudut pandang dalam melihat sebuah permasalahan, mereka dengan sengaja menyerahkan para pekerja ke tangan pemodal. Agar strategi mereka efektif secara politik dan menyentuh permasalahan dasar, mereka harus menghadapi persoalan kelas sosial. Dalam masyarakat kapitalis yang sebagian besar penghuninya adalah kelas pekerja, gerakan lingkungan hidup tidak akan kemana-mana jika orentasi mereka berputar pada kelas menengah atas keatas, atau begitu saja menisbikan kelas sosial dan menyerahkan nasib para pekerja ditangan pasar. Gerakan lingkungan hidup sebaiknya tidak hanya memberikan pilihan antara melestarikan alam atau mempertahankan pekerjaan bagi para pekerja. Sebaliknya, membuat program politik yang memenuhi kebutuhan sosial dan material para pekerja yang juga ramah lingkungan. Dengan terbangunnya strategi politik pekerja-aktivis lingkungan hidup maka perubahan yang sejati akan terwujud.

DS: Dalam buku anda The Vulnerable Planet, anda menuliskan tentang “the socialization of nature” (pen-sosialisaian alam)—tujuan politis yang sampai pada tahap tertentu terlihat seperti sandiwara sederhana tentang tujuan tradisional kaum kiri mensosialkan ekonomi. Untuk sebagian ahli lingkungan hidup, sama saja dengan mengurangi kewaspadaan, dan dapat diartikan melanggengkan subordinasi alam atas kebutuhan sosial manusia. Bisakah anda menjelaskan istilah anda tersebut lebih detil?

JBF: kekuatan dominan yang berkuasa sekarang ini mengarah pada yang kita sebut sebagai privatisasi alam. Perekonomian global sekarang ini terus merubah kekayaan alam sebagai komoditas privat yang dapat dibeli dan dijual di pasar—air, hutan, spesies tanaman, dan bahkan (dengan meningkatnya polusi) atmosfir. Kecenderungan privatisasi alam sangat merusak, dan memicu permasalahan-permasalahan lingkungan hidup yang selama ini kita perdebatkan adalah masalah endemik kapitalisme.

Pen-sosialisasian alam tidak demikian. Menurut pandangan saya, semakin kita menempatkan alam dalam perlindungan manusia melalui proses demokratik yang menentukan aturan ketahanan alam, keadaan akan membaik. Jika kita memandang kekayaan alam sebagai kapital, kita membiarkan kontrol dan eksploitasi alam berada ditangan perseorangan yang dapat merusak ketahanan alam.

Sebagai contoh, ketika kita merubah sebagian hutan untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh masyarakat sebab area tersebut milik pribadi. Hutan-hutan kita memang dalam kondisi rusak parah sekarang ini, tetapi bila dibandingkan dengan hutan pribadi, kondisinya jauh lebih baik. Jika anda melihat lahan-lahan milik perseorangan diwilayah Northwest (barat laut) Pasifik, anda akan menemui bahwa semua pepohonan yang cukup tua telah dibabat habis dan diganti dengan pepohonan muda yang akan sesegera mungkin dipanen (dipotong). Bentuk produksi dan panen ini merupakan industri dan sama sekali tidak memperdulikan pelestarian integritas hutan atau kesehatan ekosistem. Satu-satunya alasan kita masih memiliki hutan adalah karena hutan tersebut adalah hutan lindung yang dilindungi pemerintah, dan hutan itu tersebut telah disosialisasikan.

Sekarang ini, para advokat privatisasi sangat menghakimi negara, cenderung menghubungkan setiap bentuk “sosialisasi” dengan totalitarianisme ala-Soviet, statisme, dan lain sebagainya. Mereka cenderung melupakan bahwa negara memiliki berbagai wujud—walaupun, demokrasi itu sendiri tidak akan ada tanpa negara. Ketika segala sesuatu dibumi menjadi milik pribadi, maka daerah kepentingan demokratik publik akan menghilang, dan anda akan dikelilingi aktor-aktor privat yang dengan egoisnya mengejar kepentingan pribadi masing-masing. Dalam meriahnya era privatisasi dan deregulasi ini, terkadang kita lupa bahwa banyak kebutuhan dasar yang kita nikmati—dari setetes air, hingga listrik, sanitasi, taman-taman, dan lain sebagainya—tidak disediakan oleh bisnis, melainkan oleh agen-agen publik untuk memenuhi permintaan demokratik. Seperti halnya, perlindungan lingkungan hidup paling mendasar yang kita miliki sekarang ini dihasilkan dan diimplementasikan oleh badan-badan publik demokratik, yang dengan berat hati diberi sedikit ruang oleh kelas para kapitalis.

Jika semua hal dimuka bumi diprivatisasi, maka sebagian besar populasi manusia akan kehilangan kemampuan untuk melindungi alam atau bahkan diri sendiri atas kehendak kaum minoritas penguasa yang memiliki dan menguasai sebagian besar sumber-sumber daya sosial. Kebalikannya, jika bumi menjadi milik dan memenuhi kepentingan publik, maka kita meletakkan alam dalam sebuah kontrol politik yang memberlakukan prinsip-prinsip demokratik. Berdasarkan pemahaman inilah pen-sosialisasian alam merepresentasikan strategi demokratik dan anti-kapitalis, yang berhubungan dengan sosialisme. Sosialisme mendukung pelaksanaan penuh kontrol publik demokratik, meyakini bahwa mayoritas masyarakat biasa berhak menentukan pemanfaatan sumber-sumber daya kolektif. Saya rasa, kita seharusnya melangkah kesana jika ingin merubah hubungan kita dengan alam dan meraih ketahanan alam yang sejati.


---------

Wawancara ini dilakukan melalui telephon pada bulan Januari Tahun 2004. diterbitkan bulan Agustus 2004 pada Aurora Online—Interviews with Leading Thinkers and Writers (wawancara dengan para pemikir dan penulis terkemuka), htttp://aurora.icaap.org. tulisan yang tersaji ini telah mengalami sedikit modifikasi.
WAWANCARA ANTARA DENNIS SORON DENGAN JOHN BELLAMY FOSTER
Dennis Sorron adalah peneliti Neoliberal Globalism and Its Challengers Project (globalisme neoliberal dan proyek-proyek tandingannya) di Universitas Alberta. Dimana dia mengajar sebagai dosen paruh waktu pada departemen sosiologi.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekologi [merah] - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger