Namaku Surti - ekologi [merah]
Headlines News :
Home » » Namaku Surti

Namaku Surti

Written By ekologi [merah] on 9.04.2009 | Jumat, September 04, 2009

KOMPAS, OASE, Jumat, 31 Juli 2009 | 14:39 WIB

Cerpen Dian Septi Trisnanti

Namaku Surti. Surti, itu saja. Nama lengkapku ya, Surti, sampai ketika aku nikah dengan mas Joko Susilo. Ya, hari ini nama lengkapku menjadi Surti Susilo atau bisa juga dipanggil Ny. Susilo. Aneh, namaku menjadi Ny. Susilo, ke mana perginya Surti?
Namaku Surti, usiaku 16 th. Mungkin bagi kalian, usiaku masih terlalu dini untuk menikah, tapi di kampungku, di pelosok kota Jogja, usiaku merupakan usia yang sudah pantas untuk membentuk keluarga. Kata ibuku, sebagai anak perempuan, aku harus segera mempunyai suami sehingga hidupku terjamin, sampai nantinya aku akan melahirkan seorang anak untuknya, meneruskan keturunan keluarga besar Susilo, tuan tanah di desaku.

Ibuku bilang aku adalah orang paling beruntung di desa karena dipersunting oleh orang kaya lagi terhormat. Di pikiranku terbayang sebuah pernikahan yang bahagia, suatu babak hidup yang baru, lembaran baru dan keluarga baru, keluarga besar Susilo. Malam ini, malam pertamaku, malam pernikahanku. Malam ini pula, aku menunggu suamiku membuka pintu kamarku yang sampai sekarang masih tertutup. Beberapa saat kemudian, bunyi pintu kamar yang terkuak menggugah lamunanku. Malam ini, malam pertamaku, malam pernikahanku, kulihat sosok lelaki merengkuhku, merenggut kesucianku yang memang kusediakan untuknya, suamiku.

Namaku Surti, ah bukan, Ny. Susilo. Kemanakah Surti? tiba-tiba aku harus menyandang nama lain yang asing sama sekali bagiku. Kata Ibuku, nama itu cocok kusandang. Namaku Ny. Susilo, usiaku sekarang 21 tahun dan aku belum melahirkan seorang anakpun bagi suamiku. Aku melihat ibu mertuaku sering menatap tajam ke arahku, mulutnya nyinyir, mengeluarkan kotoran kemana ia suka, mengeluarkan bau busuk dimanapun ia berada, di ruang tamu, di dapur, di kamar, di WC, bahkan di rumah tetangga. Bau busuk, hanya itulah yang keluar dari mulutnya dan aku tetap diam, begitu juga suamiku. Suamiku bahkan mulai jarang pulang, bukan aku tidak tahu, kemana ia pergi. Ke kompleks pelacuran, itulah tempat yang paling ia suka.

Kompleks pelacuran? Sejak kapan suamiku punya hobi pergi ke kompleks pelacuran? Setahun yang lalu? dua tahun lalu? Tiga tahun lalu? Empat tahun lalu? Lima tahun lalu? Atau sebelum itu? Anehnya, baik ibu mertuaku atau orang tuaku malah menyalahkan aku. Bagaimana dengan Ayah mertuaku ? lupakanlah, ia sudah mati jauh sebelum aku menikah dengan anaknya. Intinya, akulah yang tidak becus meladeni suami, sehingga suamiku lari ke pelukan pelacur itu. Apa lagi, aku mandul, itulah yang dibilang ibu mertuaku, bau busuk yang ia sebarkan hampir di setiap sudut desa ini. Percayalah, aku tidak mandul, tapi aku sungguh tidak tahu mengapa aku tak kunjung hamil juga. Anehnya, suamiku sama sekali tidak memusingkan hal ini, bukankah keturunan adalah hal yang paling penting dalam hidup manusia? Malam itu suamiku baru saja pulang, entah dari mana, aku pura-pura tidur ketika ia membuka pintu kamar.
“Kau sudah tidur?”

Suamiku menyapaku! Hatiku bahagia sekali, sampai tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Aku membalikkan tubuhku, kutatap matanya dalam-dalam.
“Belum mas” Jawabku. “Mas dari mana?”
Sungguh pertanyaan yang paling konyol yang pernah kuucapkan. Bukankah aku tahu ia baru kembali dari pelukan pelacur itu ?
“Kau tak perlu tahu, yang penting kau harus berpikir bagaimana bisa melahirkan seorang anak untukku!”

Jantungku berdesir, sakit sekali seperti ditusuk dengan ribuan paku, bukan, lebih dari ribuan paku. Aku membenamkan kepalaku dalam bantal, menangis tanpa suara, suara yang tak pernah kumiliki walau sekedar untuk mengeluarkan isi otakku. Aku tak pernah mempunyai suara. Selanjutnya, hari-hariku seperti neraka saja, seluruh penduduk desa bergunjing tentang aku, bahwa aku mandul, perempuan yang tidak sempurna. Aku juga melihat pelacur itu selalu ceria, senyumnya membuat hatiku semakin terluka, seperti disayat sembilu. Pelacur itulah, yang tidur dengan suamiku setiap malam, setiap malam sebelum suamiku menjamah tubuhku. Ia membayar pelacur itu tiap malamnya, sedangkan aku harus melayaninya seumur hidupku tanpa bayaran, kecuali makian yang kudapat dari ibunya dan suamiku sendiri. Inikah hidup baru yang dulu aku bayangkan? Yang kuimpikan dan kuidamkan? TIDAK dan tentu saja aku takkan tinggal diam, karena aku adalah Surti.

“Dasar pelacur!” Teriakku pada perempuan yang sekarang berdiri di depanku. Hari itu aku tak bisa menahan diri untuk menemui perempuan itu di kompleks pelacuran.
“Pelacur? Yah tentu saja aku pelacur dan asal kau tahu Ny. Susilo, aku bangga dengan profesiku."
Mukaku memerah karena marah. Kuremas tanganku, ingin rasanya kutempeleng wajahnya.
“Kau telah merebut suamiku, kau memang perempuan murahan!”
“Merebut? Suamimu sendiri yang datang padaku dan melayaninya adalah tugasku. Kau salah alamat Ny. Susilo, kau harusnya mendamparat suamimu karena ia tidak setia, bukan kepadaku!”
“Plak!”
Aku menampar wajah perempuan itu, amarah tergambar jelas di wajahku. Namun aku sungguh tak menyangka ia membalas tamparanku, bahkan lebih keras dari tamparanku.
“Aku memang pelacur, tapi takkan kubiarkan satu orangpun melecehkan harga diriku”
Aku tertawa keras, berani sekali pelacur ini ngomong soal harga diri.
“Kau pikir kau lebih berharga dari aku, Nyonya? Katakan padaku apakah suamimu menghargaimu?”

Aku tediam, tiba-tiba saja aku tak punya lagi kata-kata. Aku sudah kalah dan aku pergi dari pelacur itu dengan kekalahan. Ya, kekalahan telak seorang istri tuan tanah yang terhormat. Air mataku mengalir deras, sesaat aku berpikir apakah gunanya aku hidup. Toh aku bukan istri sempurna. Malam itu aku menunggu suamiku pulang, kali ini aku tidak berpura-pura tidur, tak kupejamkan mataku walaupun sejenak. Akhirnya suamiku pulang, kuhirup bau bandannya, bau parfum pelacur itu.
“Kau baru dari pelacur itu?” Tanyaku dan aku sangat terkejut dengan keberanianku menanyakan hal itu padanya.
“Iya.”

Hatiku luluh lantak mendengar jawaban yang jujur itu, aku berharap ia berbohong, sungguh aku ingin kebohongan yang manis walau beracun.
“Kau mengkhianati aku, mas.”
“Aku mencintai Widuri.”
Sungguh, aku berharap apa yang diucapkannya barusan adalah kebohongan tapi aku melihat kejujuran di mata itu.
“Aku menikahimu untuk melahirkan anak-anakku, tapi kau tak kunjung hamil juga.”
“Aku baru saja berpikir apa kau pantas menjadi ayah dari anakku kelak!”
Mata itu menatapku terkejut, akhirnya aku bersuara, akhirnya suaraku berguna juga.
“Lancang!” Teriak suamiku sambil menempeleng aku, darah segar keluar dari sudut bibirku. Aku tidak menangis, tidak, aku bersumpah takkan ada lagi setetes air matapun untuknya. Suamiku beranjak pergi dari kamarku, malam itu ia tidak kembali.

Lelaki itu sedang duduk di ruang tamu dan menatapku penuh senyum, menyapaku penuh kerinduan. Andi adalah teman sepermainanku sejak kecil, terakhir aku bertemu dengannya adalah di hari pernikahanku.
“Gimana kabarmu Ti?”
“Baik, mas sendiri?” kataku balas bertanya
“Aku jadi buruh di Jakarta, hidup di Jakarta ternyata sulit Ti”
“Namanya juga kota besar mas”
“Aku kembali ke sini justru karena aku dipecat, situasi pabrik kacau, sebagian besar buruh dipecat dengan alasan kesulitan keuangan, kami para buruh menggalang aksi mogok sampai berhari-hari karena nasib kami nggak jelas. Eh, pemilik perusahaan malah minggat entah kemana.”

Aku tertegun sesaat, jadi buruh ternyata tak lebih baik dari pada jadi petani.
“Kami, para buruh ditelantarkan begitu aja, pemerintah juga tidak melakukan tindakan apapun terhadap nasib kami."
“Sudahlah mas, terima aja, mungkin emang nasibmu lagi apes. Nggak usah macem-macem mas entar nasib kamu kayak Marsinah gimana?” Kataku ngeri dengan kisah Marsinah yang mati karena dia terlalu vokal.
“Pokoknya aku nggak mau tahu Ti, kita emang miskin, tapi jangan diem aja kalo diperlakukan sewenang-wenang.”

Aku diam aja, Andi emang sulit diajak ngomong kalo udah pakai kata “pokoknya”, sulit diganggu gugat. Aku tak mau ambil pusing dengan masalahnya, yang jelas aku sudah memberi nasihat padanya. Andi berniat tinggal di desa selama beberapa bulan, kami memang cukup dekat, bahkan ia pernah mau melamarku, namun ia tidak punya keberanian yang cukup untuk itu. Apalah artinya seorang pemuda miskin bila dibandingkan dengan mas Joko yang seorang tuan tanah.

Aku tercenung sesaat ketika kutemukan selembar surat hasil pemeriksaan dari Dokter. Kupikir suamiku sakit tapi ternyata aku salah, suamiku sama sekali tidak sakit. Surat itu menyatakan bahwa suamiku mandul! Hatiku bahagia sekaligus marah, suamiku yang mandul bukan aku! Aku ingin berteriak pada semua orang bahwa aku tidak mandul bahwa suamikulah yang mandul. Aku ingin mengatakan pada ibu mertuaku yang nyinyir itu bahwa aku tidak mandul, bahwa anaknyalah yang mandul. Aku akan membuktikan pada semua orang bahwa aku tidak mandul. Aku tertawa, namun sesungguhnya aku menangis, yah aku menangis.

Suamiku menatapku heran, ia terpana dengan surat pemeriksaanku dari dokter yang menyatakan aku telah hamil dua bulan, wajahnya pucat pasi namun aku merasakan kemenangan dalam hatiku.

“Aku telah membuktikan bahwa aku tidak mandul” kataku. “Dan kau tak sanggup membuktikan bahwa kau cukup subur untuk membuatku hamil.”
Aku melihat dengan jelas wajah suamiku memerah, entah karena malu atau marah. Mungkin keduanya.
“Dengan siapa kau mengandung, anak siapa bayi yang kau kandung,” tanya suamiku dengan suara gemetar.
“Apakah itu penting? Bukankah keluargamu menginginkan keturunan? Dengarkan aku, Joko Susilo, kau akan merawat, mengasuh darah daging orang lain dan anak ini akan menjadi satu-satunya pewaris dari kekayaanmu.”
Inilah hari kemenanganku. Aku tak peduli lagi dengan perselingkuhan yang dilakukannya dengan Widuri, pelacur iru. Aku tak peduli. Suamiku harus menutupi kenyataan dari semua orang, termasuk ibunya bahwa dia mandul dan ia terpaksa menerima darah daging orang lain sebagai pewarisnya.

Inilah pernikahanku. Sebuah pernikahan yang pernah aku idamkan sebagai pernikahan yang penuh kebahagiaan namun ternyata penuh kemunafikan. Aku telah mengandung dan semua gunjingan pun berakhir.

Ibu mertuaku begitu bahagia, tanpa ia tahu bahwa bayi yang kukandung bukanlah darah dagingnya. Semua keluarga begitu bahagia kecuali suamiku. Namaku Surti, sebagai seorang perempuan aku harus menjaga kesucianku, sebagai seorang istri aku harus mengabdi, menjaga kesetiaanku pada suamiku dan sebagai seorang ibu aku harus mengasuh anakku siang dan malam. Yah, itulah aku dan untuk semua itu hanya ada satu alasan, karena aku adalah seorang perempuan. Namaku Surti, dan saat ini aku berada di stasiun Lempuyangan, begitu banyak orang lalu lalang, melepas kepergian salah satu keluarga mereka, mungkin suami mereka. Dan aku berdiri di sini melepas kepergian kekasihku, Andi.

-----------

Dian Septi Trisnanti, SS, lahir pada 20 September, 1983, di Solo. Lulusan Sanata Dharma University, Yogyakarta. Pernah bergabung di LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi), LMND-PRM (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi-Politik Rakyat Miskin), Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Aliansi Jurnalis Independen.










Dian Septi Trisnanti membacakan puisi karya Widji Tukul
















Wanita pada foto ini bukan seorang gundik. Ini adalah gambar tanpa judul pada kartu pos yang diterbitkan oleh Tan Bie Je dari Djocja yang memperlihatkan gambar wanita pribumi. Berdasarkan foto hitam-putih yang diberi warna secara manual, foto ini diidentifikasi sebagai hasil karya dari fotografer ternama Kassian Cephas (1844-1912). Perempuan muda berusia sekitar 20-25 tahun ini tengah berpose untuk fotografer di studio foto. (Foto yang mengiringi artikel ini di rubrik OASE KOMPAS)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekologi [merah] - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger