STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA - ekologi [merah]
Headlines News :
Home » » STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA

STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA

Written By ekologi [merah] on 10.24.2009 | Sabtu, Oktober 24, 2009

STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA [I]
Oleh : Doug Lorimer


(Naskah tak lengkap)


Kata Pengantar
Bab 1: Kelahiran Gerakan Komunis di Cina
Bab 2: Revolusi Cina yang Kedua (1925-1927)
Bab 3: Kebangkitan Mao Zedong Merebut Kekuasaan
Bab 4: Maoisme Berkuasa
Lampiran: Pemikiran Mao Zedong dan Materialisme Dialektik


Kata Pengantar

Di mata dunia, Mao Zedong menampilkan dirinya sebagai sosok praktisi Marxis-Leninis yang tak tertandingi, seorang pejuang tanpa kompromi dari dunia gerakan revolusioner buruh dan tani. Saat ia meninggal, pada bulan September, 1976, ia dielu-elukan oleh Hsin hua, sebuah kantor berita resmi Cina, sebagai “Guru Besar kaum proletar internasional dan bangsa-bangsa serta rakyat tertindas”, dan sebagai orang yang telah mendedikasikan hidupnya “Pada pembebasan bangsa-bangsa dan rakyat tertindas di seluruh dunia, serta pada gerakan komunisme”. Bahkan kaum Maois di luar Cina memuji Mao dengan istilah yang sangat berlebihan. Sebuah koran di Amerika Serikat, memuji Mao sebagai “Pemimpin Besar Revolusioner di zaman ini”. Monthly Review Amerika menulis: “Tanpa diragukan lagi, Mao adalah pejuang revolusioner dan penganut Marxis terbesar setelah Lenin, bahkan sejarah mungkin mencatatnya lebih tinggi”

Tetapi, bahkan bukan hanya para pengikut Mao yang berdukacita atas kematiannya—yang digambarkan Hsinhua sebagai “Perintis jalan baru bagi gerakan pembebasan bangsa-bangsa tertindas dan rakyat tertindas”. Di antara mereka yang berkabung adalah para pemimpin dunia imperialis dan diktator militer di seluruh dunia, termasuk Jendral Suharto, di Indonesia, dan Jendral Pinochet, di Chili, yang mengumumkan 3 hari “Perkabungan resmi untuk pemimpin Mao Tsetung dengan pemasangan bendera setengah tiang di kantor-kantor umum” (Hsinhua, 10 September)

Selain itu, yang ikut juga menambahkan namanya pada daftar resmi mereka yang meratapi kematian Mao adalah diktator Filipina, Ferdinand Marcos, yang diterima sebagai tamu kehormatan di Beijing setahun sebelumnya.

Presiden Amerika Serikat, Gerald Ford, menyanjung Mao sebagai “Seorang yang hebat dan luarbiasa”. Presiden sebelumnya, Richard Nixon, menyebut Mao sebagai “Manusia yang unik di antara para pimpinan revolusioner se-generasinya”. Shah Iran, seorang yang ahli dalam masalah rakyat tertindas, mengekspresikan “Rasa simpati yang tulus dan dalam”, dan Raja Juan Carlos I, dari Spanyol, yang turut andil dalam penggulingan diktator fasis Fransisco Franco, mengekspresikan rasa percaya dirinya, “Bahwa (ia adalah) sosok pemimpin yang akan digunakan selamanya sebagai contoh dan orientasi bagi rakyatnya”.

Pujian untuk Mao dari para pimpinan dunia kapitalis jelas tidak sebanding dengan keberadaannya dan para pengikutnya, yang mengklaim dirinya sebagai kaum Marxis revolusioner yang setia dan pejuang kaum tertindas.

Pengakuan tersebut bertahan hingga kemenangan Partai Komunis Cina atas Chiang Kai-Shek pada tahun 1949 dan, selanjutnya, menghapuskan kapitalisme di Cina. Terlepasnya Cina dari dominasi imperialisme dan eksploitasi kapitalis sesungguhnya merupakan sejarah kemenangan dari kaum buruh dan petani. Pujian tersebut ditambahkan oleh para pendukung Mao karena teorinya dianggap unik sebagai kontribusi terhadap Marxisme. Pujian atas Marxismenya Mao kemudian digenapkan oleh Irwin Silber—belakangan menjadi eksekutif editor di Koran Amerika Guardian—dalam sebuah pernyataannya atas kehidupan dan kerja Mao, yang ditulis sebanyak 3 halaman dan dicetak pada tanggal 22 September, 1976, yang kemudian menjadi topik dari Koran tersebut. Irwin Silber memuji “Konsep yang menyatakan bahwa revolusi Cina harus didasarkan pada kaum tani dibandingkan dengan kelompok proletar industri yang jumlahnya sangat kecil”. Juga, ia membenarkan tindakan Mao “Menganjurkan perang gerilya”.

Menurut salah satu pendukung Mao, Mao “bukan hanya mengaplikasikan Marxisme pada kondisi-kondisi yang baru, tetapi menjadikannya sebagai sebuah aliran Marxisme Asia atau Cina”. Pernyataan tersebut dikatakan pada Anne Louise Strong—seorang jurnalis Amerik—pada tahun 1947 oleh Liu Shao-Chi, Presiden berikutnya RRC, sebelum dia tewas dalam revolusi kebudayaan pada tahun 1960-an sebagai seorang “Revisionis kontra-revolusi”
Pendukung Mao yang lainnya memberikan penilaian tentang perannya dalam sejarah Partai Komunis Cina:

Sejarah Partai Komunis Cina adalah tentang bagaimana garis Marxis-Leninis Pemimpin Mao melawan garis oportunis kanan dan “kiri” dalam partai. Di bawah kepemimpinan Pemimpin Mao, partai kita mengalahkan garis oportunis kanan Chen Tu-Hsiu, mengalahkan garis oportunis “kiri” Chu Chiu-Pai dan Li Li-San, mengalahkan Wan Ming, yang semula “kiri” tapi kemudian menjadi oportunis kanan, mengalahkan garis Chang Kuo-Tao yang memecah pasukan merah, mengalahkan oportunis kanan anti-partai blok Peng Teh-Haui, Kao Kang, Jao Shushih dan lainnya serta, sesudah perjuangan selama bertahun-tahun, menghancurkan garis revisionis kontra revolusinya Liu Shao-Chi.

Para penulis garis tersebut kemudian mendorong Menteri Lin Piao untuk menyelenggarakan konggres Partai Komunis Cina ke-9 pada Bulan April, 1969. Dalam konstitusi Partai Komunis Cina yang baru, yang dihasilkan dalam konggres tersebut, Lin Piao digambarkan sebagai seorang yang “Secara konsisten memegang teguh panji-panji kemegahan pemikiran Mao Tse-tung, dan memiliki kesetiaan mendalam serta dengan tegas mengikuti dan membela garis proletar revolusioner kawan Mao Tse-Tung. Kawan Lin Piao adalah kawan dekat kawan Mao Tse-Tung, baik dalam perjuangan maupun sebagai penggantinya”. Pada bulan September, 1971, akhirnya, Lin, diduga tewas dalam kecelakaan pesawat, setelah gagal melakukan persengkongkolan dalam rencana pembunuhan atas Mao. Pada konggres Partai Komunis Cina yang ke-10 di bulan April, 1973, Lin dicela sebagai seorang “kariris borjuis, konspirator dan penjual-ganda, melakukan kasak-kusuk di dalam partai kita bukan hanya dalam satu dekade namun bahkan selama beberapa dekade”.

Berita resmi kematian Mao dikeluarkan oleh Komite Sentral Partai Komunis Cina, dengan menyertakan sederet panjang daftar para pimpinan Partai yang disingkirkan olehnya. Daftar tersebut bahkan lebih panjang daripada yang dibacakan oleh Lin Piao pada tahun 1969. Hal tersebut menunjukkan kemenangan Mao atas “garis revisionis kontra-revolusi” Lin Piao dan Deng Xiaoping, yang telah disingkirkan untuk kedua kalinya hanya dalam waktu beberapa bulan sebelum Mao meninggal.

Laporan-laporan semacam itu, yang panjang-merentang dalam kehidupan Mao, yakni laporan mengenai kolaborator, sebagai “Agen kapitalis” dan “kontra revolusi”, menyulitkan menetapkan kebenaran sejarah Partai Komunis Cina dan perkembangan kehidupan Mao yang sebenarnya. Catatan Mao pribadi atas masa lalunya, sebagaimana versi resmi partai, secara periodik ditulis kembali untuk menyatakan bukan sebagaimana hal tersebut terjadi, namun sebagaimana keinginan Mao untuk mengarahkan para pembacanya agar berfikir memang demikianlah kejadiannya. Sejak 1927, Pimpinan Partai Komunis Cina secara terus menerus memperbarui dan memalsukan masa lalu demi mengakhiri terjadinya faksi-faksi. Para pemimpin yang tersingkir juga menulis rekaman sejarah aktifitas mereka di masa lalu, yang isinya penuh fitnah dan menyimpang.

Perubahan demi perubahan, baik pada peristiwa sejarah maupun pelakunya ternyata dialami juga oleh “Pemikiran Mao Zedong”. Materi-materi dalam Pilihan Karya (selected works) Mao hampir semuanya ditulis sebelum 1949. Ketika keluar keputusan untuk menerbitkannya dalam bentuk koleksi resmi, sebuah subkomite dari Komite Sentral dibentuk bukan semata-mata hanya untuk menseleksi, tetapi juga menulis kembali pikiran-pikiran Mao. Pada akhirnya, Mao sendiri mengambil alih pekerjaan untuk memalsukan naskah tersebut, melengkapi edisi Pilihan Karya tahun 1951, yang menjadi landasan bagi acuan untuk seluruh edisi-edisi atau terjemahan selanjutnya yang diterbitkan dalam bahasa Cina. Bagaimanapun juga, tulisan tersebut juga mengalami masa pemalsuan. Sebagai contoh, saat Kao Kang, kepala Komisi Perencanaan Negara, disingkirkan pada tahun 1954, pada cetakan hasil karya Mao selanjutnya namanya dihapus, meskipun dia telah menjadi anggota Partai Komunis Cina sejak tahun 1926.

Dalam pernyataan resminya, Komite Sentral mendeklarasikan: “Ketua Mao Tse-Tung adalah pendiri dan Pemimpin Bijak Partai Komunis Cina, Tentara Pembebasan Rakyat Cina dan Republik Rakyat Cina. Ketua Mao memimpin partai kita dalam peperangan perjuangan yang kompleks, gawat dan berlarut-larut melawan garis oportunis kanan dan “kiri” di dalam partai, mengalahkan garis oportunis Chen Tu-Hsiu, Chu Chiu-Pai, Li Li-san, Lo Chang-Lung, Wang Ming”, dan lain-lain. Satu hal yang merupakan landasan bagi kebenaran sejarah adalah bahwa Partai Komunis Cina bukan didirikan oleh Mao melainkan oleh Chen Tu-hsiu, dan Mao sesungguhnya tidak tepat diberikan gambaran sebagai pemimpin partai saat itu—yakni selama tahun 1920-an dan awal 1930-an. Bahkan tidak benar juga, bahwa Mao menyuarakan sejumlah perselisihan (yang berarti) dengan para pimpinan tersebut di atas.

Lantas mengapa Mao dan para pendukungnya merasa terdorong untuk meninjau kembali bangunan perselisihan dengan para pendahulunya dalam kepemimpinan di Partai Komunis Cina? Alasannya sederhana, bahwa dalam kurun waktu 14 tahun pertama keberadaannya Partai Komunis Cina, partai menderita 2 kekalahan besar—penumpasan Revolusi Cina tahun 1925-1927; dan penumpasan gerakan yang disebut Jiangxi (Kiangsi), Republik Sovyet, pada tahun 1934. Pada kedua kasus tersebut, kekalahan yang terjadi merupakan akibat dari kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh Komunis Internasional untuk diterapkan di Partai Komunis Cina yang, dari pertengahan tahun 1930-an sampai pada pembubarannya di tahun 1943, secara efektif berada di bawah arahan Stalin.

Sebelum Tiongkok-Sovyet pecah di awal tahun 1960-an, Mao berkepentingan untuk membersihkan baik dirinya maupun komintern dari segala tuduhan atas bencana yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Hal itu hanya dapat disempurnakan dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bisa digunakan untuk mengalahkan kegagalan tersebut—seperti melakukan koreksi dan mencari korban di kalangan pimpinan Partai Komunis Cina untuk disalahkan. Hal tersebut membutuhkan pemalsuan atas sebuah sejarah—yang menggambarkan Mao sebagai oposisi terhadap kebijakan yang terbukti salah tersebut—dengan tujuan untuk mengkultuskan Mao dengan sebutan “Pemimpin Bijaksana” dan tanpa cacat (Kesalahan)

Setelah perpecahan Tiongkok-Sovyet, para propagandis Mao mencoba menghapus semua referensi tentang komintern, guna memberi kesan bahwa seluruh keputusan yang dibuat oleh Partai Komunis Cina dari sejak awal merupakan hasil pemikiran orsinil para pimpinan dalam merespon kondisi Cina yang sebenarnya, dan Mao, dari sejak awal sekali, memimpin sebuah faksi yang berbeda di dalam Partai Komunis Cina yang bahkan mampu mengatasi berbagai arus oportunis. Catatan tersebut juga palsu, karena seluruh keputusan penting yang dikeluarkan oleh Partai Komunis Cina selama tahun 1920-an dan awal 1930-an tidak dibuat di Cina melainkan di Moscow. Bahkan tidak ada juga catatan tentang Mao yang menyatakan menentang kebijakan Stalin selama periode tersebut kecuali, sejauh ini, adanya tuntutan garis (yang diminta secara berliku-liku) kepada seluruh pejabat Stalinis untuk mencela garis tertentu seperti kerja para pemfitnah dan agen-musuh-pengkhianat.

Tanpa diragukan lagi kebenarannya, bahwa Mao bergabung dengan Partai Komunis Cina sebagai eksponen garis-depan sebuah orientasi politik yang secara radikal berbeda dengan posisi Marxis Bolshevik Rusia dan periode awal dari Partai Komunis Cina—yang menetapkan bahwa kelas perkotaan harus memainkan peran pelopor dalam perjuangan revolusioner untuk demokrasi dan sosialisme. Bagaimanapun juga, sebagaimana aku harus berusaha membuktikannya, konsep Mao tentang revolusi yang dilakukan oleh tentara petani yang mengurung dan mengepung kota, bukanlah suatu sumbangan inovatif terhadap teori dan praktek Marxis, tetapi merupakan penolakan (radikal) terhadap hal tersebut—penolakan karena gerakan buruh Cina menderita kekalahan pada tahun 1927, sebagai hasil dari kebijakan yang didiktekan oleh pemerintahan Stalinisme di Moscow. Kekalahan tersebut membawa sebuah perubahan radikal pada karakter Partai Komunis Cina. Sebuah perubahan yang makin mengkristal-utuh dibawah kepemimpinan Mao dan, memang seharusnya, memiliki pengaruh yang kuat pada lingkungan rejim baru yang dibangun Partai Komunis Cina pada tahun 1949.


BAB I. KELAHIRAN GERAKAN KOMUNIS DI CINA

Revolusi modern Cina yang pertama, yakni pada tahun 1911, gagal dalam usahanya menolak sistem imperial yang sedang membusuk—yakni Republik Parlementer dengan gaya Barat. Tapi, hal tersebut membuka jalan bagi bangkitnya kelas pekerja antara tahun 1925-1926, yang terkenal sebagai revolusi Cina yang ke II. Peristiwa pada tahun 1911 adalah upaya untuk menghancurkan pemerintahan yang tersentralisir pada kerajaan Ching tapi, bukannya menuju pada kesatuan Negara kapitalis, sistem kerajaan justru diserahkan pada rejim tuan tanah yang tersebar dalam berbagai provinsi sehingga memecah belah Negara demi kepentingan kekuasaan kolonial yang berbeda-beda.

Pada awal tahun 1920, sebuah gelombang baru perjuangan popular mulai bangkit. Gerakan sosial tersebut mengekspresikan diri terutama melalui bentuk sebuah gerakan pembebasan nasional yang bertujuan untuk menyatukan negeri di bawah sebuah pemerintah republik yang stabil dan mempertahankan kedaulatan nasional. Harapan nasional tersebut ditujukan oleh Kuomintang (Gumindong-Partai Nasional) yang bermarkas di sebelah selatan Canton. Kuomintang diketuai oleh Sun Yat Sen, yang mengusung suatu bentuk propaganda populis—dipusatkan pada 3 prinsip popular: 1. Nasionalisme; 2. Demokrasi; 3. Negara Sosialisme—dan mengkristalkan identitas bangsa Cina yang tertindas pada bendera, nama dan tujuannya: untuk merebut kembali persatuan dan kemerdekaan negeri melalui kampanye militer yang luas melawan tulang punggung imperialis—para tuan tanah di Cina pusat dan utara. Namun, bagaimanapun juga, Kuomintang, yang memiliki 300.000 anggota, lemah dan tidak terorganisir.

Pada tahun 1922, konflik antara pemerintahan Kuomintang di Canton dengan para tuan tanah semakin kuat. Pada bulan April-Mei 1922, sebuah usaha ekspedisi militer melawan pihak utara mengalami kegagalan; pada bulan Juli, untuk sementara, Sun Yat Sen menyingkir dari Canton. Dalam kondisi putus asa, Kuomintang membuka pembicaraan dengan perwakilan komintern di Cina pada saat itu—Henrik Sneevliet (Maring). Dan, hasil awal dari pembicaraan tersebut adalah bahwa pada bulan Januari, 1923, akan diselenggarakan pertemuan antara Sun Yat Sen dengan perwakilan Negara Sovyet, Adolf Joffe. Kemudian, hasilnya perundingannya adalah: Uni Sovyet setuju menyediakan bahan-bahan perjuangan bagi Pemerintah Canton untuk memenangkan kemerdekaan dan persatuan Cina

Komunis Internasional (Komintern) dan Revolusi Demokrasi-Nasional

Pada saat didirikan pada tahun 1921, Partai Komunis Cina diwarnai oleh perilaku sektarian ultra-kiri terhadap gerakan pembebasan nasional di Cina. “Keputusan pertama Partai Komunis Cina”, yang diterima pada saat konggres pendiriannya di bulan Juli, 1921, telah mendeklarasikan: ‘Dalam berhadapan dengan partai-partai politik yang ada, kebijakan yang harus diambil haruslah berupa sikap kemandirian, agresif dan tertutup … partai kita harus memperjuangkan kepentingan kaum proletar, dan harus menyatakan tidak menjalin hubungan dengan partai atau kelompok lain [diambil dari tulisan Stuart Schram, The Political Though of Mao Tse Tung (New York, 1963), hal.28, dengan penambahan tekanan]

Tekanan yang bersifat sektarian dan sempit tersebut bisa terjadi karena ada anggapan bahwa kelas pekerja adalah satu-satunya kekuatan revolusioner dan, dalam dokumen dari konggres I partai tidak tercantum rujuakan mengenai revolusi demokrasi-nasional yang, tentu saja, bertentangan dengan orientasi yang diangkat oleh konggres Komintern ke-II (Juli 1920), yakni perjuangan dalam negeri-negeri kolonial dan semi-kolonial, sebagaimana yang disimpulkan oleh Lenin dalam Theses on the National and Colonial Question, yang menyerukan kepada komunis di negeri-negeri kolonial dan semi-kolonial untuk:

- Memberi dukungan kepada seluruh gerakan pembebasan revolusioner dalam di negeri-negeri kolonial dan semi-kolonial, bahkan meskipun negeri-negeri tersebut dipimpin oleh kekuatan borjuis nasionalis.

- Mendukung aliansi yang terbentuk antara gerakan pembebasan revolusioner dengan Negara Sovyet pekerja melawan musuh bersama mereka, yakni imperialisme internasional.

- Membangun gerakan pekerja yang terorganisir dan partai-partai Komunis yang mandiri.

- Memberi dukungan khusus bagi gerakan petani melawan para pemilik tanah.

- Menjalankan propaganda untuk membangun sovyet rakyat pekerja

Dalam laporannya kepada konggres mengenai masalah tersebut, Lenin mengatakan:

"….saya ingin menitikberatkan khususnya pada masalah mengenai gerakan demoratik-borjuis di negeri-negeri terbelakang. Masalah ini muncul karena adanya eberapa perbedaan. Kita telah mendiskusikannya: apakah merupakan hal yang benar atau salah, secara prinsip dan secara teori, mengambil keputusan untuk menetapkan bahwa komunis internasional dan partai-partai komunis harus mendukung gerakan borjuis-demokratik di negeri-negeri terbelakang. Sebagai hasil dari diskusi kita, kita telah tiba pada sebuah kesepakatan untuk lebih menyuarakan gerakan nasional-revolusioner ketimbang gerakan “demokratik-borjuis”. Namun, diluar dugaan, ternyata beberapa gerakan nasional hanya sanggup menjadi sebuah gerakan demokratik-borjuis karena, dalam hubungan social borjuis-kapitalisnya, populasi massanya yang sangat besar di negara-negara terbelakang terdiri dari kaum tani. Seandainyapun memang benar partai-partai proletar bisa didirikan di negara-negara terbelakang ini, namun hanyalah akan menjadi khayalan mengharap mereka sungguh-sungguh bisa mengikuti taktik dan kebijakan komunis, tanpa disertai pembangunan hubungan yang nyata dengan gerakan petani dan tanpa memberinya dukungan yang efektif. Bagaimanapun juga, keberatan yang mulai muncul adalah: jika kita bicara gerakan demokratik-borjuis, maka kita terpaksa harus menghapuskan segala perbedaan antara kaum reformis dengan gerakan revolusioner. Belakangan ini, perbedaan tersebut Nampak jelas diperlihatkan di negeri-negeri terbelakan dan kolonial, karena borjuis imperialis, dengan kekuasaanya, melakukan segala upaya untuk juga menumbuhkan gerakan reformis di kalangan negeri-negeri tertindas. Telah ada penyesuaian antara kaum borjuis dari neger-negeri penghisap dengan koloninya, sehingga sangat sering terjadi—bahkan mungkin di banyak kasus—borjuis dari negeri-negeri tertindas, selain tidak mendukung gerakan nasional, mereka malah menjalin kesepakatan penuh dengan borjuis imperialis, yakni menggabungkan kekuatan mereka untuk melawan gerakan revolusioner dan kelas-kelas revolusioner. Tanpa bisa dibantah lagi, terbukti dalam komisi ini, karenanya kami memutuskan bahwa satu-satunya sikap yang benar adalah memperhitungkan perbedaan tersebut ke dalam pertimbangan dan, di hampir semua perbincangan, mengganti istilah “nasionalis-revolusioner” dengan istilah “borjuis-demokratik”. Arti penting dari perubahan tersebut adalah bahwa kita, sebagai kaum komunis, harus dan akan mendukung gerakan pembebasan borjuis di negeri-negeri kolonial hanya jika mereka berlaku sebagi revolusioner sejati, dan bila eksponen-eksponennya tidak menghalangi kerja-kerja kita dalam mendidik dan mengorganisir semangat revolusioner kaum tani dan rakyat terhisap. Jika kondisi tersebut tidak ada, kaum komunis di negeri-negeri ini harus melawan kaum borjuis-reformis, yakni mereka yang menjadi pahlawan-pahlawan internasional II." [Lenin, Report of the Commission on the National and the Colonial Question, Selected Works (Moscow, 1975, vol. 3. pp. 406-407]

Lenin juga memajukan perspektif tentang ngeri-negeri kolonial dan semi-kolonial yang terbelakang secara ekonomi bisa meninggalkan tahap perkembangan ekonomi kapitalis jika kaum komunis memenangkan kepemimpinan gerakan pembebasan nasional, mengorganisir kelas pekerja (termasuk kaum tani) ke dalam Sovyet dan mencari dukungan dari “kaum proletar dari negeri-negeri maju”.

Poin-poin dasar tersebut dirinci dengan lebih seksama pada konggres Komintern yang ke 4 (Desember 1922)—yang akhirnya dihadiri oleh Lenin—dan tertuang dalam bukunya Theses on the Eastern Question yang, terutama, menegaskan bahwa:

"Walau waspada bahwa pada lingkungan sejarah yang berbeda, para pejuang pembebasan politik nasional bisa terdiri berbagai macam orang, namun Komunis internasional akan tetap memberikan dukungan kepada gerakan revolusioner nasional melawan imperialisme. Bagaimanapun juga, masih tersisa keyakinan bahwa rakyat tertindas hanya bisa menuju kemenangan melalui sebuah garis revolusioner yang konsisten, yang dirancang untuk mederapkan massa yang besar dalam perjuangan yang aktif dan perjuangan untuk memutuskan hubungan (sepenuhnya) terhadap semua unsur yang mendukung konsiliasi dengan imperialisme demi kepentingan kelasnya sendiri. Yakni katan yang menghubungkan kaum borjuis pribumi dengan elemen-elemen reaksioner-feodal, persaingan antar pimpinan yang berbeda ras dan suku, antagonisme antara desa dan kota, dan perjuangan antara kasta dan sektarian agama-nasional

Gerakan revolusioner di negeri-negeri Timur terbelakang tidak akan berhasil jika tidak membasiskan diri pada aktivitas massa petani yang besar. Hal tersebutlah yang menjadi alasan mengapa partai-partai revolusioner di negeri-negeri Timur harus memformulasikan program agrarian yang jelas yang memasukkan tuntutan untuk sepenuhnya menggulingkan feudalisme dan institusinya. Untuk menderapkan massa petani ke dalam suatu perjuangan aktif pembebasan nasional, kaum revolusioner harus melakukan sebuah perubahan radikal berdasarkan pada isu kepemilikan tanah, dan sedapat mungkin memaksa partai-partai borjuis nasional untuk menyetujui program agrarian revolusioner ini…

Gerakan pekerja yang baru saja muncul di Timur merupakan hasil dari perkembangan kapitalisme asli (dalam negerinya). Hingga saat ini, kekuatan inti kelas pekerja di negeri-negeri tersebut bahkan sudah akan bertransisi, dari bengkel kerajinan kecil menjadi pabrik-pabrik kapitalis yang besar. Kaum terpelajar borjuis-nasionalis terlibat dalam gerakan revolusioner kelas pekerja dalam perjuangan melawan imperialisme, dan kehadirannya mula-mula akan mengambil kepemimpinan organisasi dan aktivitas organisasi serikat buruh dalam yang baru didirikan. Pada awalnya, kaum proletar tidak bereaksi melampaui batas “kepentingan bersama bangsa” demokrasi borjuis (pemogokan melawan birokrasi dan pemerintahan imperialis di India dan Cina). Seringkali, seperti yang ditekankan dalam konggres Komintern yang ke-II, unsure-unsur yang mewakili nasionalisme borjuis, memanfaatkan kewibawaan Sovyet-Rusia (baik secara politik maupun moral) untuk memasokkan (pada naluri kelas para pekerja) aspirasi borjuis-demokratik dengan penyamaran “Sosialis” atau “Komunis”, dalam rangka—meskipun mereka sendiri tidak sepenuhnya sadar akan hal tersebut—menyelewengkan cikal-bakal kelompok proletar yang baru saja terbentuk tersebut dari tugas utama sebagai organisasi kelas (.beberapa perwakilan Kuomintang di Cina menyerukan “Negara Sosialisme”)….

Tugas-tugas obyektif revolusi kolonial melampai batas-batas demokrasi borjuis, karena kemenangan menentukan dalam revolusi ini bertentangan dengan aturan dunia imperialisme. Perjuangan revolusioner menentang kolonial awalnya dipelopori oleh borjuis-pribumi dan kaum terpelajar borjuis tetapi, seiring dengan keterlibatan massa petani proletar dan semi-proletar serta kepentingan sosial rakyat kebanyakan mengemuka, gerakan mulai memisahkan diri dari elemen borjuis besar dan borjuis pemilik tanah.

Perjuangan memberi pengaruh pada massa petani juga berarti menyiapkan kaum proletar pribumi dalam kepemimpinan politiknya. Hanya ketika kaum proletar telah mengerjakan pekerjaan pendahuluan ini, baik dalam barisannya sendiri maupun dalam lapisan sosial yang terdekat dengannya, mereka bisa menantang demokrasi borjuis—yang, karena kondisi keterbelakangan negeri-negeri Timur, tak bisa disebandingkan kalayakannya dengan negeri-negeri di Barat." [Theses, Resolutions and Manifesto of The First Four Conggress of The Third International (London, 1980) hal. 411-414)

Thesis-thesis tersebut kemudian mengarisbawahi orientasi dan tugas kaum komunis di negeri-negeri Timur:

"Penolakan atas kaum komunis di koloni-koloni untuk ikut ambil bagian dalam perjuangan melawan tirani imperialis, dengan dalih bahwa apa yang seharusnya dilakukan adalam “mempertahankan” kemandirian kelas mereka, merupakan suatu oportunisme yang paling buruk dan hanya mencemari revolusi kaum proletar di negeri-negeri Timur. Yang tidak kalah berbahayanya, yang juga harus dikenali, adalah usaha untuk menyingkir dari perjuangan untuk memenangkan tuntutan mendesak sehari-hari kelas pekerja dengan dalih demi kepentingan “persatuan nasional” atau “perdamaian sipil” dengan borjuis-demokrat. Partai-partai komunis dan buruh di negeri-negeri kolonial dan semi-kolonial menghadapi tugas ganda: pada satu sisi, mereka berjuang untuk memberikan jawaban yang lebih radikal atas tuntutan revolusi demokratik-borjuis, yang diarahkan untuk mencapai kemerdekaan politik nasional; di sisi lain, mereka harus mengorganisir massa buruh dan tani untuk memperjuangkan kepentingan kelas mereka sendiri, memanfaatkan dengan sebaik-baiknya semua kontradiksi dalam kubu nasionalis borjuis-demokratik. Dengan memajukan tuntutan sosial, kaum komunis akan mendorong dan melepas energi revolusioner yang tidak bisa mendapatkan mimbar atau salurannya dalam tuntutan kaum borjuis liberal. Kelas buruh dari negeri kolonial dan semi-kolonial harus sungguh-sungguh meyakini bahwa hanya perjuangan yang menyeluruh dan intensif dalam melawan penindasan imperialisme (yang berkekuatan besar) lah yang dapat menuntunnya ke arah tampuk kepemimpinan revolusioner. Di sisi lain, hanya organisasi politik dan organisasi ekonomi, serta pendidikan politik bagi kelas buruh dan lapisan semi-proletar, yang kemudian bisa meningkatkan lingkungan revolusioner bagi perjuangan anti imperialis

Partai-partai komunis negeri-negeri kolonial dan semi-olonial di kawasan Timur masih kurang lebih berada pada tahap embrio dan harus ikut ambil bagian dalam setiap gerakan yang memberi mereka akses ke massa (ibid, hal. 414-415)

Inti dari perspektif thesis tersebut adalah tentang kebutuhan untuk membangun suatu “Front Persatuan Anti Imperialis” di koloni maupun non-koloni. “Manfafat” tesis tersebut ada;ah seperti yang dinyatakannya: “Dengan landasan perspektif bahwa perjuangan melawan imperialisme akan memakan waktu yang panjang dan berlarut-larut, maka dituntut mobilisasi seluruh elemen revolusioner. Mobilisasi tersebut menjadi lebih dibutuhkan karena ada kecenderungan bahwa kelas-kelas penguasa pribumi akan membuat kompromi dengan modal asing, yang secara langsung bertentangan dengan kepentingan fundamental massa rakyat” (ibid, hal. 415)

Dalam rangka menyerukan untuk membetnuk front anti imperialisme, tesis tersebut menegaskan, “seruan tersebut akan membantu membongkar kebimbangan berbagai kelompok borjuis nasionalis. Slogan tersebut juga menolong massa buruh untuk mengembangkan kehendak revolusionernya dan untuk meningkatkan kesadaran kelas mereka; dengan demikian akan menempatkan mereka pada jajaran terdepan dari mereka yang berjuang melawan bukan saja imperialisme, tapi juga sisa-sisa feudal.”

Tesis-tesis tersebut merancang syarat-syarat di bawah ini dalam membentuk semacam front anti-imperialisme:

"Gerakan buruh di negeri-negeri kolonial dan semi-kolonial harus benar-benar terlebih dahulu memantapkan diri sebagai faktor revolusioner yang independen dalam front anti-imperialisme. Hanya bila nilai pentingnya sebagai faktor independen sudah dipahami, dan bila telah ada jaminan atas otonomi politiknya secara utuh, maka perjanjian sementara dengan borjuis-demokrat bisa dipertimbangkan untuk untuk diizinkan atau dibutuhkan. Demikian juga, kaum proletar harus mendukung dan memajukan tuntutan parsial seperti tuntutan republik demokratik independen, penghapusan atas seluruh hak-hak istimewa kaum feudal dan bangsawan, menerapkan hukum-hukum yang menghormati hak-hak perempuan dan lain-lain yang, sejauh ini, karena perimbangan kekuatan yang ada sekarang, tidak dapat dengan segera mengimplementasikan program-program soviet tersebut. (ibid, hal. 416)

Akhirnya, tesis-tesis tersebut mengatakan bahwa “tuntutan untuk melakukan aliansi yang erat dengan Republik Sovyet proletar merupakan inti dari aliansi anti-imperialis.” Tuntutan tersebut, sebagaimana ditambahkan dalam tesis-tesis tersebut, “Harus disertai dengan perjuangan yang teguh dalam memenangkan tuntutan demokratisasi maksimum sistim politik” di negeri-negeri semi-kolonial agara dapat “memisahkan elemen-elemen yang paling reaksioner secara politik dan sosial dari para pendukung popular mereka”, dan untuk “memberi kebebasan bagi organisasi pekerja dalam memperjuangkan kepentingnan kelasnya (tuntutan untuk mendirikan republik demokratik, reformasi agraria, reformasi sistim pajak, organisasi pegawai administrasi yang berdaulat secara popular (tidak ada campur tangan pemerintah), peraturan-peraturan perburuhan, larangan buruh anak, perlindungan kelahiran dan kesejahteraan anak, dan lain-lain).” (ibid, hal. 416)


STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA (II)

Komintern dan Kuomintang

Pada bulan Januari, 1922, Komintern menyelenggarakan konggres bagi para pekerja dari Timur Jauh di Moscow (sebagai alternatif, pertemuannya disebut Konggres Partai-Partai Komunis dan Partai-Partai revolusioner Timur jauh), yang juga mengundang Kuomintang dan Partai Komunis Cina. Pada konggres tersebut, Georgi Safarov, Kepala Seksi Komintern untuk Timur Tengah dan Timur Jauh, menyodorkan laporan tentang “Sikap Komunis terhadap Masalah Kolonial-Nasional” yang mana mengetengahkan kebijakan Komintern terhadap Cina dengan lebih rinci:


Tugas utama yang yang dihadapi massa pekerja Cina adalah memperoleh kebebasan dari penindasan asing… sehingga sangat penting untuk membangkitkan massa (petani) bangsa Cina yang merupakan kekuatan dasar Cina, dan merupakan jumlah populasi terbesar di Cina, tanpa membangkitkan massa petani tersebut, tak ada harapan dalam perjuangan pembebasan nasional.

Massa petani tersebut harus memenangkan seluruh sisi revolusi. Gerakan buruh Cina baru saja belajar berjalan. Kita tidak sedang membangun istana awang-awang dalam waktu dekat ini, kita tidak berharap kelas pekerja Cina bisa mengambil posisi komando… dalam waktu dekat ini. Tetapi gerakan buruh Cina yang masih muda ini sedang tumbuh… Kita mendukung semua gerakan nasional-revolusioner, tetapi kita hanya mendukungnya sepanjang hal tersebut tidak berlawanan dengan gerakan proletar. Kita harus mengatakan: siapa yang mendukung perjuangan revolusi proletar komunis tetapi tidak mendukung gerakan revolusi nasional adalah pengkhianat. Namun, di sisi lain, kita juga akan mengatakan: saiapa yang mendukung perjuangan nasional tapi menentang kebangkitan gerakan proletar adalah pengkhianat, pengkhianat terhadap rakyatnya dan pengkhianat terhadap perjuangan nasionalnya karena menghalangi perjuangan kelas pekerja Cina untuk berdiri di atas kakinya sendiri dan bicara dengan bahasanya sendiriterhadap negaranya karena siapa yang menghalangi kelas pekerja Cina dalam usahanya untuk berdiri diatas kakinya sendiri dan berbicara dengan bahasanya sendiri….segala pembicaraan tentang negara sosialisme di Cina… sebelum massa Cina (yang dihisap) cukup matang untuk memperjuangkan sebuah Republik Sovyet, maka hal tersebut semata-mata hanyalah penipuan. Suatu hal yang penting adalah bahwa kelas pekerja seharusnya tidak mengisolasi diri dari massa petani Cina. Kelas pekerja harus bergandengan tangan dengan massa petani agar bisa memberikan cahaya, kebudayaan, dan gagasan-gagasan komunis. Tentu saja, Cina tidak dihadapkan pada revolusi komunis yang segera akan terjadi, dengan Sovietisasi secepatnya, tapi, pada waktu yang bersamaan… ide mengenai Sovyet—sebuah bentuk organisasi yang tepat untuk perjuangan revolusioner massa dan organ demokratik kekuasaan—harus diajarkan. Sovyet merupakan senjata terbaik di tangan pekerja setiap negeri, baik itu Negara dengan populasi proletar yang terbesar atau tani. [The First Conggress of the Toilers of the Far East (Petrograd, 1922), hal. 165-167, 173-174)

Pada diskusi lanjutan atas laporannya, Safarov kembali mengulas tesis tersebut dalam catatannya:

Kawan-kawan, pertanyaan mendasar dihadapkan pada konggres kita adalah pertanyaan mengenai hubungan timbal-balik dan pemahaman yang benar tentang hubungan timbal-balik tersebut, yakni hubungan antara gerakan nasional revolusioner, pada satu sisi, dan gerakan proletar revolusioner di negeri-negeri Timur Jauh, pada sisi lain,. Diskusi yang mengambil topik bahasan dari laporanku membuatku percaya bahwa beberapa kawan telah telah mengambil konsep yang salah mengenai hubungan timbal-balik tersebut. Demikian, misalnya, perwakilan dari Partai Homindan (Kuomintang), kawan Tao, menyatakan bahwa prinsip-prinsip sistem Sovyet dan tuntutan dasar dalam kaitannya dengan revolusi Sovyet bukan merupakan barang baru di Cina. Dia mengatakan, kalau aku tidak salah, Partai Homidan telah mempropagandakan ide-ide tersebut selama 20 tahun. Tentu saja, aku harap aku tidak perlu mempertanyakan perkembangan revolusioner partai tersebut, tetapi, aku yakin, bahwa dalam rangka untuk sampai pada pemahaman antara komunis, pada satu sisi, dengan nasionalis-revolusioner, di sisi yang lain, mutlak penting bagi kedua belah pihak untuk saling memahaminya secara benar. Kita tahu, bahwa partai yang yang memimpin pemerintahan Cina selatan merupakan sebuah partai demokratik-revolusioner, kita tak perlu mempertanyakan fakta ini… tetapi, di sisi lain, kita tidak akan terlalu naïf untuk membayangkan bahwa partai tersebut adalah partai komunis revolusioner… dari titik berangkat (platform) tersebut, titik berangkat yang sangat otoritatif, kita bisa memiliki keberanian untuk mengatakan, secara cukup terbuka dan gamblang bahwa kita harus mendukung, telah mendukung dan sedang memberi dukungan pada setiap gerakan borjuis-demokratik di negeri-negeri kolonial dan semi-kolonial, dengan pertimbangan bila gerakan borjuis-demokratik tersebut sungguh-sungguh memiliki tujuan mencapai pembebasan nasional rakyat tertindas… tapi, di sisi lain, kita tidak boleh mengakui bahwa perjuangan tersebut merupakan perjuangan kita yang sejati—perjuangan bagi revolusi proletar… jika kita membuat pernyataan tersebut, maka kita salah karena, dengan demikian, kita tidak mengemban kepentingan kelas pekerja dan petani Cina serta Korea, karena massa petani, massa proletar dan semi-proletar Cina dan Korea memiliki tugas lebih besar yang harus dikerjakan, ketimbang sekadar pembebasan nasional. Mereka dihadapkan pada tugas untuk membebasakan negerinya sepenuh-penuhnya… jika kami, Kaum Komunis Cina atau Korea melahirkan slogan pemerintah demokratik, pajak pendapatan yang seragam, nasionalisasi tanah, yakni, slogan revolusi demokratik, itu artinya kita telah menunjukkan bahwa kami siap untuk bekerjasama dengan seluruh organisasi-organisasi nasionalis demokratik yang tulus, jika mereka sungguh-sungguh mengemban kepentingan mayoritas pekerja negerinya (yang sedang dihisap). Tetapi di sisi lain, elemen-elemen proletar dan semi proletar harus diorganisir secara independen dalam oraganisasi kelas mereka. Organisasi yang kini terbentuk, berupa serikat-serikat pekerja kerajinan atau profesi yang terhubung langsung dengan Partai Homindan, tidak kami akui sebagai organisasi kelas. Organisasi-organisasi tersebut tidak memahami prinsip kelas, atau bukan organ perjuangan kelas proletar yang akan mebebaskannya. Karena itu, saat berurusan dengan kalian—para pendukung Partai Homindan—sebagaimana juga kepada sekutu-sekutu, teman-teman dan kawan-kawan kami, kami pada saat yang sama harus menyatakan pada kalian secara terbuka dan jujur: kami telah memberikan dukungan dan akan terus mendukung perjuangan kalian sejauh hal tersebut merupakan pemberontakan nasionalistik dan demokratik demi pembebasan nasional. Namun, pada saat yang sama, kami harus secara independen mengusung kerja-kerja komunis kami, yakni mengorganisir massa proletar dan semi-proletar Cina. Itulah kepentingan massa proletar itu sendiri, dan harus dikerjakan oleh kelas pekerja Cina, proletar Cina. Dalam situasi seperti itu, gerakan buruh Cina harus berkembang secara cukup independen dari kehendak-kehendak borjuis, partai-partai dan organisasi-organisasi demokratik… Selama periode sejarah tertentu, kita bisa menyusun pembagian kerja di antara kita, perwakilan dari revolusi proletarian, yakni, pada satu pihak, kelas proletariat dan elemen-elemen semi-proletarian di kalangan kaum tani; dan, di pihak lain, perwakilan dari elemen-elemen demokratik dan nasionalis radikal kebangkitan Cina. Bagaimanapunjuga, kedua pihak harus memahami bahwa pembagian kerja tersebut harus didasarkan satu kesepakatn sukarela. Massa proletarian tidak perlu membuang gagasan mereka sendiri, mereka tidak boleh mundur mengorganisir partai kelasnya sendiri. Hanya dibawah kondisi inilah persetujuan kerjasama dan sukarela dimungkinkan (ibid, pp. 192-194)

Safarov kemudian memberikan sejumlah contoh (khusus) tentang ketidaksepakatan antara komintern dan perwakilan Kuomintang. Salah satunya dalam hal reformasi agraria yang menurut, Tao, hanya bisa dilaksanakan setelah teritori Cina sudah dibersihkan dan pasukan imperialis dan tuan tanah merupakan gugatan mengenai reformasi agrarian, yang diperdebatkan oleh Tao, yang hanya dapat diimplementasikan sesudah teritori Cina dibersihkan dari pasukan imperialis dan tuan tanah, sesudah republic demokratik berdiri di seluruh Cina. Untuk membantah pandangan tersebut, Safarov berargumen:

Selama kita berkehendak mengorganisir massa di bawah bendera kita, dan berupaya agar mayoritas rakyat berjuang bersama kita, kita harus menyentuh kepentingan massa yang paling vital, dengan harapan massa bisa akan bersama kita sampai akhir, siap mati demi kepentingan kita dan mereka sendiri. Bagi petani dari Cina Selatan, persoalanatas nasionalisasi tanah bukan hal yang dapat diselesaikan dari atas, melalui perubahan administratif, bagi mereka hal tersebut merupakan kebutuhan vital. Karena itu kita harus mengusung pegangan revolusioner tersebut bahkan hingga ke pelosok terkecil negeri untuk menunjukkan pada petani Cina—yang hidup di daerah yang dikuasai oleh kekuatan yang bermusuha—bahwa begitu rejim demokratik telah bisa diwujudkan maka kehidupan petani akan seribu kali lebih baik, bahwa kepentingan mereka akan seribu kali lebih terjamin. (ibid, hal. 495)

Safarov mengakhiri pidatonya dengan mengulangi pernyataan tentang tugas dari kaum komunis di negeri-negeri colonial dan semi-kolonial di Timur Jauh,

Di negeri-negeri ini, partai komunis harus membantu menggulingkan penindasan imperialis dan mendukung tuntutan demokratik seperti nasionalisasi tanah, pemerintahan yang berdaulan dan lain-lain. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, partai komunis tak seharusnya menanggalkan program komunis mereka, demikian juga mereka seharusnya tidak berhenti mengorganisir kelas pekerja dalam serikat buruh, independen dari pengaruh borjuis. Juga mereka tidak boleh berhenti mengorganisir kelas pekerja dalam partai komunis yang independen…

Demikianlah, kami telah menjelaskan pokok pandangan kami dalam kaitannya dengan hubungan antara kami sendiri—kaum komunis—dengan perwakilan dari elemen-elemen borjuis-demokratik dan nasionalis-demokratik dengancukup jelas dan tanpa syarat. Kami berusaha mencegah adanya kebingungan dalam pandangan kami mengenai persoalan ini. Kami sungguh-sungguh berjuang untuk menghindari semua upaya yang tak perlu dan tak berguna dalam menggambarkan seluruh kaum nasionalis dalam pandangan kaum komunis, meskipun terhadap sejumlah nasionalis yang sedang berjuang untuk menuntut persamaan antara kapitalisme Cina dan Jepang. Kami mengatakan, dengan cukup jujur, bahwa kami mendukung borjuis-nasionalis—borjuis
masa depan—karena imperialis Jepang, Amerika dan Inggris adalah kekuatan yang paling reaksioner. Terus terang saja, saat ini kami tak takut mendukung borjuis-nasionalis, yang sedang berjuang membebaskan tenaga produktif Cina dan Korea dari penindasan kapitalisme asing. Di sisi lain, bagaimanapun juga, kami sungguh-sungguh menuntut borjuis-demokratik ini, elemen-elemen radikal-demokratik, bahwa mereka tidak melakukan usaha untuk mendominasi gerakan buruh yang masih muda di Cina dan Korea, dan bahwa mereka tidak akan melakukan upaya untuk menyelewengkannya dari cita-citanya untuk digantikan dengan cita-cita radikal-demokratik yang diselubungi warna Sovyet. Kita akan lebih mudah memiliki saling pengertian jika kita, satu sama lain, saling memberitahukan tentang siapa kita sebenarnya (ibid, hal. 199)


 STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA (III)

“Front Persatuan dari Dalam”

Pada bulan Mei, 1922, konggres ke 2 Partai Komunis Cina bisa menerima kesimpulan tentang adanya kebutuhan untuk membangun sebuah front persatuan anti-imperialis dengan Kuomintang. Manifesto konggres menegaskan bahwa “tugas mendesak kaum proletar adalah melakukan aksi gabungan dengan partai demokratik guna membangun sebuah front persatuan revolusi demokratik demi perjuangan menggulingkan (tuan tanah) dan pengorganisasian pemerintahan demokratik yang sejati.”

Pada bulan Agustus, 1922, Komite Sentral Partai Komunis Cina menyetujui, dengan berat hati, tawaran Maring bahwa komunis seharusnya masuk ke partai Kuomintang. Pendekatan Maring berdasarkan pada pengalaman lamanya saat berada di Indonesia, di mana kaum sosialis bekerja di dalam Sarekat Islam—sebuah organisasi nasionalis—pada awal tahun 1916. Pada tahun 1935, dia memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai orientasi tersebut:

Bentuk yang longgar dari organisasi Sarekat Islam memungkinkan kawan-kawan kita di Indonesia, kaum sosialis-demotrat Jawa dan Melayu, untuk memperluas pengaruh mereka secara cepat. Bahkan, begitu luasnya sehingga serikat buruh dapat diorganir di ketentaraan, dan juga selama perang. Kalian akan dengan mudah bisa memahami bahwa usahaku untuk membangun semacam kerjasama dengan Kuomintang di Cina adalah berdasarkan langsung pada pengalaman positifku di Jawa [dikutip oleh Pierre Rousset, dalam The Chinese Revolution (notebooks for study and research, No.2, Amsterdam, 1987) hal. 10]

Dalam sebuah laporannya untuk Komintern pada bulan Juli, 1922, Maring menjelaskan bahwa tujuan proposalnya adalah untuk menyiapkan sebuah alat agar Partai Komunis Cina—pada saat itu hanya memiliki 123 anggota—dapat tumbuh dari sebuah organisasi propaganda kecil menjadi sebuah partai dengan pengaruh yang substansial di antara massa. Laporannya pada tahun 1922 menyimpulkan:

Aku sudah menyarankan pada kawan-kawan (Cina) kita agar mereka menghilangkan penghalang yang menyebabkan mereka bertentangan dengan Kuomintang, dan memulai aktifitas politik di dalam Kuomintang melalui cara yang dapat memudahkan akses kepada pekerja-pekerja di Selatan dan Utara. Sebagai kelompok kecil memang tak perlu menanggalkan independensinya; sebaliknya, kawan-kawan harus memutuskan bersama apa taktik yang akan mereka pergunakan di dalam Kuomintang (ibid, p. 10)

Pada bulan Januari 1923 Komite Eksekutif Comintern (Comintern Excecutive Committee/ECCI) menyetujui sebuah resolusi tentang hubungan antara Partai Komunis Cina dan Kuomintang, yang secara efektif mendukung proposal Maring. Resolusi tersebut memberikan catatan bahwa “Satu-satunya kelompok nasionalis-revolusioner yang serius di Cina adalah Kuomintang, yang basisnya sebagian adalah borjuis liberal-demokrat dan borjuis kecil, dan sebagian lagi kaum terpelajar dan pekerja”, serta bahwa:

2. Karena gerakan pekerja independen di negeri ini masih lemah, dan karena tugas utama Cina adalah revolusi nasional melawan imperialis dan agen-agen feudal mereka di dalam negeri, dan karena, terlebih-lebih lagi, kelas pekerja benar-benar tertarik pada solusi terhadap masalah perjuangan nasional yang revolusioner, sementara itu masih belum cukup syaratnya untuk memisahkan diri sebagai sebuah kekuatan sosial yang mandiri sepenuhnya, maka ECCI memandang perlu adanya koordinasi antara aksi Kuomintang dengan aksi Partai Komunis Cina yang masih muda itu.

3. Konsekuensinya, dalam kondisi saat ini, adalah lebih bijaksana bagi para anggota Partai Komunis Cina untuk tetap bertahan di dalam Kuomintang [The Communist International 1919-1943, ed. By Jane Degras (London, 1960), vol. 2. hal. 6]

Namun, resolusi tersebut memberikan tambahan syarat bahwa “Hal tersebut bukan berarti mengorbankan segi pokok pandangan politik Partai Komunis Cina”. Dengan demikian, ditetapkan bahwa:

Partai harus mempertahankan kemandirian organisasinya dengan menggunakan aparat yang tersentralisir secara ketat. Tugas terpenting dan khusus Partai Komunis Cina adalah untuk mengorganisir dan mendidik massa pekerja, guna membangun serikat pekerja dan, dengan demikian, membangun basis bagi massa Partai Komunis yang kuat. Dalam kerja-kerja tersebut, Partai Komunis Cina harus menunjukkan warna yang berbeda dengan partai politik lainnya, guna menghindari konflik dengan gerakan nasionalist revolusioner (ibid, hal. 7)

Terakhir, resolusi ECCI mewanti-wanti bahwa “Saat mendukung semua kampanye Kuomintang, melalui front nasionalis-revolusioner, agar menjalankan kebijakannya secara obyektif dan benar, Partai Komunis Cina seharusnya tidak melebur di dalamnya dan tidak menurunkan benderanya selama kampanye tersebut”. (ibid, p. 7)

Pada bulan Mei, 1923, eksekutif Komintern memberikan arahan pada kongres ketiga Partai Komunis Cina, yakni dengan meberikan catatan bahwa:

1. Revolusi nasional di Cina… hanya akan berhasil jika gerakan diarahkan untuk menarik elemen mendasar dari populasi Cina, yakni petani…

2. Karena itu Partai Komunis, sebagai partai kelas pekerja, harus berusaha membangun persatuan antara buruh dan petani. Hal ini hanya akan terwujud apabila terus menerus melakukan propaganda menerus dan dengan sungguh-sungguh mewujudkan slogan revolusi agrarian…

3. Berangkat dari tuntutan dasar tersebut, sangatlah penting untuk mengajak seluruh massa petani miskin untuk berjuang melawan imperialis asing, dengan mengangkat isu mengenai penguasaan atas bea-cukai oleh modal asing, monopoli garam, permodalan, dan lain lain…

4. Hal tersebut dijalankan tanpa perlu dengan mengatakan bahwa kepemimpinan ada pada partai kelas pekerja…. Untuk memperkuat Partai Komunis, membuatnya menjadi partai massa proletar, untuk menyatukan kekuatan kelas pekerja dalam serikat-serikat pekerja—prinsip-prinsip itulah yang akan menyingkirkan keberatan massa atas kaum Komunis….. (ibid, pp. 25-26)

Konggres ketiga Partai Komunis Cina, yang diselenggarakan pada bulan Juni, 1923 di Canton, menerima sebuah manifesto yang, sekalipun memberikan kepemimpinan revolusi nasional-demokratik kepada Kuomintang, sepakat dengan ECCI bahwa tugas dari Partai Komunis adalah memenangkan kepemimpinan atas buruh dan tani dalam perjuangan revolusi nasional. Konggres juga menyetujui proposal Maring mengenai suatu “Front Persatuan dari dalam “Kuomintang. Pada saat itu, Partai Komunis Cina memiliki 432 anggota. Dasar persetujuan dari kedua partai tersebut adalah menggabungkan kekuatan dalam perjuangan melawan para tuan tanah dan dominasi imperialis di Cina.

Konggres Nasional I Kuomintang pada bulan Januari, 1924, secara resmi menyetujui aliansi internasional yang baru dengan Uni Sovyet, dan sebuah aliansi nasional dengan Partai Komunis Cina. Para anggota Partai Komunis Cina diterima sepenuhnya sebagai anggota Kuomintang. Pada saat itu, bidang propaganda Kuomintang, bidang tani dan departemen organisasionalnya sudah berada dalam genggaman kaum Komunis. 40 dari 200 delegasi dalam konggres Kuomintang adalah anggota Partai Komunis Cina. Konggres tersebut memilih 3 orang dari pihak komunis untuk menjadi anggota penuh komite sentral dan 6 orang lagi, termasuk Mao, menjadi wakilnya.

Setelah lewat 2 tahun kebijakan “front persatuan dari dalam” dijalankan, kebijakan tersebut telah memberikan capaian besar bagi Partai Komunis Cina. Dari beberatus anggota pada awal berdirinya, yakni di tahun 1924, Partai Komunis Cina berkembang pesat sehingga memiliki 30.000 anggota pada tahun 1926.


STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA (IV)

BAB II. REVOLUSI CINA YANG KE II (1925-1927)

Kondisi sosial di Cina pada tahun 1920-an jauh lebih parah ketimbang situasi yang menyebabkan bangkitnya revolusi Rusia. Jumlah kaum taninya mencapai hampir 80% dari populasi Cina, dan diperkirakan berjumlah 450 juta manusia. Pada tahun 1927, diperkirakan sekitar 55% dari jumlah petani tersebut tak memiliki tanah, dan 20 %-nya hanya memiliki sepetak tanah yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. 13% dari populasi pedesaan menguasi 81% lahan subur. Sebagai penyewa tanah, para petani miskin tersebut harus dipaksa menyerahkan 40-70% dari hasil panennya kepada pemilik tanah, sebagai upeti untuk tuan tanah pada saat pesta panen dan, selain itu, mereka juga harus bekerja tanpa upah saat ada perayaan pertunangan, pernikahan atau kematian keluarga tuan tanah.

Revolusi petani telah menjadi bagian pokok dari sejarah Cina, namun perkembangan industri yang pesat sesudah perang dunia I telah membawa sebuah kekuatan sosial baru untuk ikut bermain di Cina—yakni kelas pekerja modern. Meskipun masih merupakan bagian terkecil dari total populasi—diperkirakan jumlahnya sekitar 1,5 juta pada awal 1920-an—namun jumumlah tersebut terkonsentrasi cukup tinggi: di Shanghai, pada tahun 1923, terdapat 57 pabrik yang mempekerjakan sekitar 500-1.000 pekerja, sementara lainnya sekitar 49 pabrik mempekerjakan lebih dari 1.000 orang

Kondisi kaum pekerja sedikit lebih baik daripada kaum petani. Pada bulan Januari, 1927, para buruh di dermaga Hankow menerima upah sebesar US$ 1.50 per bulan. Di pabrik tekstil, kaum perempuan dan anak-anak menerima 12 sen per hari. Rata-rata upah di bidang industri adalah US$ 10 per bulan. Sebelumnya pemerintah pernah melakukan survey mengenai kebutuhan minimum sebuah keluarga yang terdiri dari 4 orang, hasilnya: US$ 27.46. Pemogokan untuk mengurangi jumlah jam kerja kaum perempuan di industri sutra, dari 17 jam menjadi 12 jam, masih belum terjadi.

Dominasi imperialis di Cina membantu memperkokoh kondisi tersebut. Pasukan dari penguasa Eropa, Jepang dan Amerika banyak berkedudukan di kota-kota besar Cina. Kapal-kapal perang asing berlayar di sungai-sungai besar dan berlabih di kota-kota yang terdapat di kedua sisinya.

Para tuan tanah yang menjalankan kekuasaan Negara menerima senjata dan uang dari kekuatan imperialis, yang menguasai sebagian besar jalur kereta api dan perdagangan, serta memiliki hampir setengah dari industri kain katun, industri terbesar di negeri tersebut.

Pada tahun-tahun sesudah perang dunia I, aksi pemogokan yang dilakukan oleh buruh perkotaan mulai berkembang pesat. Pada tahun 1918, tercatat telah terjadi 25 pemogokan di negeri tersebut, melibatkan kurang lebih 10.000 pekerja. Pada tahun 1922, terdapat 91 pemogokan, dengan melibatkan sekitar 150.000 buruh

Konggres ke-4 Partai Komunis Cina, yang diselenggarakan pada bulan Januari, 1925, memutuskan untuk memberi perhatian pada gerakan buruh dan peran revolusioner kelas pekerja dalam revolusi demokrasi-nasional, yakni dengan pengeluarkan pernyataan ini::

Dalam negeri semi-kolonial Cina, kelas pekerja seharusnya tidak hanya memperjuangkan kepentingan kelasnya saja, namun juga ikut ambil bagian dalam revolusi nasional. Bahkan bukan hanya itu, mereka juga harus mengambil kepemimpinan dalam revolusi nasional……Revolusi nasional tidak akan mencapai kemenangan jika semua kelas revolusioner tidak tergabung di dalamnya dengan segala kekuatannya dan memimpinnya. [diambil dari Jacques Guillermaz, A history of the Chinese Communist Party 1921-1949 (London, 1972), hal. 87-88]

Pada tanggal 1 Mei, sebuah konferensi buruh nasional diselenggarakan dengan menghadirkan seluruh serikat buruh dari semua kota di Cina, yang total keanggotaannya mencapai 540.000 orang. Pada bulan yang sama “gerakan buruh yang masih muda” tersebut melangkah maju mengambil kepemimpinan dalam pemberontakan nasionalis, yang secara radikal merubah merubah situasi politik di Cina.

Gerakan 13 Mei


Pada tanggal 30 Mei, tentara Inggris menembaki para demonstran yang memprotes terbunuhnya seorang buruh Cina oleh seorang mandor bangsa Jepang pada tanggal 13 Mei, dan dalam penembakan itu 12 orang pelajar tewas. Peristiwa tersebut memicu sebuah gerakan anti-imperialis yang hebat, yang melibatkan serikat pekerja, organisasi pelajar, kamar dagang (Borjuis besar Cina) dan asosiasi para pedagang kecil, yang kemudian terkenal sebagai “Gerakan 13 Mei”. Sebuah pemogokan umum, diserukan oleh Komite Sentral Partai Komunis Cina, disebar di perusahaan-perusahaan komersial dan produktif, yang melibatkan sekitar 400.000 pekerja. Kurang dari satu bulan kemudian, pada tanggal 23 Juni, terjadi pembunuhan atas 52 demonstran oleh tentara Inggris dan Prancis di Canton, telah memicu sebuah pemogokan besar di daerah Canton-Hongkong, yang melibatkan sekitar 250.000 pekerja. Lebih dari 100.000 pekerja di evakuasi dari Hongkong ke Canton. Kemudian dilanjutkan dengan pengumuman untuk melakukan boikot atas semua barang-barang Inggris. Pemogokan di Canton-Hongkong dan gerakan boikot berlangsung hingga 15 bulan; Hal tersebut merupakan salah satu pemogokan massa terlama dalam sejarah gerakan buruh internasional.

Isi dari tuntutan pemogokan kaum buruh tersebut memiliki semangat anti-imperialis, dan kaum borjuis Canton mendukung gerakan tersebut untuk sesaat. Tetapi kepemimpinan atas komite pusat pemogokan berada di tangan Partai Komunis Cina. Untuk pertama kalinya perjuangan desa dan kota mendapat saluran untuk digabungkan secara langsung. Asosiasi petani di Provinsi Guangdong, yang diorganisir oleh Partai Komunis Cina, bekerja sama dengan pemogokan, menyusuri garis pantai untuk memantau dan memperkuat blokade atas barang-barang Inggris

Pemberontakan nasionalis yang massif, serta gelombang pemogokan di tahun 1925, telah menyapu bersih para tuan tanah di Provisi Guangdong dan memungkinkan Kuomintang untuk mendirikan sebuah pemerintahan di Canton. Namun demikian, kepemimpinan kekuatan non-komunis mulai bergerak ke kanan, hal tersebut mencerminkan kekhawatiran yang mulai tumbuh di kalangan borjuis Canton terhadap kekuatan gerakan buruh Partai Komunis Cina. Pada bulan November 1925, sebuah kelompok anti-komunis dibentuk di Canton, yang menuntut di usirnya kaum komunis dari Kuomintang

Namun demikian, pada konggres Kuomintang yang ke 2, yang diselenggarakan pada bulan Januari, 1926, suara mayoritas tetap mendukung kerjasama dengan kaum komunis. Dari total 36 anggota di Komite Sentral Eksekutif, 7 orang komunis dipilih oleh 258 delegasi pada konggres tersebut. Golongan komunis tersebut ditempatkan di posisi departemen propaganda Kuomintang, departemen organisasi dan departemen pertanian.

Kup Chiang Kai di Canton


Setelah Sun Yatsen meninggal pada bulan Maret, 1925, kepemimpinan Kuomintang diserahkan kepada Wang Ching-Wei (yang sukses menggantikan Sun menjadi Presiden Pemerintahan Nasionalis pada bulan Juli, 1925), dan Chiang Kai-shek, diangkat sebagai kepala Akademi Militer Whampoa dan komandan efektif tentara Nasionalis. Pada tanggal 20 Maret, 1926, Chiang mendeklarasikan hukum perang di Guangdong, yang menuntut penahanan sejumlah besar kader komunis di Akademi Militer Whampoa, termasuk deputinya yaitu Zhou Enlai, dan menempatkan penasehat militer dari akademi Sovyet tersebut sebagai tahanan rumah. Pada waktu yang bersamaan, komite pemogokan Canton-Hongkong dibubarkan, pimpinannya ditahan dan kelompok-kelompok pemogokannya dilucuti.

Chiang mengangkat dirinya menjadi diktator militer yang berkuasa di Canton, lalu memberikan penjelasan bahwa kudetanya hanya bersifat “salah paham”. Pemimpin komunis yang ditahan kemudian dibebaskan, tetapi Chiang tetap memegang kekuasaan yang sudah direbutnya.

Lalu, pada tanggal 11 Mei, 1926, Wang Ching-wei, lawan terberat Chiang dalam kepemimpinan Kuomintang, mengumumkan pengunduran dirinya dengan dalih sakit lalu terbang ke Perancis. Empat hari kemudian, Komite Eksekutif Pusat mengeluarkan sebuah resolusi yang memindahkan semua kaum komunis dari pos pimpinan di Kuomintang, melarang mereka untuk membentuk kelompok terorganisir, menuntut Partai Komunis Cina untuk memberikan daftar nama semua anggotanya, dan semua instruksi dari komintern atau partai komunis harus disampaikan terlebih dahulu kepada komite gabungan Kuomintang-Partai Komunis Cina untuk mendapat persetujuan. Akibat dari resolusi tersebut, Partai Komunis Cina secara politik subordinat terhadap Kuomintang

Pada tanggal 4 Juni, Komite Eksekutif Pusat Kuomintang mengambil sebuah keputusan resmi untuk melancarkan “Ekspedisi Utara” guna menggulingkan tuan tanah yang menjadi sandaran imperialis dan menggabungkan seluruh Cina di bawah pemerintahan Nasionalis. Hal tersebut menempatkan Partai Komunis Cina dalam posisi yang sulit. Kudeta Canton, yang dilakukan oleh Chiang diarahkan terutama untuk menyerang posisi Partai Komunis Cina dengan menggunakan Kuomintang dan tentaranya, namun massa masih percaya bahwa pemerintahan Kuomintang mewakili aspirasi nasional mereka.

Untuk merespon kudeta Chiang, Partai Komunis Cina memperluas pertemuan Komite Sentral di Shanghai dari tanggal 12-18 Juli, 1926. Anggota politbiro Chen Tu-hsiu dan PengbShu-tse mengeluarkan resolusi agar seluruh anggota Partai Komunis Cina meninggalkan Kuomintang, menganjurkan bahwa kerjasama dengan Kuomintang dilakukan dari luar partai Koumintang, dan untuk membangun front persatuan dengan sayap kiri Kuomintang. Di bawah tekanan perwakilan Komintern, Grigory Voitinsky—yang baru saja kembali dari Moscow dengan membawa instruksi, yang belakangan disebutkan oleh Chen dianggap bahwa “Kecenderungan kita untuk menarik diri dari Kuomintang sudah benar”—Komite Sentral menerima sebuah draft resolusi yang hendak disampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Komite Eksekutif Komintern, yang isinya 1) mengusulkan untuk melanjutkan kerja “di dalam Kuomintang” tapi, untuk mengganti hubungan yang sudah terjalin antara Partai Komunis Cina dan Kuomintang, dilakukan “suatu aliansi antar badan yang terpisah”; 2) menerima garis politik independen; dan 3) memperlakukan Kuomintang sebagai “Sebuah partai demokrasi borjuis-kecil [Diambil dari E. H. Carr, A History of Soviet Russia (London, 1978), Vol. 14, hal. 707].

Melalui publikasi di koran Pravda, resolusi tersebut dikutuk oleh Nikolai Bukharin—pada masa itu ia sekutu dekat Stalin dalam perjuangan faksional (di internal Sovyet) melawan oposisi Leninis yang dipimpin oleh Leon Trotsky dan Grigory Zinoviev. Bukharin berpendapat bahwa penarikan anggota-anggota Partai Komunis Cina dari Kuomintang akan membuat partai kehilangan kontak dengan massa dan menyerahkan bendera revolusi nasional kepada borjuis Cina. Partai Komunis Cina kemudian dipaksa untuk menerima syarat yang ditentukan oleh resolusi tanggal 15 yang dikeluarkan oleh Pemimpin Kuomintang

Pertumbuhan Gerakan Petani

Ketika para tentara Chiang bergerak ke utara mereka didahului oleh sebuah pemberontakan massa dengan jumlah yang tidak terkira—sehinhgga para tuan tanah tak mampu melawan. Berkali-kali, tentara Kuomintang harus melakukan lebih dari sekadar menguasai daerah yang telah lebih dulu ditaklukkan melalui pemberontakan massa, kebanyakan berada di bawah kepemimpinan komunis. Pada awal November, kekuatan Chiang berhasil menguasai sebagian terbesar Cina Tengah hingga ke sungai Yangster.

Di saat tentara Nasionalis mengalami kemajuan, jumlahnya membengkak dari 70.000 menjadi 250,000, dengan menggabungkan banyak unit-unit yang berkhianat dari tentara tuan tanah. Namun demikian, pertumbuhan tersebut juga merubah karakter mereka. Dalam penjelasan seorang komentator Sovyet: “tentara tersebut “merekruit sejumlah besar pasukan yang tidak melalui……sekolah politik sebagaimana yang diberikan kepada tentara Canton dan, oleh karenanya, sedikit saja berbeda dengan tentara reguler Cina”, sehingga “Kurang kesadaran politik, kurang disiplin, dan mudah patah arang ketika mengalami kesulitan”. (Diambil dari Carr, ibid, hal. 710)

Kesuksesan tentara Nasionalis dielu-elukan dalam sebuah pernyataan Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI) pada tanggal 13 September, 1926, yang menyatakan kegembiraannya bahwa kemajuan yang diperoleh Chiang “Seperti memberi pukulan keras pada kekuatan milteris dan sandarannya, yakni kekuatan imperialis” (Diambil dari Carr, ibid, hal. 711). Namun demikian, kemajuan tersebut kemudian juga membuka perbedaan antara Kuomintang dengan Partai Komunis Cina yang sebelumnya sudah menjadi catatan.

Kesuksesan tentara nasionalis juga mengipasi suasana revolusioner kaum tani di daerah-daerah yang dikuasai kekuatan Chiang. Kemunculan pemberontakan petani telah memaksa Komite Sentral Partai Komunis Cina menyelenggarakan rapat di Shanghai pada bulan Oktober, 1926, untuk mempertanyakan langkah yang harus diambil dalam menyikapi gerakan petani tersebut. Jawabannya segera diberikan oleh perwakilan komintern lokal, Voitinsky, yang memberi gambaran tentang program agraria untuk partai dengan dibuka pernyataan tegas “tanpa reformasi agraria yang dapat memuaskan keinginan massa pedesaan, pemerintahan Kuomintang tidak akan bertahan dan seluruh perjuangan pembebasan akan menderita kekalahan”, (Diambil dari Carr, ibid, hal. 713) Resolusi Komite Sentral memberikan catatan bahwa “Kontradiksi kelas” antara petani secara keseluruhan dengan kaum “Militaris, tuan tanah dan bangsawan” akan “tak terhindarkan lagi, berkembang saat kekuatan militaris terguling”. Pernyataan tersebut juga menyerukan untuk mempersenjatai petani dan mendirikan komite revolusioner petani untuk mengorganisir perampasan tanah-tanah tuan tanah dan bangsawan.

Para anggota Partai Komunis Cina telah lama aktif dalam organisasi serikat petani di provinsi Guangdong. Dalam bulan Mei, 1925, konggres pertama serikat petani diselenggarakan di Canton, yang dihadiri oleh sekitar 200.000 petani yang terorganisir. Pada konggres kedua, yang diadakan pada tahun berikutnya, jumlahnya meningkat hingga 620.000. Di Cina pusat, formasi serikat petani berkembang pesat setelah kekalahan para tuan tanah. Di provinsi Hunan, sebagai contoh, pada bulan November, 1926, terdapat 1,2 juta petani terorganisir, lalu pada Desember, 1926, menjadi 1,5 juta, dan pada bulan April-Mei, 1927, meningkat hingga 5,2 juta.

Perkembangan tersebut mengisaratkan bahaya pada pimpinan Kuomintang dan komandan tentaranya, yang kebanyakan berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah borjuis.

Saat Chiang memasuki Changsha, ibukota provinsi Hunan, pada bulan Agustus, 1926, ia mengeluarkan sebuah manifesto yang tidak menyebut tentang reformasi tanah, tetapi malah bicara bahwa “perkembangan industri akan menghasilkan perubahan terhadap kondisi ekonomi pertanian dan, dengan demikian, juga akan memperbaiki keadaan kaum tani yang kekurangan” (Diambil dari Carr, ibid, hal. 715-716). Khawatir bahwa kebijakan agraria Partai Komunis Cina akan membawa perpecahan antara golongan Komunis dengan pimpinan Kuomintang, kepemimpinan Stalin-Bukharin di Moscow mengirim sebuah telegram atas nama politbiro Partai Komunis Uni-Sovyet (CPSU) kepada Voitinsky pada tanggal 29 Oktober, 1926, yang isinya mendesak Partai Komunis Cina untuk tetap memantau gerakan pemberontakan petani (“Tidak perlu ada perang sipil di pedesaan”), hal itulah yang memaksa Partai Komunis Cina melepaskan program agraria radikalnya. Setahun kemudian, sorang anggota politbiro dan pendukung Stalin, Kliment Voroshilov, membenarkan telegram tersebut dengan argumen bahwa “Revolusi petani mungkin saja akan mengganggu ekspedisi utara secara keseluruhan”. [Diambil dari Trotsky, The Stalin School of Falsification (New York, 1971), hal. 166]

Meskipun demikian, kebangkitan petani, formasi serikat petani, dan detasemen petani bersenjata tetap berlanjut di daerah-daerah yang dikuasai oleh tentara nasionalis. Di Guangdong seorang penasehat militer Sovyet melaporkan terjadinya pertempuran bukan hanya antara petani dengan pemilik tanah, melainkan antara petani dengan pasukan nasional; hal tersebut telah menjadi “Masalah di provinsi yang paling menguras airmata”.

Pada sebuah konferensi khusus yang diselenggarakan oleh Partai Komunis Cina pada bulan Desember, 1926, Perwakilan Stalin di Cina, Mikhail Borodin, mengakui bahwa Chiang Kai-Shek adalah “Seorang pemenang atas hegemoni borjuis dalam revolusi nasional” dan menetapkan bahwa kini tugas golongan komunis adalah menuntut agar “Dia menuntaskan revolusi borjuisnya hingga akhir”. (Dikutip dari Carr, ibid, hal. 722]. Kepedulian Borodin terhadap reformasi agrarian hanyalah sebatas “membeli kembali tanah dari tuan tanah”.

Muncul semacam ketakutan di kalangan Komite Sentral Partai Komunis Cina. Secara terang-terangan Komunis Canton semakin menunjukkan sikap permusuhannya terhadap kepemimpinan partai yang semakin tersubordinat kepada Kuomintang. Seorang anggota partai dari Canton mengatakan: “Pada tanggal 20 Maret, Kuomintang sudah mati, sesudah 15 Mei ia mulai membusuk; lantas mengapa kita masih berpegang pada bangkai yang membusuk ini?” [Dikutip dari Carr, ibid, hal. 722]. Komite Partai Canton mengeluarkan sebuah kebijakan untuk mendukung pemberontakan massa buruh-tani di provinsi Guangdong—walaupun dengan resiko perpecahan dengan Kuomintang. Walaupun konferensi khusus Partai Komunis Cina, yang tunduk pada instruksi komintern, menolak pandangan-pandangan tersebut, namun demikian konferensi tersebut memberikan catatan:

Gerakan massa bergerak ke arah kiri, sementara para penguasa militer dan politik, melihat pertumbuhan pesat gerakan massa tersebut, dicekam rasa takut dan mulai bergerak ke arah kanan

Jika tendensi ekstrim tersebut tetap berkembang di masa yang akan datang, maka hal tersebut bahkan akan menggali lubang jurang yang lebih dalam lagi antara pemerintah dan massa, front persatuan akan berakhir dengan perpecahan, dan seluruh gerakan nasional tampaknya akan berada dalam bahaya (Dikutip dari Carr, ibid, hal. 723)

Namun demikian, kebijakan yang ditentukan oleh kepemimpinan Komintern yang Stalinis telah menjadikan Partai Komunis Cina lumpuh secara politik di hadapan kontradiksi yang semakin menajam antara gerakan massa dengan penguasa Kuomintang.


 STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA (V)

Silang pendapat yang muncul di Moscow

Menuju akhir 1926, kebijakan komintern di Cina mulai dikritisi oleh oposisi Leninis yang ada di dalam CPSU. Pada tanggal 27 September, 1926, Trotsky menulis sebuah memorandum yang menyebutkan bahwa:

Perjuangan revolusioner di Cina sejak 1925 telah memasuki sebuah fase baru yang, diatas segalanya, karakternya dibentuk oleh intervensi aktif lapisan massa proletar yang besar, melalui pemogokan dan serikat buruh. Kaum tani tanpa diragukan lagi ikut tertarik dalam gerakan ini sehingga suhunya meningkat. Pada saat yang bersamaan, kaum borjuis komersial dan kaum terpelajar yang tergabung di dalamnya mulai memisahkan diri dan bergerak kearah kanan, serta mengesankan permusuhan terhadap pemogokan, komunis dan USSR.

Cukup jelas bahwa, dengan landasan fakta-fakta fundamental tersebut, sangatlah penting untuk mengangkat permasalahan mengenai bagaimana meninjau kembali hubungan antara Partai Komunis dengan Kuomintang. Upaya untuk menghindari peninjauan kembali—dengan mempertahankan p[endapat bahwa penindasan kolonial-nasional di Cina menuntut masuknya Partai Komunis dalam Kuomintang secara permanen—tidak dapat dipertahankan dalam situasi krisis. Pernah terjadi, kaum oportunis Eropa Barat meminta agar kami, Sosial Demokrat Rusia, bekerja di dalam organisasi (bukan saja) Sosialis Revolusioner tetapi juga di dalam organisasi “kaum Liberasionis”, dengan landasan bahwa kami semua terikat dalam sebuah perjuangan melawan Tsar… Bila masalahnya adalah Cina, solusi bagi masalah hubungan antara Partai Komunis dengan Kuomintang berbeda bila dilihat dari perbedaan periode gerakan revolusionernya. Kriteria utama bagi kita bukanlah pada fakta (yang konstan) adanya penindasan nasional tetapi perubahan arah perjuangan kelas, baik itu di dalam Cina maupun di sepanjang jalur pergesekan antara kelas-kelas dengan partai-partai Cina dan imperialisme...

Gerakan massa pekerja Cina yang cenderung ke kiri merupakan suatu fakta yang pasti, sepasti fakta bahwa gerakan borjuis Cina semakin condong ke kanan. Karena selama ini Kuomintang telah membasiskan dirinya dalam politik dan organisasi serikat pekerja serta borjuis, maka keterikatan tersebut harus dilepaskan oleh tendensi yang berasal dari pusat-pusat perjuangan kelas. Tidak ada formula politik yang ajaib atau cara taktis yang lebih cerdas untuk melawan kecenderungan tersebut, tidak mungkin ada.
Partisipasi Partai Komunis Cina dalam Kuomintang adalah benar pada periode ketika Partai Komunis Cina masih menjadi sebuah kelompok propaganda yang hanya menyiapkan dirinya demi aktivitas politik yang independen di masa mendatang tetapi, pada waktu yang bersamaan, harus ikut ambil bagian dalam perjuangan pembebasan nasional yang sedang berlangsung. Dua tahun terakhir ini sudah tampak kebangkitan gelombang pemogokan yang hebat di kalangan pekerja Cina…

Fakta tersebut menghadapkan Partai Komunis Cina pada tugas untuk mewisuda kelas persiapan tersebut yang, sekarang, telah naik ke tahap yang lebih tinggi. Tugas politik yang mendesak tersebut harus sekarang juga diperjuangkan guna merebut kepimpinan langsung yang independen terhadap kebangkitan kelas pekerja—tentu saja bukan dalam rangka mengalihkan kelas pekerja dari kerangka perjuangan nasional-revolusioner, tetapi untuk menjamin perannya perjuang yang paling teguh, dan juga sebagai pimpinan politik yang memiliki hegemoni dalam dalam perjuangan massa Cina [Trotsky, The Chinese Communist Party and The Kuomintang, Leon Trotsky on China (New York, 1976), hal. 114-115]

Dengan mengutip dari resolusi yang dikeluarkan oleh Komite Sentral Partai Komunis Cina, yang dikeluarkan pada pertemuan bulan Juli, 1926, Trotsky menulis:

Mereka yang mendukung agar Partai Komunis Cina tetap berada di dalam Kuomintang berpendapat bahwa “Karena peran utama dalam komposisi basis organisasi Koumintang adalah borjuis kecil, maka memungkinkan kita untuk bekerja di dalam partai untuk waktu yang lebih lama dengan landasan politik kita sendiri.” Argumen ini benar-benar tidak waras… Berpikir bahwa kaum borjuis kecil bisa dimenangkan oleh maneuver yang pandai atau oleh saran yang bagus di dalam Kuomintang. merupakan utopianisme yang tak ketulungan. Partai Komunis akan lebih mampu memberikan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung atas borjuis kecil di kota dan desa bila partai sendiri semakin kuat, yakni, semakin memenangkan pengaruh di kalangan kelas pekerja Cina. Tetapi hal tersebut hanya mungkin terjadi bila memiliki landasan sebuah partai kelas dan kebijakan kelas yang independen…

Resolusi, dokumen, dan laporan (Partai Komunis Cina) mencatat, pertama, pertumbuhan sayap-kanan Kuomintang, lalu gerakan yang cenderung ke kanan dari pusat kepemimpinan Kuomintang dan, sesudah itu, kebimbangan dan perpecahan di kalangan Kuomintang lenyap. Dan semua itu diikuti dengan pola peningkatan penyerangan terhadap komunis. Sedangkan di sisi mereka (komunis), mereka secara pasti berangsur-angsur mengundurkan diri, dari satu posisi ke berikutnya di Kuomintang… Mereka setuju membatasi jumlah anggota komunis dalam badan pimpinan Kuomintang hingga tidak lebih dari 1/3nya. Mereka bahkan setuju untuk menerima suatu resolusi yang mendeklarasikan bahwa pengajaran Sun Yatsen di dalam partai tidak dapat diganggu gugat. Tetapi, seperti biasanya, setiap konsesi baru yang diberikan hanyalah semakin meningkatkan tekanan baru terhadap peran komunis di dalam kekuatan Kuomintang. Seluruh proses tersebut, seperti yang sudah kita katakan, benar-benar tak terelakkan, merupakan konskwensi dari perbedaan kelas….
Jalan keluarnya adalah, secara organisasional, menarik garis yang tegas, dan hal ini merupakan prasyarat yang dibutuhkan agar memiliki kebijakan yang independen, tetap amati, bukan saja sayap kiri Kuomintang tapi, di atas segalanya, adalah kesadaran pekerja. Hanya di bawah kondisi seperti itulah blok baik dengan Kuomintang maupun dengan elemen lain tidak lebih dari sebuah istana pasir. (Trotsky, ibid, hal. 114-119)

Pada konferensi CPSU yang ke 15 di bulan Oktober, 1926, Bukharin mengatakan bahwa tugas utama Cina adalah berjuang melawan imperialisme, dan bahwa hal tersebut menuntut tetap dipertahankannya front persatuan dengan seksi industrial dan borjuis komersial yang tidak berkolaborasi dengan imperialisme. Sebulan kemudian Stalin sendiri memutuskan untuk mengirimkan sebuah pidato tentang kebijakan utama dalam masalah Cina. Ia berbicara pada komisi ECCI Cina pada tanggal 30 November, seperti ini:
Tentara revolusioner Cina [didalamnya, juga tentara Chiang Kai-shek] merupakan faktor terpenting dalam perjuangan pembebasan pekerja dan petani Cina… Kemajuan orang-orang Canton dapat diartikan merupakan pukulan terhadap imperialisme dan pada agen-agennya di Cina; Hal tersebut berarti kebebasan menyelenggarakan pertemuan, kebebesan mengorganisir seluruh elemen revolusioner di Cina secara umum, dan untuk kelas pekerja secara khusus…

Sebelumnya, pada abad ke-18 dan ke-19, revolusi biasanya dimulai dengan sebuah pemberontakan rakyat di bagian negeri yang paling tidak dipersenjatai atau miskin persenjataannya, mereka bertarung dengan rejim lama, mereka berusaha memathakan semangatnya atau, setidaknya, memenangkan sebagian dari mereka agar menyebrang pihak mereka. Itulah bentuk tipikal pemberontakan revolusioner di masa lalu. Itulah yang terjadi di sini, di Rusia, pada tahun 1905. Di Cina, revolusi dilakukan dengan cara yang berbeda. Di Cina, pasukan pemerintah lama bukan dihadapi oleh rakyat tak bersenjata, tetapi oleh rakyat yang bersenjata, dalam wujud tentara revolusioner. [J.V Stalin, The Prospects of the Revolution in China, On the opposition (Beijing, 1974) hal. 504-505]

Selanjutnya, dia setuju dengan karakter pemerintah Canton dan prospek untuk mendirikan sebuah pemerintahan revolusioner di Cina. Pemerintahan Canton, menurutnya, “adalah cikal-bakal seluruh pemerintahan revolusioner di masa yang akan datang di Cina.” Ia pun menambahkan:

…pemerintah ini, tidak bisa tidak, bisa menjadi pemerintahan yang anti-imperialis, yang setiap kemajuannya merupakan pukulan bagi dunia imperialisme—dan konsekuensinya, suatu pukulan yang akan menguntungkan dunia gerakan revolusioner…
Atas landasan inilah, maka diletakkan tugas Komunis Cina dalam hal sikapnya terhadap Kuomintang dan pemerintah revolusioner yang akan datang di Cina. Dikatakan bahwa Komunis Cina harus mengundurkan diri dari Kuomintang. Tentu saja hal tersebut salah, kawan. Mundurnya golongan Komunis Cina dari Kuomintang pada saat ini akan menjadi sebuah kesalahan besar. Dari keseluruhan cara, karakter dan prospek revolusi Cina, tanpa diragukan lagi membenarkan cara yang ditempuh Komunis Cina—tetap bertahan dalam Koumintang, dan meneruskan kerja-kerja mereka. [Stalin, ibid, hal. 507-509]

Dengan penuh keyakinan dapat memberikan jawaban terhadap masalah tersebut, Stalin segera mengalihkan isu ke petani di Cina. Dalam hal ini dia mengambil contoh dari kasus yang dikemukakan oleh perwakilan komintern di Cina, Pavel Mif, yang menganjurkan Partai Komunis Cina untuk mengangkat slogan mengenai pembentukan soviet petani:

…bicara mengenai Sovyet saat ini juga akan menjadi terlalu jauh ke depan. Konsekwensinya, pertanyaan yang harus diajukan sekarang ini bukanlah mengenai Sovyet melainkan tentang pembentukan komite petani. Dalam bayanganku, komite petani tersebut dipilih oleh petani, komite harus memiliki kemampuan untuk memformulasikan tuntutan dasar dari petani, dan yang akan mengambil berbagai pertimbangan untuk menjamin terwujudnya tuntutan tersebut dengan cara yang revolusioner. Komite petani ini harus dianggap sebagai poros yang akan memperngaruhi daerah sekelilingnya sehingga revolusi di daerah pedesaan akan berkembang [Stalin, ibid, p. 509]

Perbedaan antara petani Sovyet dengan “komite petani yang dipilih oleh petani” yang, secara revolusioner, sadar betul akan tuntutan petani, mungkin hanya dapat ditemukan oleh seorang Stalin formalis birokratik itu! Saat melanjutkan pidatonya, ia mengajukan pertanyaan:

Bagaimana cara dan alat yang harus digunakan oleh kaum revolusioner Cina agar mampu membangkitkan massa petani Cina (yang luar biasa banyaknya) menuju revolusi?
Saya pikir, dalam kondisi seperti ini, orang harus mengajukan 3 cara.
Cara pertama, adalah dengan menidrikan komite petani dan, dengan kaum revolusioner Cina masuk dalam komite ini, mereka dapat memberi pengaruh kepada para petani……(Meskipun demikian, hal ini) menggelikan juga berpikir bahwa tersedia cukup kaum revolusioner di Cina untuk tugas tersebut… Konsekuensinya, harus ada beberapa cara tambahan.
Cara kedua, adalah dengan mempengaruhi para petani melalui apparatus pemerintah rakyat revolusioner baru. Tak diragukan lagi bahwa di provinsi baru yang telah dibebaskan, pemerintahan baru yanng akan dirancang akan mengikuti tipe pemerintah Canton (yakni, pemerintah Kuomintang). Tak diragukan lagi bahwa otoritas tersebut beserta aparatusnya diharuskan untuk memenuhi tuntutan mendesak kaum petani jika ingin benar-benar memajukan revolusi. Nah, kemudian, tugas kaum komunis Cina secara umum adalah masuk ke dalam pemerintahan baru tersebut… (Stalin, ibid, hal. 511-512)

Apa maksud penjelasan di atas terbuka pada bulan berikutnya, setelah Kuomintang mendirikan pemerintahan yang baru di Wuhan, Cina Pusat. Dua anggota Partai Komunis Cina terpilih menjadi menteri dalam pemerintahan tersebut—bertugas di departemen buruh dan pertanian. Dalam pidatonya pada konggress ke-15 CPSU, bulan Desember, 1927, F. Chitarov, sekretaris Stalinis dari Pemuda Komunis Internasional, yang baru saja kembali dari Cina, melaporkan, “Selama menjabat sebagai mentri, tak satu pun hukum yang mereka hasilkan untuk meningkatkan posisi buruh dan tani.” [Dikutip dari Trotsky, Stalin and the Chinese Revolution: Facts and Documents, ibid, hal. 457]

Cara ketiga yang bisa dilakukan oleh kaum revolusioner untuk mempengaruhi kaum petani adalah “melalui tentara revolusioner”, yakni, melalui tentara Chiang Kai-Shek. Komunis Cina, menurut Stalin, harus “memastikan bahwa tentara membantu para petani dan membangkitkannya untuk melakukan revolusi” (Stalin, ibid, p. 512)
Kedua “cara tambahan” mengenai pengorganisiran gerakan petani tersebut telah memberikan klarifikasi tentang perbedaan antara petani Sovyet—yakni yang memiliki badan kekuasaan popular yang berdaulat dan demokratik di pedesaan—sementara konsep Stalin adalah “komite petani”—badan yang akan berada di bawah pengawasan pemerintah Kuomintang dan tentaranya secara umum.

Akhirnya, Stalin menyatakan bahwa “persoalan kaum muda merupakan salah satu isu utama yang sangat penting di Cina saat ini,” dan tambahan penjelasannya: “Pemuda pelajar (pelajar-mahasiswa revolusioner), pemuda petani—semuanya merupakan suatu kekuatan menentukan yang dapat memajukan revolusi dengan langkah raksasa, jika disubordinasikan pada pengaruh politik dan ideologi Kuomintang.” (ibid, hal. 514-515) Pidato Stalin kemudian menajdi landasan bagi resolusi yang diterima oleh pertemuan ECCI ke-7 pada tanggal 26 Desember, 1926.

Pentingnya perkembangan di Cina bagi birokrasi Sovyet ditunjukkan dalam pleno pertemuan tersebut, saat Tan Ping-shan, ketua delegasi Partai Komunis Cina, pembicara pertama setelah pertemuan dibuka oleh pidato sambutan dari Bukharin, dan segera diikuti oleh perwakilan dari Kuomintang (yang telah menjadi “partai yang mendapat simpati” dari Komintern). Dalam laporan pada pleno ECCI tersebut—yang akan membuat resolusi tentang Cina—Bukharin semakin memperjelas bahwa tujuan utama Partai Komunis Cina adalah “Mengkonsolidasikan seluruh elemen kekuatan melawan imperialism asing beserta pendukung ‘militeris’ mereka, dan tugas lain tidak dapat dilakukan tanpa “melewati tahap sebagai perjuangan revolusioner tersebut”. (Dikutip dari Carr, ibid, hal. 727)

Dalam laporannya (kepada pleno) tentang situasi di Cina, Tan menyatakan:

Sejak didirikannya pemerintahan baru di Canton pada bulan Juli yang lalu, yang nominalnya saja pemerintahan kiri, namun sesungguhnya kekuasaannya berada di tangan kaum kanan… gerakan buruh dan petani tidak dapat berkembang dengan leluasa akibat berbagai hambatan… Secara praktis, kami telah mengorbankan kepentingan buruh dan petani… sesudah negosiasi yang panjang dengan kami, pemerintah tidak juga mengeluarkan hukum perburuhan… Pemerintah tidak bersedia memenuhi tuntutan kaum petani, yang kami tuntut atas nama berbagai organisasi sosial. Ketika muncul konflik antara tuan tanah besar dengan petani miskin, pemerintah selalu berada di pihak tuan tanah (Dikutip dari Trotsky, The Chinese Revolution and the Theses of Comrade Stalin, ibid, hal. 166-167)

Dalam diskusi, Dmitri Manuilsky, seorang anggota Sekretariat Presidium Komintern, dan ketua jurubicara Stalin untuk Komintern sesudah tahun 1930, lebih jelas lagi mencerminkan bagaimana sebenarnya birokrasi Stalin memandang Cina. Dia tidak menunjukkan ketertarikannya pada kebijakan Partai Komunis Cina atau Komintern, melainkan hanya pada posisi internasional Cina—yang sedang menghadapi 3 kekuatan imperialis di Pasifik (yakni, Amerika, Inggris dan Jepang)—dan, dengan demikian, lebih memperjelas bahwa aliansi diplomatik antara Moscow dan pemerintahan Koumintang dalam melawan ketiga kekuatan tersebut lebih menjadi perhatian utama.

Pada tanggal 3 Maret, 1927, Karl Radek, seorang pendukung oposisi terhadap CPSU, anggota presidium ECCI Komintern, mengirimkan sebuah memorandum kepada Trotsky yang, sementara tetap melakukan pembelaan terhadap “pandangan kita tentang ketidaksetujuan bahwa Partai Komunis Cina masuk ke dalam Kuomintang,” berpendapat bahwa, pada tahap revolusi sekarang ini, pengunduran diri dari Kuomintang tidaklah praktis; Partai Komunis Cina seharusnya, bagaimanapun juga, didorong untuk mengambil garis politik independen.
Hari berikutnya Trotsky menulis balasan pada Radek, yang banyak mengulang kembali argumennya yang ditulis pada memorandum di bulan September, 2006, beserta tambahannya:

Kita harus menyadari bahwa bila Partai Komunis Cina berada lebih lama lagi di dalam Kuomintang tampaknya akan membawa konsekuensi yang mengerikan bagi kaum proletar dan revolusi dan, di atas semuanya, hal tersebut membuat Partai Komunis Cina sendiri turun menjadi Menshevisme. (Trotsky, Second letter to Radek, ibid, hal. 124)

Diperkuat oleh argumen Trotsky, Radek bersiap memulai sebuah serangan publik terhadap kebijakan Stalin dalam soal Cina. Pada kematian Sun Yatsen di tahun 1925, dan diulang pada peringatannya yang pertama, Radek menulis artikel (untuk memperingatinya) di Pravda. Pada tahun 1927, artikel tersebut tidak muncul di Koran CPSU melainkan dalam harian pemerintah, Izvestiya. Walaupun tidak secara terbuka menyerang kebijakan Komintern, Radek menyertakan pesan ini:

Borjuis Cina, yang terlibat dalam gerakan nasional revolusioner berupaya memberi pukulan pada sektor kiri—golongan Komunis dan sayap kiri Kuomintang. (Izvestiya, 15 Maret 1927; disebutkan dalam Carr, ibid, hal. 756)

Tiga hari kemudian, jurnal Komintern memuat sebuah artikel yang menegaskan bahwa “Kepemimpinan Kuomintang saat ini sedang lesu, kekurangan darah pekerja dan petani revolusioner. Partai Komunis Cina harus memberikan bantuan berupa infusi darah, afar situasi berubah secara radikal. “ (Dikutip dari Trotsky, Stalin and the Chinese Revolution: Facts and Documents, ibid, hal. 451)

Pada tanggal 22 Maret Trotsky menulis memorandum lain, yang mengatakan:

Aku baru saja menerima telegram yang memberitakan bahwa Shanghai telah dikuasai pasukan Nasionalis. Semakin luas daerah yang dikuasai oleh kaum Nasionalis dan semakin kuat pula Kuomintang membentuk karakternya sebagai partai penguasa, maka ia semakin menjadi borjuis. Dikuasainya Shanghai oleh kekuasaan pemerintahan Nasionalis akan menentukan karakter sejatinya.

Pada saat yang bersamaan, kita membaca pidato Kalinin dan Rudzutak, yang menguraikan dan mengulang gagasan bahwa pemerintah Nasionalis merupakan pemerintahan semua kelas dari rakyat Cina (itulah menurut mereka; benar-benar-benar kata-kata mereka!). Dengan begitu, tampaknya di Cina sebuah pemerintahan bisa berdiri dengan mengabaikan garis kelas. Marxisme sepenuhnya telah dilupakan. Lupa bahwa Lenin pernah menulis tesis tentang demokrasi (Konggres Komintern ke-I). Ketika kalian membaca hal semacam itu di Pravda, segera anda tak percaya pada mata anda, membacanya kembali dan membacanya lagi… Kenyataannya, dalam persoalan tersebut, Kalinin dan Rudzutak mengekspresikan sepenuhnya kebijakan Partai Komunis Cina, atau lebih tepatnya kebijakan Komintern saat ini dalam mengahadapi persoalan Cina. Dengan kebijakan saat ini, semakin besar kesuksesan revolusi nasional di Cina, maka semakin hebat pula bahaya yang mengintai kita…

Tidak diragukan lagi bahwa pemerintahan Nasionalis di Cina—begitu bisa menguasai teritori yang sangat besar, akan mendapatkan dirinya berhadapan dengan masalah-masalah yang begitu besar dan sangat sulit, belum lagi ia membutuhkan modal asing dan setiap hari harus mengahadapi perlawanan pekerja—akan dengan cepat mengambil langkah ke kanan, condong ke Amerika, dan dalam beberapa hal ke Inggris. Pada saat ini, kelas pekerja merasa tak memiliki kepemimpinan dan, memang, sangat sulit rasanya mengharapkan kepemimpinan yang independen bagi kelas pekerja dari “komunis” yang menjadi anggota Kuomintang—yang berusaha menanamkan di kepala pekerja bawah penmerintah nasionala adalah pemerintah semua kelas…

Dengan konsep tersebut, kita menyelewengkan diri kita sendiri bukan sebagai kekuatan kelas dalam sejarah, tapi sekadar inspektorat tanpa-kelas dalam merespon proses sejarah secara keseluruhan. Dan, tentu saja, kita akan jatuh dengan muka terbentur terlebih dahulu. Perubahan tersebut, nampaknya, akan terjadi dengan didudukinya Shanghai. (Trotsky, A Brief Note, ibid, hal. 125-126)

Tiga minggu kemudian ramalan Trotsky terbukti secara tragis.


STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA (VI)

Kontra-revolusi Chiang Kai-shek

Saat Komintern mencoba mempertahankan persatuan gerakan nasional di Cina dengan merancang resolusi dan mengirimkan utusan lebih banyak dan lebih banyak lagi, persaingan yang tumbuh antara dua faksi di dalam Kuomintang—antara sayap kanannya yang dipimpin Chiang Kai-shek, dan “sayap kiri”nya yang dipimpin Wang Ching-wei—menjadi lebih dan lebih terbuaka lagi di akhir tahun 1926 dan awal tahun 1927.

Sementara pimpinan partai Kuomintang yang dipimpin Wang Ching-wei mendirikan markas besarnya di tiga-kota Wuhan (provinsi Hubei), Chiang mendirikan kantor militernya di Nanchang, ibukota provinsi Jiangxi, yang bertetangga dengan Hubei, sebagai persiapan untuk penyerangan ke Shanghai.
Sebuah pemerintahan provinsi baru didirikan di Canton pada bulan November, 1926, sebagai hasil dari kup yang dilancarkan oleh komandan militer lokal Li Chi-shen. Ketika pemerintahan tersebut menarik dua orang anggota Kuomintang kiri yang sudah condong ke kanan maka, pada bulan Januari, 1927, diberlakukanlah larangan mogok dan membawa senjata bagi buruh. Hukum tersebut dengan segan dikritik oleh jurnal Komintern dengan menyebutnya sebagai hukum yang memang penuh syarat yang akan “membatasi kebebasan untuk melakukan pemogokan lebih dari yang seharusnya namun demi kepentingan mempertahankan perang revolusioner.” (Diambil dari Carr, ibid, hal. 737)

Sementara itu, situasi bergejolak dipicu oleh kedatangan Kuomintang (kiri) di Wuhan memanas pada tanggal 3 Januari, 1927, yakni dalam sebuah demonstrasi massa buruh yang menyerbu daerah-daerah yang dikonsesikan ke Inggris di Wuhan dan mengusir para pejabat Inggris dari kota tersebut. Pemerintah Inggris, yang terkesan dengan laju kemenangan pasukan Chiang dan jatuhnya para raja-raja kecil yang mereka dukung di Cina Pusat, memutuskan bahwa akan lebih bijaksana bila melakukan konsiliasi dengan Kuomintang ketimbang memusuhinya. Tak ada aksi balasan atas insiden tanggal 3 Januari di Wuhan. Bahkan, seorang diplomat Inggris dikirim dari Beijing untuk melakukan negosiasi dengan pemerintahan Wuhan. Situasi mencapai puncaknya dengan ditandatanganinya sebuah perjanjian pada tanggal 3 Februari yang menyerahkan konsesi Inggris kepada Wuhan dan mengembalikannya di bawah hukum Cina.

Isyarat kesediaan Inggris untuk melakukan persetujuan dengan kekuatan nasionalis Cina tujuannya adalah agar dapat merangkul Chiang. Carr mengomentari hal tersebut: ”Satu waktu, di awal tahun 1927, Chiang Kai-shek dihadapkan pada prospek yang menyilaukan antara ambisi pribadinya dengan keinginannya untuk menyatukan Cina Selatan dan Pusat melalui kolusi dengan kekuasaan imperialis, tentu saja dengan mengorbankan kaum komunis, para penasehat Sovyet dan pemenang lainnya dari golongan kiri yang telah lama menderita bersamanya.” (Carr, ibid, hal. 745)

Pada tanggal 17 Februari, 1927, tentara Chiang dikalahkan oleh kekuatan Sun Ch’un-fang, tuan tanah yang didukung Inggris dari daerah pesisir provinsi Zhejiang, Hangzhou, sebelah selatan Shanghai. Dua hari kemudian, Serikat Buruh Shanghai dipimpin oleh golongan komunis, yang beranggotakan tidak kurang dari 600.000 buruh, menyerukan pemogokan umum di seluruh kota. Chiang tak melakukan tindakan apapun, dan pemogokan umum diserang secara brutal oleh kekuatan Sun yang masih menguasai kota.

Dalam sebuah pidatonya di depan para mahasiswa Akademi Komunis di Moscow pada tanggal 18 Maret, Radek menyuarakan keprihatinan oposisinya (terhadap CPSU) dalam hal kebijakan Komintern yang secara politik melucuti Partai Komunis Cina dalam menghadapi perkembangan fakta bahwa jendral Chiang merencanakan sebuah kup kontra-revolusioner:

Jendral Chiang Kai-shek menembaki buruh dan petani hampir di mana-mana dan, memang, sedang memobilisir upaya untuk menghancurkannya habis-habisan. Golongan kiri Kuomintang dan Partai Komunis harus membangkitkan keberanian dan kekuatan yang dibutuhkan untuk menyingkirkan Koumintang sayap-kanan dan merebut kepemimpinan gerakan. Untuk tujuan tersebut, kaum buruh dan tani harus dipersenjatai dengan segera, detasemen buruh dan tani harus dibentuk dalam ketentaraan, isu mengenai pertanian harus diselesaikan, isu sosial harus dipecahkan dengan memenuhi tuntutan buruh dan, diatas segalanya, membangun organisasi Partai Komunis yang independen, dan bila independensi tersebut tak bisa diwujudkan, kita harus berjuang untuk meraih homogenitas yang nyata dalam gerakan nasional-revolusioner. [Dikutip dari Trotsky, Problems of the Chinese Revolution (London, 1969), hal. 307]

Pada tanggal 31 Maret, saat pasukan Chiang mulai memasuki Shanghai, Serikat Buruh Bersatu mengumumkan ajakan untuk melakukan pemogokan umum, yang diikuti oleh lebih dari 800.000 buruh. Kali ini Komunis Shanghai mengkombinasikan pemogokan dengan insureksi. Pemerintahan provinsi, secara nominal bertanggungjawab kepada Kuomintang, namun sekarang berada di bawah kepemimpinan Komunis. Detasemen-detasemen buruh bersenjata muncul di jalan-jalan. Divisi pertama pasukan Nasionalis yang memasuki Shanghai, yang berada di bawah komando Hsueh Yueh, bersimpati terhadap buruh. menurut laporan Chikarov, pada Konggres ke-15 CPSU di bulan Desember, 1927:

Setibanya di Shanghai, Hsueh Yueh mengunjungi kawan-kawan dan mengatakan bahwa sedang ada persiapan untuk menggulingkan kekuasaan militer… Hseuh Yeuh mengusulkan pada Komite Sentral Partai Komunis Cina untuk menyetujui pembangkangannya terhadap perintah Chiang Kai-shek (agar menarik pasukannya dari Shanghai). Dia siap tetap tinggal di Shanghai, berjuang bersama kaum buruh Shanghai, dan mempersiapkan penggulingan kekausaan militer. (Dikuti dalam Trotsky, Stalin and the ChinesevRevolution: Facts and Documents,” ibid, hal. 449-450)

Namun, karena harus patuh pada perintah Moscow, yang memerintahkan agar menghindari konflik dengan Chiang, Komite Sentral Partai Komunis Cina menolak tawaran Hseuh Yeuh, dan divisinya di Shanghai digantikan oleh unit tentara kepercayaan Chiang.

Kembali ke Moscow, kritik Radek terhadap kebijakan Komintern dicela oleh Bukharin dan Stalin, saat mereka menghadiri pertemuan yang diselenggarakan organisasi partai Moskow pada tanggal 4-5 April untuk memperingati “Pembebasan” Shanghai. Bukharin mengklaim bahwa di Cina “antagonisme melawan modal asing sangat kuat sehingga sebagian besar borjuis saat ini berjuang bersama massa luas.” (Dikutip dalam Carr, ibid, hal. 759) Stalin, mengemukakan pandangan yang sama, kritikannya ditujukan langsung pada Radek, mencela ramalannya tentang bencana (terhadap revolusi) sebagai “olok-olok revolusi.” Stalin mengeluarkan kritiknya terhadap Kuomintang (kanan), dengan berdalih bahwa:

Revolusi Cina, berbeda dengan revolusi Russia pada tahun 1905, dalam hal bahwa di Cina target utamanya lebih pada anti-imperialistik. Kesalahan esensial kawan Radek adalah tidak cukup memahami bahwa tempo perkembangan revolusi di Cina tidak bisa secepat yang dia harapkan. Dia tidak sabar… Radek mengangkat slogan yang sangat revolusioner: Berpisahlah dengan Kuomintang Kanan, singkirkan sayap kanannya—jika saja slogan r-r-r-revolusioner semacam itu diperbanyak lagi, maka Revolusi Cina akan gagal. Terlepas dari estimasi yang salah mengenai situasi internasional, mengenai revolusi Cina dan mengenai tempo perkembangannya, maka hasil yang lain pun malahan akan menemukan kesalahan-kesalahan lain Radek. Kuomintang adalah sebuah blok, semacam parlemen revolusioner gabungan Kanan, Kiri dan Komunis. Mengapa harus melakukan kudeta? Mengapa harus menyingkirkan Kanan padahal kita memiliki suara mayoritas, dan Kanan terpaksa harus mendengarkan kita?

…Jika Kanan sudah tidak ada gunanya lagi bagi kita, kita akan menyingkirkannya. Saat ini kita membutuhkan Kanan. Mereka memiliki orang-orang yang kompeten, yang masih memerintah tentara dan memimpinnya untuk melawan imperialis. Chiang Kai-shek mungkin tidak memiliki simpati pada revolusi, tetapi dia masih memimpin tentara dan, tidak bisa tidak, dia sedang memimpinnya untuk melawan imperialis. (Dikutip dalam Trotsky, Problems of The Chinese Revolution, hal. 308-309)

Sehari setelah Stalin , Chiang Kai-shek mengeluarkan dekrit yang memerintahkan agar semua kelompok bersenjata berada dibawah kontrol militer, bila tidak, mereka akan diperlakukan sebagai pemberontak. Di bawah instruksi dari Moscow, Partai Komunis Cina meminta kaum buruh di Shanghai untuk mengembalikan senjatanya kepada markas besar serikat buruh. Lalu, pada jam 1 siang, tanggal 12 April, pasukan Chiang mengepung kantor Serikat Buruh Bersatu Shanghai. Ketika kaum buruh komunis menolak untuk menyerahkan senjatanya, pasukan Chiang, dengan dibantu oleh sindikat kriminal Shanghai menangkap dan mengeksekusi pimpinan organisasi buruh di seluruh kota. Sebuah dekrit resmi dikeluarkan untuk membubarkan Serikat Buruh Persatuan, dan pimpinannya, Wang Shu-hua, dieksekusi. Pejabat Partai Komunis Cina memperkirakan jumlah buruh yang terbunuh atau hilang lebih dari 5.000 orang.

Pembersihan yang sama juga dilakukan oleh sayap kanan-Kuomintang di Canton: sekitar 2.100 kaum komunis ditahan dan markas serikat buruh dirampas dan diduduki oleh pasukan Nasionalis.

Pada tanggal 18 April, secara terbuka Chiang memisahkan diri dari sayap kiri Kuomintang—yang, sebagai reaksi atas peristiwa kup tanggal 12 April di Shanghai, menegaskan kembali dukungannya pada aliansi dengan Moskow dan Partai Komunis Cina. Dia mengumumkan kedudukan pemerintahan Nasionalisnya sendiri di Nanking. Hari berikutnya, pemerintahan Wuhan, yang dipimpin oleh Wang Ching-wei, mengumumkan bahwa Chiang dipecat dari semua posnya dan dikeluarkan dari Kuomintang. Namun, pemerintahan Wuhan kekurangan sumberdaya militer untuk memperkuat langkah tersebut. Barulah sekarang disadari ketergantungannya pada komandan militer yang, harus seperti Chiang, juga memiliki tujuan untuk mempersatukan Cina nasional, namun jangan seperti Chiang yang, setelah April, 1927, memusuhi revolusi sosial.


STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA (VII)

 Reaksi Di Moscow

Respon pimpinan Komintern terhadap kup Chiang pada 12 April, 1927, malah lebih menegaskan lagi kebutuhan untuk tetap melanjutkan kebijakan mendukung Kuomintang, dan saat ini harapannya tinggal pada “Kuomintang yang revolusioner, Kuomintang tanpa Chiang Kai-shek.” (Pravda, 15 April, 1927) Bahkan, dalam rangka melawan kritikan (Oposisi di dalam CPSU) atas kebijakannya, kepemimpinan Stalinis meresponnya dengan memberikan pembenaran “teoritis” yang lebih terperinci atas kebijakan mereka.

Dua hari sebelum kup Chiang, Pravda memuat sebuah artikel dari Aleksander Martynov, pimpinan teoritikus Menshevik pada tahun 1905, yang telah dirangkul kembali oleh CPSU sejak tahun 1923 dan dipromosikan pada sekretariat ECCI untuk urusan ketimuran. Dalam artikelnya pada tanggal 10 April, Martynov secara umum menyerang Radek karena menolak segala usaha yang penting dalam perjuangan melawan imperialisme di Cina. Martynov mengklaim bahwa kaum borjuis Cina “tidak mungkin” mengkhianati kaum pekerja Cina karena “membutuhkan mereka dalam perjuangan melawan imperialism asing”, dan menyatakan bahwa pemerintahan Kuomintang sebagai “Pemerintahan yang melibatkan 4 blok kelas.” Dia berpendapat bahwa langkah mempertahankan “4 blok kelas” (borjuis-nasionalis, kaum pekerja, borjuis-kecil perkotaan dan kaum tani) merupakan kunci sukses atas revolusi demokrasi nasional di Cina.

Apa arti dari kebijakan “4 blok kelas” tersebut, dalam prakteknya, telah disinggung oleh Martynov dalam sebuah artikel yang dimuat dalam jurnal Komintern sebelumnya, awal tahun 1927. Saat melaporkan hasil-hasil dari plenum ECCI yang ke tujuh (diselenggarakan pada bulan Desember, 1926), Martynov berpendapat bahwa pada tahun 1919 “kaum borjuis industrial dan kaum borjuis terpelajar” telah mengambil inisiatif di Cina untuk melancarkan perjuangan melawan imperialisme. Komunis Cina tidak bisa begitu saja memperlakukan mereka dengan landasan kebijakan yang dituangkan pada revolusi Bolshevik pada tahun 1905. Partai Komunis Cina seharusnya “tidak mencoba menciptakan penghalang bagi tentara revolusioner yang dikomandani oleh jendral borjuis atau pemerintah nasional, bahkan sebaliknya, mendukung kerja mereka.” Melalui dukungan semacam itulah kaum Komunis dapat memastikan bahwa “pemerintah nasional akan secara konsisten mempraktekkan kebijakan yang sesuai dengan seluruh kepentingan baik buruh, petani maupun borjuis-kecil.” (dikutip dalam Carr, ibid, hal. 736)

Artikel Martynov, yang dimuat di Pravda pada tanggal 10 April, samasekali tidak keberatan terhadap kepemimpinan Stalin-Bukharin. Apalagi, hal tersebut telah mendapat persetujuan dari (imigran) pimpinan Menshevik di Paris. Pada tanggal 23 April, pemimpin Menshevik, Fyodor Dan, memberikan dukungan pada serangan Martynov atas Radek:

“Secara prinsipil”, Bolsheviks mendukung “front persatuan” revolusi Cina hingga bisa menyelesaikan tugasnya: pembebasan nasional. Pada tanggal 10 April, Martynov, di Pravda, dengan ampuh sekali—walaupun tidak dengan cara-cara keras layaknya Sosial Demokrasi—namun dengan “tata krama Menshevik”, telah menunjukkan pada Radek si Oposisi “kiri” kebenaran posisi “resmi”, yakni benar-benar tetap berpegang teguh mempertahankan posisi “blok empat kelas,” tidak mempercepat penggulingan koalisi pemerintah di mana kaum buruh dapat duduk bersisian dengan borjuis besar… (dikutip dalam Trotsky, The Chinese Revolution and the Theses of Comrade Stalin,” Leon Trotsky on China, hal. 165)

Dalam sebuah artikel yang ditulis pada tanggal 7 Mei, yang tidak boleh dipublikasikan oleh Politbiro CPSU, Trotsky menulis:

Filosopi Martynov tak berani membongkar (samapai pada kesimpulan logisnya) seluruh kesalahan Stalin dan Bukharin dalam hal kebijakan Cina, samasekali tak merasa keberatan. Walalupun hal tersebut sama dengan menginjak-injak prinsip-prinsip fundamental Marxisme. Hal tersebut sama dengan memamah biak wajah paling kasar Rusia dan Menshevisme Internasional, yang diterapkan pada revolusi Cina…

Taktik usang Menshevik dari 1905-1917, yang telah remuk diinjak-injak oleh rentetan berbagai peristiwa (tidak terbukti kebenarannya dalam berbagai kejadian), sekarang sedang ditransfer ke Cina oleh aliran pikiran Martynov, banyak kesamaannya dengan cara kapitalis memperdagangkan sampah barang dagangannya yang paling rendah mutunya, yang tak mendapat pasar di negeri induknya dan melemparkannya ke negri koloninya. Barang dagangan tersebut bahkan tidak pernah diperbaiki sebelum dikirimkan. Argumennya sama, sekadar menjiplak, persis sebagaimana 20 tahun yang lalu. Sekadar mengganti kata otokrasi dengan kata imperialisme. Sebenarnya, imperialisme Inggris berbeda dengan otokrasi. Tapi referensi Menshevik tentang imperialisme Inggris tak ada bedanya dengan referensinya mengenai otokrasi. Memang, perjuangan melawan imperialisme asing banyak kesamaannya dengan perjuangan kelas. Tapi, tentu saja, pendapat tersebut tak bisa dirasuki hantu gagasan front persatuan nasional, jauh lebih elok dari itu, dan itu dibuktikan oleh peristiwa April berdarah, sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan blok empat kelas.

“Blok-blok” semacam itu melekat dalam sejarah revolusioner maupun parlementer negeri-negeri brjuis: borjuis-borjuis besar memimpin kaum democrat borjuis-kecil—para pembual front persatuan nasional—di belakangnya dan, pada gilirannya, membingungkan kaum buruh dan menyeretnya jauh di belakang kaum borjuis. Ketika “ekor” proletar tersebut—berbeda dengan upaya para pembual borjuis kecil tersebut—mulai bergerak (terlalu) kea rah kekerasan, maka kaum borjuis meminta jendralnya untuk menindasnya. Kemudian kaum oportunis mengamatinya tanpa ada rasa bersalah dan mengatakan bahwa kaum borjuis telah “mengkhianati” kepentingan nasional. (Trotsky, ibid, hal. 165-167).

Pada sebuah pertemuan Komite Sentral CPSU, 13-16 April, 1927, keputusan Politbiro dalam masalah Cina disyahkan oleh mayoritas faksi Stalinis. Tesis oposisi, yang dirancang oleh Zinoviev, yang menyerukan untuk kembali pada kebijakan Leninis tentang gerakan pembebasan nasional di Cina—sebagaimana yang telah dirancang dalam konggres kedua dan ke empat Komintern—ditolak.


STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA (VIII)

‘Tesis April’ Stalin

Pada tanggal 21 April, 1927, Pravda mempublikasikan satu set “tesis untuk propagandis” yang, dengan cepat, dirancang Stalin, dengan pengakuan bahwa tesis tersebut telah disyahkan oleh Komite Sentral CPSU, meskipun sebenarnya tak pernah dipresentasikan pada rapat Komite Sentral yang diselenggarkan seminggu sebelumnya. Dalam tesisnya, Stalin mengakui, untuk pertamakalinya, bahwa kudeta Chiang pada bulan Maret, 1926, “merupakan usaha serius pertama kalinya yang dilakukan oleh borjuis nasional untuk mengkerangkeng revolusi.” Dalam merespon hal tersebut, Stalin berpendapat bahwa garis Komintern:

…yang diarahkan langsung untuk mendorong perkembangan revolusi lebih maju lagi, melalui kerjasama yang erat antara golongna Kiri dengan Komunis di dalam Kuomintang dan dalam pemerintah nasional, telah memperkuat persatuan di dalam Kuomintang dan, pada saat yang sama, membongkar dan mengisolasi golongan Kanan, memaksa mereka mematuhi disiplin Kuomintang, memanfaatkan golongan Kanan—yakni koneksi dan pengalaman mereka—jika mereka tunduk pada disiplin Kuomintang, atau memecat mereka dari Kuomintang jika mereka melanggar disiplin dan mengkhianati revolusi. [Stalin, Questions of the Chinese Revolution, ibid, p. 660]

“Preristiwa-peristiwa selanjutnya”, menurut Stalin, telah “sepenuhnya membuktikan kebenaran garis tersebut.”

Kudeta April yang dilakukan oleh Chiang, menurut Stalin, merupakan “tanda-tanda pengkhianatan kaum borjuis nasional terhadap revolusi” dan bahwa:

...Perkembangan revolusi telah memasuki tahap kedua, yakni telah bergerak dari suatu revolusi front persatuan seluruh-nasional—yang sedang melaju suatu revolusi yang melibatkan massa yang besar buruh dan petani—menuju seuatu revolusi agraria, yang akan memperkuat dan memperluas perjuangan melawan imperialisme, tuan tanah, bangsawan, militer, dan kelompok kontra-revolusi Chiang Kai-shek...
Dengan demikian, sesuai dengan janji utama kemenangan revolusi, yakni pertumbuhan aktivitas revolusioner massa kelas pekerja, dan mendapatkan obat-penangkal utama terhadap kontra-revolusi—yakni mempersenjatai buruh dan petani. (Stalin, ibid, hal. 662-664)

Apakah itu artinya bahwa kaum Komunis Cina harus menyerukan dibentuknya badan perwakilan soviet buruh, petani dan serdadu atau, dengan kata lain, mendirikan organ kediktatoran revolusi-demokratik kaum proletar dan petani, sebagaimana yang dianjurkan Lenin pada tahun 1905, dan juga oleh oposisi CPSU? Tidak, jawab Stalin, “karena hal itu berarti kita harus mengeluarkan slogan untuk membentuk organ kekuasaan baru,” sehingga “akan membingungkan tugas untuk mendirikan dan memperkuat organisasi massa buruh dan petani… padahal Kuomintang revolusioner telah lebih dulu menyadari tugas mendirikan sistem Sovyet sebagai sebuah tipe baru kekuasaan Negara untuk menggantikan kekuasaan Kuomintang revolusioner.” Kaum Komunis Cina harus melanjutkan “kebijakan untuk mengkonsentrasikan seluruh kekuasaan negeri ke tangan Kuomintang revolusioner, Kuomintang tanpa elemen Kanan, Kuomintang yang merupakan blok elemen Kiri Kuomintang dengan kaum Komunis.” Dalam pandangan Stalin, “Kuomintang yang revolusioner di Wuhan dalam kenyataannya akan menjadi organ kediktatoran demokrasi-revolusioner proletar dan petani (Stalin, ibid, hal. 665)

Tujuh bulan kemudian, pada konggres CPSU yang ke-15, fungsionaris Stalinis, yakni Chitarov, yang baru saja kembali dari Cina melaporkan bahwa:

Setelah kudeta Shanghai, semakin jelas bagi semua orang bahwa sebuah babak baru telah dimulai dalam revolusi Cina; bahwa kaum borjuis telah menarik mundur revolusi. Hal tersebut, sebenarnya, sudah bisa diketahui dan, dengan segera, disimpulkan. Tetapi, ada satu hal yang terlepas dari pengamatan, yakni dalam hubungannya dengan hal ini—bahwa walaupun kaum borjuis telah menarik mundur revolusi, namun pemerintahan Wuhan bahkan tak memikirkan untuk menolak kepentingan kaum borjuis. Sangat disayangkan, di kalangan kawan-kawan (Bangsa Cina) kita, hal tersebut tidak dipahami; mereka memiliki ilusi (menaruh harapan) pada pemerintahan Wuhan. Menurut pertimbangan mereka, pemerintahan Wuhan merupakan gambaran, sebuah bentuk nyata, dari kediktatoran demokratik kaum proletar dan petani. (Dikutip dalam Trotsky, Stalin and the Chinese Revolution: Facts and Documents, ibid, hal. 452)

Chitarov dengan hati-hati menghindar memberi penjelasan atas pertanyaan tentang bagaimana kaum Komunis Cina bisa mendapatkan ilusi semcam itu. Investigasi terhadap hal tersebut mungkin akan mempertaruhkan dirinya; ia sama sekali tak punya ilusi untuk
kehilangan jabatannya!

Mengomentari “Tesis April” Stalin, dalam artikelnya pada tanggal 7 Mei, Trotsky menulis:

Ekspedisi Utara hanya membuat borjuis kuat, dan melemahkan kaum buruh. Sebuah taktik (yang direncanakan) namun memberikan hasil semacam itu tentu saja merupakan taktik yang salah. “Dalam prakteknya kita mengorbankan kepentingan kaum buruh dan petani,” ujar Tan Ping-Shan. Untuk apa taktik semacam itu? Untuk mendukung blok empat kelas. Dan hasilnya? Sebuah sukses besar bagi borjuis kontra-revolusi, mengkonsolidasikan imperialisme yang sebelumnya terpecah-pecah, dan melemahkan USSR. Kebijakan kriminal. Jika tidak dihancurkan tanpa ampun, kita tidak bisa mengambil langkah maju...

Tesis tersebut, bahkan hingga sekarang, berusaha keras untuk membenarkan kebijakan yang mempersatukan kaum proletar dengan borjuis besar dalam kerangka satu organisasi, Kuomintang, yang seluruh pimpinannya berada dalam genggaman kaum borjuis. Tesis tersebut mengatakan: “Inilah cara… untuk memanfaatkan kaum Kanan—terutama koneksi dan pengalaman mereka—sejauh mereka tunduk [!] pada disiplin Kuomintang.“ Sekarang kita tahu dengan jelas bagaimana kaum borjuis tunduk pada “disiplin” dan bagaimana kaum proletar dapat memanfaatkan golongan Kanan, yakni borjuis menengah dan besar: “koneksi” mereka—adalah dengan imperialis; dan “pengalaman mereka”—dalam mengekang dan menembaki kaum buruh. Cerita tentang “memanfaatkan” tersebut ditulis dalam buku revolusi Cina dengan huruf berdarah…

Kaum buruh bukan hancur saja sekadar hancur. Tapi mereka dihancurkan oelh pimpinan mereka sendiri. Sekarang, adakah orang yang percaya bahwa massa akan mau dipimpin oleh golongan Kiri-Kuomintang dengan semangat yang sama—saat mereka sepakat sepenuhnya terhadap Kuomintang?

Dalam revolusi dengan tahap perjuangan yang baru dan lebih tinggi, massa yang merasa tertipu harus terlebih dahulu diberi inspirasi agar memiliki kepercayaan terhadap diri mereka sendiri… massa membutuhkan sebuah program yang revolusioner dan organisasi perjuangan yang tumbuh dengan usaha sendiri, serta organisasi yang, dalam berhubungan dengan massa, dapat memberikan jaminan memiliki loyalitas terhadap massa. Kekuasaa Wuhan tidak dapat memenuhinya; padahal soviet kaum buruh, petani dan serdadu membutuhkannya…

Tesis Stalin menolak slogan Sovyet dengan argumen bahwa hal tersebut akan menjadi sebuah “Slogan perjuangan melawan pemerintahan revolusioner Kuomintang”. Tetapi, dalam kasus tersebut, apakah arti dari kata-kata ini: “Prinsip penangkal-utama kontra-revolusi, yakni dengan mempersenjatai buruh dan petani?” Untuk melawan siapakah kaum buruh dan tani yang mempersenjatai diri tersebut? Bukankah untuk melawan otoritas pemerintahan revolusioner Kuomintang?

Slogan tentang mempersenjatai kaum buruh dan petani, jika hal tersebut bukan sekadar ungkapan, dalih, atau samaran, tetapi merupakan seruan untuk mempersenjatai diri, maka hal tersebut tidak kurang tajamnya karakternya dibandingkan dengan slogan Sovyet buruh dan petani...

Menyatakan pembentukan Sovyet belumlah tepat saatnya namun, di lain pihak, mengeluarkan slogan untuk mempersenjatai buruh dan tani, hanya akan menyebabkan kebingungan. Hanya Sovyet yang, pada perkembangannya yang lebih jauh (dalam revolusi), dapat menjadi organisasi yang mampu secara sungguh-sungguh memimpin kaum buruh bersenjata dan mengarahkan massa bersenjata tersebut.

…hanya karena karena sekarang terdapat sejumlah organisasi kiri-Kuomintang di Wuhan… maka tesis tersebut memberikan kesimpulan: pembentukan Sovyet berarti tindakan untuk melancarkan insureksi melawan golongan kiri-Kuomintang, “karena, seakrang ini, tidak ada otoritas pemerintahan di wilayah ini selain Kuomintang revolusioner.”
Kata-kata tersebut akan membusuk bersamaan dengan watak aparatus birokrasi otoritas revolusioner. Pemerintahan tidak dipandang sebagai cerminan dan konsolidasi perkembangan perjuangan kelas, tetapi sekadar ekspresi pemenuhan-diri dan kehendak Kuomintang. Kelas-kelas datang dan pergi tapi kontinuitas Kuomintang tetap untuk selamanya. Tetapi belumlah memenuhi syarat sepenuhnya untuk menyebut Wuhan sebagai pusat revolusi atau untuk sungguh-sungguh seperti itu...

Sebuah Kuomintang yang revolusioner belumlah terbentuk. Kita sedang membantu kaum Komunis yang bekerja di dalam Kuomintang dan, dengan sabar, menarik kaum buruh dan petani agar berada di sisinya. Partai komunis bisa menarik kaum peti-borjuis menjadi sekutunya, bukan dengan melemahkan diri seperti saat bersama Kuomintang, atau dengan menggambarkan kebimbangan di hadapan semua orang, tetapi jika partai menampilkan diri di hadapan kaum buruh secara terbuka dan langsung, dengan menggunakan nama sendiri, di bawah bendera sendiri, mengorganisir mereka agar mengikutinya, menunjukkan pada Kuomintang contoh serta bukti seperti apakah partai yang mengabdi pada massa itu, mendukung setiap langkah maju Kuomintang, tanpa belas kasihan membongkar setiap kebimbangan dan setiap langkah mundur, serta menciptakan landasan revolusioner yang sejati saat membentuk blok bersama Kuomintang dalam bentuk sovyet buruh, petani dan serdadu. (Trotsky, The Chinese Revolution and the Theses of Comrade Stalin, ibid, hal. 167-183)

Dua hari sesudah Trotsky menulis artikel tersebut, Koran Menshevik di Paris Sotsialistichesky Vestnik mengekspresikan rasa solidaritasnya pada posisi Stalin, dengan pernyataan:

Jika kita harus menggarisibawahi segepok kata-kata yang wajib ditelaah dalam tesis dari seorang pemimpin komunis ini, maka hanya sedikit sekali esensi “garis” kebijakan yang dapat ditentang. Perbanyaklah kemungkinan untuk tetap bertahan dalam Kuomintang, dan upayakan agar dapat tetap melekat pada sayap Kiri pemerintahan Wuhan, hingga ke momen akhir yang paling memungkinkan… apa yang sesungguhnya lebih bijaksana bagi Bolshevik sekarang ini, setelah “front persatuan” secara nyata telah dirusak tanpa dapat diperbaiki lagi.

Namun, bertentangan dengan dukungan mereka terhadap kebijakan Stalin, Menshevik menyatakan bahwa “garis dari Radek, yang diselebungi oleh slogan ekstrim “kiri”—menarik diri dari Kuomintang, ‘propaganda system sovyet’, dan lain ebagainya—cukup menggiurkan ketimbang realitas menyerah ke dalam permainan tersebut (tetap berada dalam Komintang) dan melangkah mundur…. (Dikutip dalam Trotsky, ibid, hal. 196-197)


 STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA (IX)

Partai Komunis Cina dan Pemerintahan Wuhan

Konggres ke-5 Partai Komunis Cina dibuka di Wuhan pada tanggal 27 April dan berlanjut hingga 9 Mei, 1927. Chen Duxui melaporkan bahwa kini partai memiliki anggota sebanyak 57.987 anggota, yang terdiri dari 53,7% kaum buruh, sebanyak 18,7 % kaum petani, dan sebanyak 19.1% kaum terpelajar. Keanggotaan Liga Pemuda Komunis tercatat sekitar 35.000 anggota. Sebagai tambahan, Kaum komunis memimpin sebuah serikat buruh yang beranggotakan sekitar 2.8 juta orang dan serikat petani dengan anggota sebanyak 9.27 juta anggota. Jumlah yang optimis ini, bagaimanapun juga, memiliki cacat dengan adanya fakta bahwa—seperti yang diungkapkan oleh Zinoviev dalam tesisnya yang dipresentasikan pada rapat Komite Sentral CPSU di bulan April:

Dalam agitasi mereka di kalangan massa yang terbuka, kaum komunis tidak pernah atau hampir tidak pernah, muncul dengan nama partai mereka sendiri tetapi di bawah nama Kuomintang. Dengan sikap tersebut, partai kaum Komunis seringkali mulai kehilangan kontak dengan massa. Walaupun cakupan wilayah (perisitwa-peristiwa) nya sangat luas sekali, Partai Komunis tak menerbitkan Koran harian hingga saat ini atau, secara umum, setidaknya terbitan Bolshevik yang sirkulasinya luas, padahal mereka memiliki seseorang mentri dalam pemerintahan Nasionalis. (Lampiran pada Trotsky, Problems of the Chinese Revolution, hal. 283)

Nyatanya, sirkulasi jurnal mingguan Partai Komunis Cina hanya sekitar 50.000 ekslemplar.
Penambahan keanggotaan partai yang spektakuler—meningkat dari hanya sekitar 980 anggota, pada konggres partai yang ke-4 (dalam bulan Januari, 1925)—sebenarnya bisa saja tidak terpengaruh oleh peristiwa pembantaian organisasi Shanghai. Dan takdir yang sama bisa terjadi kembali di kota besar lainnya yang berada di bawah kontrol Chiang Kai-shek.

Dalam laporannya pada konggres Partai Komunis Cina, Chen mengulas kembali sejarah partai, mengekspresikan keraguannya pada garis yang diputuskan sejak kudeta Chiang pada tanggal 20 Maret, 1926. Dia mengakui bahwa pemerintahan Wuhan, yang 2 orang menterinya merupakan anggota komunis namun “masih belum menjadi pemerintahan massa buruh-tani melainkan hanya sebuah blok para pimpinan”, karena itu tugas selanjutnya yang dihadapi Partai Komunis Cina adalah “membangun sebuah pemerintahan demokratik dan revolusioner yang sejati.” Namun demikian, dalam rangka mempertahankan kebijakan Komintern—yang menuntut konsentrasi “Seluruh kekuatan yang ada di negri ini berada di tangan Kuomintang yang revolusioner, Kuomintang tanpa elemen Kanan, Kuomintang yang merupakan blok elemen Kiri Kuomintang dengan Komunis”, agar dapat mengalahkan tuan tanah dan imperialisme—maka Chen dipaksa untuk menangguhkan tugas tersebut hingga “situasi di lingkungan pemerintahan nasional berubah, dan ancaman campurtangan asing serta serangan militer menghilang.” (Dikutip dalam Trotsky, 17 Mei, catatan untuk The Chinese Revolution and the Theses of Comrade Stalin, Leon Trotsky on China, hal. 192-193)

Posisi kontradiktif yang sama juga diputuskan oleh konggres Partai Komunis Cina terhadap reformasi agrarian. Gerakan petani, demikian laporan Chen, “telah ditransformasikan menjadi perjuangan untuk mendapatkan tanah. Kaum petani bangkit secara spontan dan ingin melakukan gugatan atas tanah dengan menggunakan kekuatan sendiri.” Walaupun Chen mengakui bahwa Partai Komunis Cina terlalu mengambil “kebijakan yang terlalu cinta damai, anti-konflik” dalam memandang perjuangan kelas di pedesaan—padahal “sekarang ini sangat penting untuk menyita perkebunan yang lebih besar,”—namun Chen kembali patuh pada kebijakan Komintern yang mensubordinasikan segalanya demi penyatuan Cina di bawah sebuah pemerintahan Kuomintang yang “revolusioner”:

Meskipun demikian, sangatlah dibutuhkan kesabaran menunggu perkembangan lebih jauh operasi militer yang akan menyita perkebunan yang lebih besar. Satu-satunya keputusan yang benar pada saat ini adalah prinsip memperdalam revolusi sesudah memperluasnya (Dikutip dalam Carr, ibid, hal. 792)

Selama mendiskusikan laporan Chen, perwakilan Komintern, M. N. Roy—yang telah bekerjasama dengan Lenin dalam mempersiapkan kebijakan gerakan revolusi-nasional untuk konggres Komintern ke-2—berpendapat bahwa kesalahan Partai Komunis Cina di masa lalu “dikarenakan terlalu memandang besar borjuis” dan gagal mengembangkan “energi kelas pekerja sebagai kekuatan yang independen.” Dalam pidatonya, ia mengemukakan lima poin yang bisa merubah secara revolusioner kebijakan Partai Komunis Cina, yakni: revolusi agraria, mempersenjatai kaum tani, pemerintah otonom di desa, Negara denganlandasan kediktatoran revolusioner buruh-tani, dan “membentuk tentara revolusi, bukan dengan cara merubah tentara reguler menjadi revolusioner, melainkan dengan mengorganisir tentara revolusioner pada sebuah basis sosial.” Hari berikutnya dia ditegur oleh menteri pertanian pemerintahan Wuhan yang berasal dari Partai Komunis Cina, dengan alasan bahwa kebijakan agrarian dapat diserahkan pada Kuomintang.

Walaupun Roy memberikan jaminan pada Wang Ching-wei dan pimpinan Kuomintang lainnya yang menghadiri konggres Partai Komunis Cina bahwa Komintern akan “Berkolaborasi dengan Kuomintang sampai kemenangan terakhir,” namun pidatonya benar-benar kan membangkitkan kecurigaan atas maksud kaum komunis.

Konggres diakhiri dengan mengangkat kembali Chen sebagai sekretaris jendral dan anggota politbiro ,yang beranggotakan Chen, Chu Chiu-pai, Li Lisan dan Chou En-lai.
Kolaborasi antara elemen Kiri Kuomintang dengan Partai Komunis Cina segera mendapat ujian yang keras. Pada tanggal 19 Mei, Komite Sentral Kuomintang mengeluarkan suatu peringatan kepada organisasi buruh dan tani untuk menghindari “perilaku yang tidak disiplin” dan “tuntutan yang berlebihan.” Dua hari kemudian, terjadi pertempuran di Changsa, ibukota dari provinsi Hunan, antara organisasi petani militan dengan pasukan militer lokal. Komandan tentara lokal Kuomintang, meniru taktik Chiang Kai-shek di Shanghai, meminta agar pasukannya melakukan penyembelihan secara sistematis atas kaum komunis, orang yang diduga komunis dan pimpinan petani. Pemerintahan Wuhan, meskipun diminta oleh Partai Komunis Cina untuk ikut campur, tidak melakukan apapun untuk memeriksa beberapa banyak penindasan yang dilakukan oleh komandan lokalnya, baik yang di Hunan maupun di Hupei, yang telah mengakui bahwa mereka telah membunuh sekitar 20.000 petani.

Pada satu pertemuan politbiro Partai Komunis Cina, Chen memperingatkan: “Kuomintang Wuhan telah mengikuti jejak Chiang Kai-shek! Jika kita tidak merubah kebijakan kita, kita juga akan berakhir dengan nasib yang sama… Hanya ada dua jalan yang ada di depan kita: menyerahkan pimpinan kekuasaan atau memutuskan hubungan dengan mereka.” Sekali lagi Chen mengusulkan agar Partai Komunis Cina mengundurkan diri dari Kuomintang. Usulannya didukung oleh Roy, yang menyimpulkan bahwa Komite Sentral Kuomintang telah berubah “menjadi kontra revolusi.” Li Lisan memprotes hal tersebut dengan mengatakan bahwa ucapan tersebut adalah sama seperti “mengirimkan sebuah peti jenasah kepada Partai Komunis Cina!” Chu Chiu-pai membantah dengan mengatakan bahwa: “Kita harus membiarkan Kuomintang mengusir kita; kita tidak boleh mengusir diri kita sendiri.” Chou Enlai yang, seperti kebiasaannya, menghindar berada pada sisi yang berseberangan, menyatakan: “Bila kita mengundurkan diri dari Kuomintang, gerakan buruh dan petani akan terbebaskan, namun gerakan militer akan banyak menderita kerugian.” Karena tak mampu memecahkan persoalan tersebut, Chen melakukan konsultasi dengan kepala perwakilan Komintern, Mikhail Borodin, yang mengatakan: “Saya setuju dengan ide-mu, tetapi saya tahu bahwa Moskow tidak akan pernah mengijinkan hal tersebut.” (Dikutip dalam Chen Tu-Hsiu, Appeal to all Comrades of the Chinese Communist Party, catatan untuk Leon Trotsky on China, hal. 604)

 STALINISME, MAOISME DAN REVOLUSI CINA (X)

Menegaskan kembali garis ‘blok empat kelas’

Kesimpulan Borodin diperkuat oleh hasil plenum ECCI ke-8, yang diselenggarakan pada tanggal 18-30 Mei, 1927. Bukharin menyuguhkan sebuah rancangan resolusi tentang Cina, yang menyebutkan bahwa:

…Menurut pengamatan ECCI seluruh peristiwa yang terjadi sepenuhnya membenarkan prediksi pleno (diperluas) yan ke-7, yakni bahwa kaum borjuis akan berkhianat terhadap front persatuan nasional-revolusioner dan beralih menjadi kontra-revolusi. (Degras, ibid, p. 384)

Trotsky mengejek pleno yang berusaha menutup-nutupi kebijakan kepemimpinan Stalin-Bukharin:

Para pekerja Shanghai dan (Wuhan) sudah pasti akan terkejut saat mengetahui bahwa peristiwa bulan April berkembang sesuai dengan derap garis sejarah yang telah dirancang oleh Kamrad Bukharin sebelumnya dalam melihat revolusi Cina. Bisakah seseorang membayangkan sebuah karikatur yang sangat jahat dan sikap sok ilmiah yang paling bodoh? Pelopor kaum proletar Cina dihancurkan oleh kaum borjuis “nasional” yang, padahal, sama-sama duduk bersama dalam kepemimpinan partai Kuomintang, mengsubordinasikan Partai Komunis dalam segala keputusan penting tentang displin organisasi partai bersama. Setelah perebutan kekuasaan oleh kontra-revolusi, yang mengagetkan kaum pekerja dan mayoritas kelas pekerja di seluruh dunia, bagaikan peristiwa yang tak terduga, resolusinya malah mengatakan: semuanya sesuai dengan garis yang terbaik yang diramalkan Bukharin (Trotsky, First Speech on the Chinese Question, ibid, hal. 222-223)

Trotsky melanjutkannya dengan meng-eja-kan perbedaan esensial antara kebijakan Lenin terhadap kaum borjuis kolonial dengan garis Stalin-Bukharin:

Mengatakan bahwa kaum borjuis harus memisahkan diri dari revolusi nasional adalah satu hal yang terpisah; namun mengatakan bahwa kaum borjuis harus mengambil kepemimpinan revolusi dan kepemimpinan atas kaum proletar, mengkhianati kelas pekerja kemudian melucuti senatanya, dan menghancurkannya hingga berdarah-darah dan mati, merupakan hal yang berbeda. Keseluruhan filosofi resolusi Bukharin, bisa ditemukan dalam identitas kedua ramalannya. Namun itu artinya ia merupakan orang yang tidak bisa membedakan antara perspektif Bolshevik dengan perspektif Menshevik…

Karena memang ada kemungkinan pengkhianatan borjuis (yang memang selayaknya), kebijakan Bolshevik dalam revolusi borjuis diarahkan langsung untuk menciptakan sebuah organisasi proletar yang independen sesegera mungkin, yang bisa bersiaga sekuat mungkin atas pengkhianatan borjuis, yang dapat merangkul massa seluas-luasnya (dan sesegera mungkin) serta mempersenjatai mereka, guna membantu kebangkitan revolusioner massa petani dalam arti segalanya. Namun, kebijakan Menshevik sangatlah berbeda: walaupun sadar atas kemungkinan pengkhianatan kaum borjuis, namun Menshevik menunda saat-saat (yang paling menguntungkan) selama mungkin, dengan mengorbankan independensi organisasi proletar, menanamkan kepercayaan pada kaum pekerja atas peran progresif kaum borjuis, dan mengkhotbahinya tentang kebutuhan akan pengekangan diri secara politik...

Ya, saat-saat pengkhianatan kaum borjuis mungkin bisa ditangguhkan. Tetapi penangguhan tersebut dimanfaatkan oleh kaum borjuis untuk melawan kaum proletar; Dengan demikian bisa merebut kepemimpinan atas kaum proletar, mengambil keuntungan social yang sangat besar, mempersenjatai pasukan yang loyal, mencegah dipersenjatainya kaum proletar, secara politik maupun militer dan, setelah semua itu diperolehnya, maka mereka akan mengorganisir pembantaian kontra-revolusi pada pertarungan pertama yang begitu serius...
Untuk mencegah pengkhiantan kaum borjuis, yang akan menjadi menjadi perusak kaum proletar, teori blok empat kelas yang sangat menyedihkan itu seharusnya dicela sejak dari awal, yakni sebagai pengkhianatan teori dan politik terhadap revolusi Cina. Apakah hal tersebut dilakukan? Tidak, justru kebalikannya. (Trotsky, ibid, hal. 223-225)

Resolusi Bukharin memaklumkan bahwa, sejak kudeta Chiang pada bulan April, 1927, revolusi Cina telah memasuki satu “tahap yang baru”—yang memiliki karakter “revolusi agraria, termasuk pengambilalihan dan nasionalisasi tanah.” Partai Komunis Cina diinstruksikan untuk “Menempatkan diri mereka di depan dan memimpin gerakan tersebut.” Bagaimana tepatnya hal tersebut bisa dikerjakan, disebutkan di dalam resolusi tersebut sebagai berikut:

Pada tahap sekarang, hal tersebut hanya bisa dilakukan dengan mentransformasikan pemerintahan (Wuhan) sekarang ini ke dalam pusat politik revolusi pekerja dan petani, serta ke dalam organ revolusioner kediktatoran demokratik proletar dan petani.
Perekrutan pekerja secara energik ke dalam partai (Komunis), baik di kota maupun di desa, juga rekrutmen buruh ke dalam Kuomintang… adalah tugas utama Partai Komunis Cina pada saat ini…

Pemikiran tersebutlah yang melandasi ECCI secara tegas menolak tuntutan untuk keluar dari Kuomintang… Di Cina, Kuomintang merupakan suatu bentuk spesifik organisasi bangsa Cina di mana kaum proletar bekerjasama dengan borjuis-kecil dan kaum tani…

ECCI tidak membenarkan pandangan bahwa yang merendahkan (menganggap remeh) pemerintahan Wuhan dan, dalam praktek, menolak kekuatan peran revolusioner-nya. Pemerintahan Wuhan dan pimpinan elemen kiri Kuomintang asal kelasnya mewakili bukan saja pekerja, petani, dan pengrajin, namun juga dari borjuis menengah. Oleh karena itu, elemen kiri Kuomintang dalam pemerintahan Wuhan bukanlah suatu kediktatoran proletar dan petani, tetapi sedang bergerak menuju kediktatoran semacam itu...

Menurut pertimbangan ECCI, saat ini sangatlah tidak tepat untuk memajukan slogan tentang soviet perwakila buruh dan tani… memajukan slogan mengajukan slogan untuk dengan segera membentuk soviet perwakilan buruh, tani, dan tentara, pada perkembangan revolusi Cina sekarang ini, karena akan (tak terhindarkan lagi) mengakibatkan adanya kekuasaan ganda, sehingga salah satunya (yakni pemerintahan Wuhan) harus digulingkan, mengabaikan bentuk-bentuk organisasi layaknya Koumintang, dan langsung mengorganisir massa serta kekuasaan Negara menjadi rejim soviet di Cina sebagai bentuk Negara kediktatoran proletartiat. (Degras, ibid, hal. 385-390)

Dengan demikian, strategi membentuk sebuah pemerintahan “blok empat kelas”, sebagai jalan menuju terbentuknya pemerintahan revolusioner buruh dan petani—sebagaimana diucapkan dengan sangat jelas oleh Martynov pada bulan April, 1927—secara formal dijadikan sebagai kebijakan Komintern yang resmi di Cina. Pembentukan soviet perwakilan pekerja, petani dan tentara secara tegas digariskan dengan landasan bahwa bahwa soviet tersebut akan menjadi organ revolusioner yang akan “menggulingkan pemerintahan Wuhan” demi menegakkan “kediktatoran proletar.” Namun, hal tersebut tetap tidak menjelaskan seperti apakah organ pemerintahan buruh dan tani di masa yang akan datang (kediktatoran demokratik revolusioner proletar dan petani). Tidakkah, pada tahun 1905, Lenin telah menyebutkan bawah organ “kediktatoran demokratik revolusioner proletar dan petani” lah yang dibutuhkan untuk mengemban revolusi demokratik borjuis.

Dalam sebuah surat kepada politbiro CPSU, pada tanggal 16 April, Trotsky secara mengajukan pertanyaan yang mengganggu ini:

Kawan Stalin saat ini menentang seruan yang mengajurkan agar pekerja Cina dan massa tertindas umumnya membentuk soviet…

Ini yang menjadi alasan kawan Stalin: “Soviet merupakan organ yang sangat penting untuk merebut kekuasaan; seruan untuk membentuk soviet dapat juga diartikan bahwa perjuangan akan diarahkan menuju kediktatoran proletar, atau Cina Oktober (layaknya revolusi Oktober di Rusia).” Lantas, mengapa kita menggunakan soviet di tahun 1905? “Kita sedang berjuang melawan Tsarisme,” Jawab Stalin. “Tak ada perjuangan melawan Tsarisme di Cina. Karena kita tidak sedang bergerak kea rah revolusi Oktober (di Cina), maka selayaknyalah kita tidak perlu membentuk soviet.”

…dalam menentang Tsar diperbolehkan membentuk soviet, namun belum diarahkan menuju kediktatoran proletar. Mengapa, lalu, apakah kemudian tidak diizinkan, dengan alat soviet tersebut, memerangi blok militer, komprador, tuan tanah dan imperialis asing di Cina, tanpa dengan segera membentuk sebuah kediktatoran proletarian? Mengapa?

Jika seseorang berpikir, layaknya Stalin (dan masih berpikiran seperti itu?), bahwa penyatuan Cina harus dilakukan dengan dipimpin oleh borjuis Kuomintang padahal, bila menggunakan organisasi Kuomintang, membuat Partai Komunis mengsubordinasikan dirinya, menghilangkan independensi partai komunis yang paling mendasar (bahkan juga independensi persnya), dan memerintah teritori yang telah dikuasainya dengan cara birokrasi reaksioner—jika hal tersebut disebut sebagai revolusi nasional maka, tentu saja, tak ada tempat bagi sovyet…

Stalin membayangkan bahwa pertama, borjuis, dengan dukungan massa yang (dengan sengaja) tidak diorganisir untuk revolusi (karena memang tidak diorganisir untuk revolusi, maka mereka tidak akan mulai mendukungnya) harus diarahkan untuk menuntaskan perjuangan melawan imperialisme, lalu kita akan memulai persiapan untuk mendirikan soviet. Gagasan tersebut salah sampai ke akarnya! Seluruh persoalannya adalah bagaimana perjuangan melawan imperialisme dan kaum reaksioner bisa dilancarkan di Cina, dan siapa yang akan memimpin perjuangan perjuangan tersebut? Adalah memungkinkan mendorongnya ke arah kediktatoran demokratik buruh-ani hanya dengan landasan perjuangan melawan imperialisme yang tak terpatahkan, yang bisa berlangsung lama dan berlarut-larut; bila hendak memiliki pengaruh terhadap buruh dan tani, maka landasannya hanya perjuangan melawan borjuis-nasional liberal; dan hanya dengan landasan organisasi massa buruh serta tani yang, bukan saja diarahkan untuk melawan imperialisme, tapi juga melawan borjuis Cina. Bentuk organisasi tersebut hanyalah Sovyet.

Menyerukan dan memulai pengorganisiran sovyet sebenarnya juga berarti mulai memperkenalkan pada Cina elemen kekuasaan ganda. Keduanya perlu dan sehat. Apalagi hal tersebut akan membuka prospek lebih jauh menuju kediktatoran demokratik revolusioner proletar dan petani. Tanpa itu, semua pembicaraan tentang kediktatoran hanya sekadar obrolan tak berguna…

Bahwa revolusi Cina pada tahap ini adalah revolusi demokrasi-nasional, yakni revolusi borjuis, adalah pelajaran dasar yang sudah sama-sama kita ketahui. Politik kita, bagaimanapun juga, tidak sekadar mengalir dari revolusi yang berlabel borjuis, tapi dari perkembangan nyata relasi kelas dalam revolusi tersebut. Berangkat dari konsep lama Menshevik, Kawan Martynov telah menyatakannya secara terang dan jelas: karena revolusi borjuisnya adalah anti-imperialis, maka satu bagian pun dari borjuis Cina, yang kepentingannya adalah menggulingkan imperialisme, tidak boleh beranjak dari revolusi (borjuis) tersebut. Chiang Kai-shek menjawab anjuran Martynov tersebut dengan melakukan perjanjian bersama imperialis dan menghancurkan kaum proletar Shanghai. Itulah tepatnya yang menyebabkan kawan Stalin tersesat, karena seluruh definisinya tentang revolusi berwatak non proletar dan borjuis yang mengarah pada kesimpulan bahwa, dengan demikian, sovyet tidak dibutuhkan. Dia ingin mengganti arah (actual) perjuangan kelas menjadi jadwal waktu bagi kelas-kelas. Namun jadwal tersebut diperoleh dengan cara (secara formal) mendefinisikan revolusi sebagai revolusi borjuis. Posisi tersebut samasekali salah, bertentangan dengan apa yang telah diajarkan Lenin. [Trotsky, On the Slogan of Soviets in China, ibid, hal. 149-156]
Untuk menanggapi pertanyaan yang dimunculkan oleh oposisi CPSU, Stalin, pada pidatonya dalam pleno ECCI, Mei 1927, menyatakan:

Karena Cina sedang menjalani revolusi agraria, karena kemenangan revolusi borjuis-demokratik, kemenangan kediktatoran revolusioner proletar dan petani, dan karena Nanking menjadi pusat dari kontra-revolusi nasional dan Wuhan menjadi pusat gerakan revolusioner di Cina, Kuomintang Wuhan harus didukung dan golongan Komunis harus berpartisipasi dalam Kuomintang tersebut dan pemerintah revolusionernya...

Pada tahun 1905, bisa saja tidak pernah ada soviet di Russia kalau saja pada saat itu sudah ada organisasi massa yang besar di Russia (yang mirip dengan Kuomintang Kiri di Cina sekarang ini). Tetapi tidak ada organisasi semacam itu yang dapat tumbuh di Russia pada saat itu, karena tidak ada elemen penindasan nasional di kalangan pekerja dan petani Russia; Russia sendiri menindas negeri lain, dan organisasi seperti Kuomintang Kiri bisa tumbuh hanya ketika terdapat penindasan nasional oleh imperialis asing, yang akan menarik elemen-elemen revolusioner dari seluruh negeri secara bersama ke dalam satu organisasi yang besar.

Seseorang pasti telah buta jika menyangkal peran Kuomintang Kiri sebagai sebuah organ perjuangan revolusioner, sebuah organ revolusi untuk melawan kaum feodal (yang masih bertahan) dan imperialisme di Cina.
Tetapi apa runtunannya setelah ini?

Runtunannya adalah bahwa Kuomintang Kiri (di Cina) harus menunjukkan peran yang kurang lebih sama dengan peran Sovyet (di Rusia) dalam revolusi borjuis-demokratik. [Stalin, The Revolution in China and the Tasks of the Comintern, ibid, hal. 707, 715]


Bookmark and Share
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekologi [merah] - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger