Press release Aksi Serentak Nasional ! - ekologi [merah]
Headlines News :
Home » , » Press release Aksi Serentak Nasional !

Press release Aksi Serentak Nasional !

Written By ekologi [merah] on 6.28.2010 | Senin, Juni 28, 2010



SOLIDARITAS UNTUK PAPUA (SUP)
IPMA-PAPUA, AMP, GANJA, FMN, LBH, PMKRI, PEMBEBASAN, KPRM-PRD, PEREMPUAN MAHARDHIKA, GP3PB, SMI, PPI, GMKI, GMNI, ARMP

DOM DIBERLAKUKAN DI PUNCAK JAYA PAPUA: SBY – BOEDIONO GAGAL DAN GULINGKAN !!!.
WUJUDKAN DEMOKRASI DI PAPUA DENGAN PERSATUAN UNTUK PEMBEBASAN NASIONAL !!!

Kekayaan alam Indonesia seperti tak ada manfaatnya, dijarah pemodal besar, bangsa asing dan bangsa sendiri. Di Sumatra, Jawa, Sulawesi, rakyat miskin terbengkalai di mana-mana, apalagi di Papua—tidak di urus oleh Negara. Dengan darah dan nyawa, Papua direbut dari Belanda, tapi Orde Barunya Soeharto dengan seenaknya menumbalkan rakyat Papua pada Amerika Serikat. Bumi Papua diserahkan isinya sebagai tanda terima kasih atas jasa Amerika membantu penggulingan Orde Lama Soekarno dan pemberantasan PKI. Sejak zaman Soeharto itulah rakyat Papua seperti tidak ada harganya. Buminya dibiarkan dikuras bangsa asing, rakyatnya dibiarkan terbelakang dan kelaparan, elit-elitnya dipelihara untuk jadi sekadar antek-antek elit nasional, diperdaya agar mau membodohi rakyatnya sendiri.

Kerajaan para pemodal nasional dan internasional itu hingga sekarang masih berjaya di Papua, mencetak terus rakyat miskin baru, mengorbankan lebih banyak anak-anak kelaparan, menciptakan kerusakan lingkungan dan penyakit di mana-mana. Penjarahan dan eksploitasi kekayaan alam Papua tidak pernah dihentikan, bahkan oleh pemerintahan SBY-BUDIONO sekarang. Justru SBY-BUDIONO terbukti sebagai kaki tangan Imperialisme paling setia saat ini.

Keberadaan dan hak dasar kesejahteraan rakyat Papua tidak pernah dipegang teguh sebagai landasan kebijakan dan tanggung jawab negara. Kalaupun muncul Otonomi Daerah, itu bukan lain hanya sebagai alat pencetak raja-raja kecil di daerah sebagai boneka pemerintah nasional, yang bertugas menguasai sumber daya alam agar mudah dijarah oleh para pemodal, tuannya pemerintahan kita. Mereka menari di atas penderitaan rakyat miskin Papua. Otonomi sama sekali tidak menghasilkan kesejahteraan di Papua.

Raja-raja kecil yang bercokol dalam birokrasi daerah, Kepolisian dan TNI di Papua, mereka berebut menjadi pelayan paling setia tuan-tuan modal dan pemerintah pusat. Mereka berebut agar bisa ikut menikmati hasil jarahan dari bumi Papua, yang semestinya dipakai untuk memakmurkan rakyat. Perebutan di antara mereka inilah yang berkali-kali justru membawa korban di pihak rakyat tak berdosa. Namun mereka tak pernah lupa pada tugas utamanya, yaitu mengamankan aset-aset para pemodal. Berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi sejak 1969 ketika Papua terintegrasi dengan kedaulatan Indonesia (baca; NKRI). Mulai dari Operasi Militer tahun 1969 melalui Pepera yang menurut PBB telah menewaskan 100.000 jiwa Rakyat Papua (antara 1961-2003), kasus Biak Berdarah (1998), Abepura Berdarah (7 Desember 2000), Wamena Berdarah (2001), Merauke Berdarah (2001—termasuk Pembunuhan terhadap Ketua PDP Theys Eluays 11 November 2001), Timika Berdarah (2003) dan kasus pelanggaran HAM terbaru yaitu Pembunuhan terhadap Gembala gereja Toragi yang bernama Perianus Tabuni (45 Tahun) pada 19 Maret 2010, yang dilakukan oleh Barisan Merah Putih, Milisi Sipil Reaksioner bentukan Yonif 753 Arvita Nabire. Semua kasus itu terjadi dalam rangka tugas “pengamanan” aset-aset pemodal oleh para centeng-centengnya di atas, termasuk SBY-Budiono sebagai centeng tertinggi Amerika Serikat, pemodal internasional dan negara-negara maju lainnya di Indonesia.


Status DOM (Daerah Operasi Militer) adalah Melanggar HAM dan Demokrasi.

Jika kita menyimak apa yang kini terjadi di Papua, khususnya mengenai pemberlakuan Status Dearah Operasi Militer (DOM) atau Kebijakan Bumi Hangus di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya – Papua, yang dibuat melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah Tingkat II Puncak Jaya, Pangdam XVII Trikora dan Polda Papua pada bulan Mei 2010. Dalam kesepakatan antara Pemda Puncak Jaya, Pangdan XVII Trikora dan Polda Papua meminta agar semua masyarakat setempat, bahkan pemimpin gereja yang harusnya di hormati, termasuk perempuan, pemuda, anak-anak, pemimpin tradisional dan kepala desa di usir paksa keluar dari wilayah Distrik Tingginambut paling lambat antara 27 - 28 Juni 2010. Hal ini semakin mengukuhkan sikap kita bahwa rejim SBY-Boediono anti Rakyat Miskin dan selalu bersembunyi dibalik slogan Demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Batas waktu pengosongan wilayah Distrik Tingginambut adalah 28 Juni 2010, karena setelah tanggal tersebut Kabupaten Puncak Jaya akan menjadi Daerah Operasi Militer ( DOM). Militer di bawah TNI dan Polri menjadi alat bagi penumpasan rakyat dengan operasi sapu bersih/sweeping di desa-desa, hutan dan bahkan gua-gua. Tanggal 28 Juni 2010 adalah penegasan terhadap keputusan DOM, pengertiannya setiap orang yang masih berada di daerah tersebut akan di paksa (tewas) dalam sebuah operasi “Kebijakan Bumi Hangus”. Mereka tidak akan memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi sebagai landasan bagi kehidupan masyarakat beradab yang menjunjung partisipatif dan kemanusiaan. Fakta sebelum operasi ini dimulai saja, tepatnya pada hari Rabu 17 Maret 2010, Pdt. Kindeman Gire ditembak mati oleh TNI dari kesatuan 756 di Distrik Ilu. Kindeman adalah seorang Gembala Sidang Gereja GIDI Pdt. Kindeman Gire Toragi Distrik Tingginambut di tembak dan jenazahnya belum di ketemukan. Kecurigaan besar keluarga korban adalah kemungkinan TNI memutilasi (memotong-motong) tubuh korban kemudian dimasukan kedalam karung lalu membuangnya di Sungai Tinggin atau di Sungai Yamo bahkan mungkin di sungai Guragi atau-kah mungkin mereka kuburkan) . Selain itu, adanya pembakaran terhadap Gereja GIDI di Yogorini, Pilia dengan kapasitas tempat duduk 500 orang. Ironisnya, Gereja ini belum sempat di buka dan menjadi sarana peribadatan seperti layaknya tempat suci yang dimuliakan sudah di musnahkan.

Pada 17 Maret 2010 malam, TNI terus beroperasi di Desa Kalome menuju di ibu kota Distrik Tingginambut. Di daerah tersebut terdapat sebuah rumah Honai (rumah adat Papua), dengan rakyat yang masih tertidur pulas dikepung oleh anggota TNI, yang setelah menembak mati Pdt. Kindeman Gire jam 5 sore. Sejumlah 13 warga sipil berhasil di tangkap dan mengalami penyiksaan dengan tusukan pisau dan sangkar. Ke 13 nama korban tersebut adalah: Garundinggen Morib (45 Thn), Ijokone Tabuni (35 Thn), Etiles Tabuni (24 Thn), Meiles Wonda (30 Thn), Jigunggup Tabuni (46 Thn), Nekiler Tabuni (25 Thn), Biru Tabuni (51 Thn sedang sakit parah), Tiraik Morib (29 Thn), Yakiler Wonda (34 Thn), Tekius Wonda (20 Thn), Neriton Wonda (19 Thn), Yuli Wonda (23 Thn), dan Kotoran Tabuni (42 Thn). Sampai hari ini kondisi mereka sangat memprihatinkan, walaupun ada persoalan akses yang di tutup di wilayah distrik Tingginabut, sehingga situasi mengenai perkembangan ke-13 warga sipil tersebut tidak ada kejelasan.

Pembantaian terhadap warga sipil tidak berdosa terus berlanjut—tepatnya pukul 16.00-21.00—pada senin 23 Maret 2010. TNI dari kesatuan Yonif 753 yang bertugas di Pos Puncak Senyum Distrik Mulia (merupakan Ibu Kota Kabupaten Puncak Jaya) melakukan operasi sapu bersih terhadap warga massa rakyat yang bermukim disekitar Desa Wondenggobak. Akibat operasi Militer inilah Enditi Tabuni seorang anak mantu dari Pdt. Yason Wonda (Wakil Ketua Klasis GIDI Mulia) tewas akibat di tembak militer. Tembakan membabi buta itu mengenai seorang ibu rumah tangga yang sedang tidur hingga peluru bersarang di lututnya, mengakibatkan korban harus di larikan ke Rumah Sakit Umum (RSUD) Jayapura karena minimnya peralatan operasi di Rumah Sakit Umum (RSUD) Mulia Puncak Jaya. Kemungkinan terkecil korban akan di amputasi mengingat sudah sudah akut ketika di bawa kerumah sakit, atau terkena infeksi yang bisa mengancam nyawa. Inilah karakter alat reaksioner negara (TNI dan Polri) yang bermental pengecut sehingga kaum perempaun pun ditembak atau dibantai secara tidak manusiawi. Sungguh kejam, seharusnya mereka bisa mengayomi dan melindungi (seperti slogan bohong mereka), tapi kenyataannya mereka sangat tidak demokratis dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga bisa kita simpulkan bahwa mereka memang hanya di didik untuk patuh terhadap tuan (agen Imperialis), yang kerjaannya hanya bisa membunuhi, menculik dan memenjarakan rakyatnya sendiri.

Hingga saat ini belum terdata secara resmi berapa jumlah korban jiwa dan material yang berjatuhan karena begitu ketatnya kontrol akses informasi yang dilakukan oleh alat reaksioner negara (TNI/Polri). Dan pengungsian ratusan hingga ribuan massa rakyat Papua dari Distrik Tinginambut tersebut sejak kemarin 07 Juni 2010 telah masuk di Wilayah Kabupaten Jayawijaya - Wamena dan lainnya akan menyusul. Selain itu pengungsian dari Distrik Tinginambut tersebut juga telah masuk dibeberapa daerah seperti ; Ilaga, Sinak, Kuyawagi, Ilu dan beberapa Kabupaten di Pegunungan Papua. Bahkan saat ini tenda-tenda pengungsian yang telah memasuki Kecamatan Wunineri Kabupaten Tolikara dilarang didirikan tanpa alasan yang jelas oleh Militer. Alat reaksioner negara dari gabungan kesatuan TNI AD, TNI AU, TNI AL dan Polri (Brimob) telah menguasai hampir seluruh pelosok dan kota Kabupaten Puncak Jaya, yang sepenuhnya di kendalikan (TNI/Polri). Hingga saat ini tindakan pembakaran terhadap rumah-rumah, Gereja, penembakan ternak, penelanjangan terhadap perempuan dan intimidasi terhadap massa rakyat Papua terus berlanjut.

Selama periode 2004—sekarang setiap bulan kita dapat melihat masyarakat sipil selalu menjadi korban pertarungan centeng-centeng pemerintah (pusat dan daerah), hambanya hamba tuan-tuan modal. Konflik antar klan/ras sering kali terjadi yang merupakan bagian dari rekayasa militer (TNI) dan POLRI dalam kepentingan menerima ceceran hasil dari Freeport dan modal-modal besar yang ada di Papua. Sementara rakyat selalu menjadi korban dengan pengkambinghitaman TPN/OPM di Puncak Jaya. Satu contoh tahun 2007 ketika Bintang Kejora dikibarkan di Puncak Jaya, sesungguhnya adalah bagian dari rekayasa TNI (Yonif 753 Arvita Nabire) yang biasa ditugaskan mengamankan BBM secara reguler ke Puncak Jaya (melalui PT. Chris Papua milik Bupati Puncak Jaya), yang kemudian bentrok dengan Polisi (Brimob)—karena persoalan pembagian fee (ceceran dana BBM)— yang berujung penyerangan ke Polres Puncak Jaya yang menewaskan Bripda Yosep Kaliamber. Di samping itu ada operasi pengamanan aset-aset pemodal melalui pembentukan kekuatan jahat Barisan Merah Putih (milisi sipil reaksioner) yang merupakan kepanjangan tangan dari Yonif 753 AVT Puncak Jaya yang sengaja dibentuk untuk membenturkan sipil dengan sipil—Inilah cara-cara warisan Orde Baru (militer dan Soeharto) yang masih digunakan untuk melemahkan kekuatan rakyat. Selama 2010 saja milisi sipil Barisan Merah Putih (bentukan Bupati Puncak Jaya dan Yonif 753) telah melakukan teror terus menerus, termasuk pada 15 Januari 2010 membantai tukang ojek bernama Meganif Poluncar.

Rakyat papua tidak butuh Otonomi Khusus (Outsus), rakyat papua tidak butuh moncong senjata (DOM) berdalih stabilitas ekonomi dan politik untuk kepentingan tuan Imperialis, ataupun alasan mengatasnamakan kepentingan dan kebaikan rakyat miskin. Disini rakyat Papua hanya membutuhkan di bukanya proses demokrasi yang seutuh-utuhnya untuk rakyat Papua. Demokrasi berberbasis kerakyatan yang menjunjung tinggi kemanusian dan kebesan menentukan pilihannya sendiri, termasuk politiknya.
Semua hanya bisa di jawab dengan penyatuan gerakan rakyat; buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota, perempuan dan seniman, serta seluruh kekuatan rakyat miskin. Persatuan berdasarkan basis Anti Imperialis dan melawan agen Imperialisme (SBY-Boedeiono) untuk pembebasan Nasional. Semua peristiwa tragis itu, baik pengabaian hak dasar, penjarahan kekayaan alam bukan untuk kemakmuran rakyat, maupun tindak-tindak kekerasan adalah bentuk kekejaman aparat negara di bawah tanggung jawab SBY-Budiono, termasuk bawahannya di Papua. Sehingga sudah sepantasnya SUP meneriakkan tuntutan-tuntutan berdasarkan kebutuhan obyektif dengan aksi massa dan kekuatan rakyat sendiri:

1. Cabut status Daerah Operasi Militer (DOM) dan Kebijakan Bumi Hangus dari Tingginambut, Puncak Jaya-Papua !!!
2. Copot dan Adili: Gubernur papua, Kodam papua, Polda Papua dan Bupati Puncak Jaya sebagai biang Kerok pelanggar Ham di Papua !!!
3. Wujudkan Demokrasi Sepenuh-penuhnya di Papua !!
4. Tangkap dan Adili Para Pelanggar HAM di Papua !!
5. Bubarkan Milisi Sipil Reaksioner (Barisan Merah Putih, Papindo, FPI, dll) !!
6. Tarik Militer Organik dan Non-Organik dari Papua, serta Bubarkan Komando Teretorial (Kodam, Kodim, Koramil dan Babinsa) !!
7. Rebut Industri tambang Asing di bawah Kontrol Rakyat !!
8. Bangun Persatuan Gerakan Rakyat secara Nasional !!

Demikian statement solidaritas ini kami buat, jika tuntutan kami tidak segerah di penuhi oleh rezim hari ini, maka kami akan mengalang solidaritas yang seluas-luasnya untuk mendesak pencabutan status Dearah Operasi Militer (DOM) atau ‘Kebijakan Bumi Hangus” di Distrik Tingginambut, Puncak Jaya – Papua.

DOM DIBERLAKUKAN DI PUNCAK JAYA PAPUA: SBY – BOEDIONO GAGAL DAN GULINGKAN !!!.
WUJUDKAN DEMOKRASI DI PAPUA DENGAN PERSATUAN UNTUK PEMBEBASAN NASIONAL !!!


 Koordinator Umum SUP
(Solidaritas Untuk Papua)


 Leksi Degei


 Contact Person:
1. Leksi: 081392297472 (Kordum)
2. Zely Ariane: 08158126673 (Humas)
3. Rinto: 085328079686 (Humas)

Bookmark and Share
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekologi [merah] - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger