Vergadering - ekologi [merah]
Headlines News :
Home » » Vergadering

Vergadering

Written By ekologi [merah] on 11.17.2009 | Selasa, November 17, 2009

Oleh: Anonim

Vergadering, alias Rapat Akbar alias Rapat Umum tentu saja bukan kata baru. Tentu juga bukan tindakan baru. Bila ingat hari Kebangkitan Nasional yang jatuh tiap tanggal 20 Mei, betapa kita diingatkan pada masa-masa kebangkitan kaum pergerakan Indonesia yang penuh gegap gempita dan sorak-sorai perjuangan. Berbagai organisasi modern dilahirkan: Boedi Oetomo, Sarekat Islam, ISDV... Modern dalam artian kepemimpinan organisasi tak lagi didasarkan atas kharisma dan anutan pemimpin tertentu, tetapi lebih pada cita-cita organisasi dan asas-asas modern yang manjadi landasan gerak roda organisasi.



Di sini dibutuhkan diskusi-diskusi, rapat-rapat organisasi, dan kongres-kongres organisasi untuk memilih pemimpin maupun menentukan program-program perjuangan. Perjuangan bersenjata yang tak terorganisir secara modern pun mulai ditinggalkan. Kaum pergerakan lebih memilih membangunkan alat perjuangan modern: organisasi dan ilmu pengetahuan beserta roh dan cara pikir modern. Dengan begitu perubahan kesadaran akan cita-cita dan orientasi perjuangan menjadi penting. Nasionalisme, sosialisme, demokrasi menjadi gagasan yang dibawa kaum pergerakan menggeser pemikiran tradisional yang feodal, mistik dan takhayul.

Setidaknya begitulah kaum pergerakan memahami bagaimana ilmu pengetahuan Eropa telah mengalahkan dan menaklukkan perjuangan gagah berani nenek moyang bangsa Indonesia. Cara perjuangan baru itu pun diramaikan dengan kemunculan surat kabar-surat kabar, selebaran-selebaran, teater-teater, lagu-lagu perjuangan, pemogokan-pemogokan dan vergadering-vergadering alias rapat akbar-rapat akbar. Bentuk vergadering tentu menyita banyak perhatian kaum pergerakan sebab dalam vergadering bisa saja dimunculkan, selebaran-selebaran, teater-teater dan pertunjukkan-pertunjukkan rakyat lainnya.

Persiapannya tentu juga tak sebentar. Hampir kebanyakan tokoh pergerakan, mulai dari mereka yang berkumpul di lingkaran Serikat Islam dengan Tjokroaminoto sebagai sentral, sampai Indische Partij dengan Tjipto Mangoekoesoemo dan Douwes Dekker sebagai sentral, memanfaatkan vergadering untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan mendesak rakyat dan menjadikannya sebagai ajang pemblejetan kolonialisme. Para jurnalis yang kemudian tampil memimpin SI pun tak lagi hanya menulis tapi juga berbicara dalam vergadering-vergadering. Demikianlah setidaknya Takashi Shiraishi mencatat: “Di pusat-pusat SI, baik di pimpinan pusat maupun di Bandung, yang menjadi pusat oposisi, para jurnalislah yang tampil di muka.

Penjelasannya sederhana saja, karena sekarang SI bergerak hanya untuk keperluan ekspansi saja. Kunci untuk melakukannya adalah surat kabar dan vergadering dan hanya jurnalis yang tahu bagaimana cara menulis dalam surat kabar dan berbicara pada vergadering-vergadering kepada orang yang tidak dikenal dalam jumlah yang tidak diketahui. Akan tetapi, para jurnalis yang memimpin SI sudah tidak seperti dulu lagi. Kini mereka tidak hanya menulis artikel, memberi komentar terhadap surat pembaca, menyunting, dan menerbitkan surat kabar saja, tetapi juga mengorganisir dan berbicara pada vergadering, mendengar keluhan anggota-anggota SI yang dibawa ke hadapan mereka dan berunding dengan penguasa untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara anggota SI dan orang lain serta antara SI dan penguasa setempat.

Mereka telah menjadi pemimpin pergerakan yang profesional, yang bersenjatakan keahlian, menyediakan waktu dua puluh empat jam sehari untuk SI, dan mencari penghasilan juga dari jabatan tersebut. Sebelumnya tidak ada orang yang hidup dengan cara seperti itu. Tirtoadhisoerjo adalah perintis tipe pemimpin pergerakan yang baru muncul. Ia menggerakkan ‘bangsa’ melalui bahasa yang dipakainya dalam Medan Prijaji. Namun bagaimanapun, dari segi keuangan ia terlalu bergantung pada orang Arab dan pedagang bumiputra muslim dan bahasa yang dipakai untuk menggerakkan ‘bangsa’ adalah bahasa tulisan. Para pemimpin SI selanjutnya memimpin SI baik melalui bahasa tulisan maupun lisan dan berhasil memobilisasi pengikut dari kalangan yang dapat membaca dan juga yang buta huruf. ” (Baca juga: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Grafiti, 1997 (65-94). Lihatlah juga bagaimana anak-anak pelajar SI School asuhan Tan Malaka yang masih berusia 13 atau 14 tahun mengadakan Vergadering untuk membicarakan persoalan-persoalan kebutuhan mereka sendiri seperti perpustakaan, misalnya. Kadang mereka juga hadir dalam vergadering SI dewasa sehingga dapat memberanikan orang tua-orang tua yang masih takut berbicara di depan umum.

Dalam vergadering SI dan Buruh, murid-murid SI school yang sudah bisa mengerti pun diajak menyaksikan dengan mata sendiri suaranya kaum Kromo, dan diajak mengeluarkan pikiran atau perasaan yang sepadan dengan usianya, pendeknya diajak berpidato. Dengan harapan, kalau ia kelak menjadi besar, perhubungan pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar membela Rakyat tidak hanya termuat dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasaannya masing-masing. (baca: SI Semarang dan Onderwijs, Tan Malaka (1921), Yayasan Massa, 1987). Periode yang dipenuhi dengan vergadering ini dikenal sebagai Zaman Bergerak. Begitulah Takashi Shiraishi, Indonesianis kelahiran Jepang menamai periode ini; periode yang hanya bisa ditutup dengan kekerasan di tahun 1927. Hampir 1.000 pejuang dihukum mati dan kurang lebih 13.000 pejuang lainnya dibuang ke Digul, di tanah Papua. Apakah karena itu gerakan lantas surut? Tidak. Tak sampai satu tahun gerakan melawan kolonialisme dan menuntut kemerdekaan bangkit kembali. Partai Nasionalis Indonesia didirikan Bung Karno.

Atas perlawanannya, Bung Karno dibuang ke Ende. Melawan dan dibuang, itulah tampaknya nasib kaum pergerakan Indonesia. Namun toh sampai akhirnya menemukan juga kemerdekaan politiknya, Proklamasi 17 Agustus 1945. Satu bulan sesudah itu, 19 September 1945, Vergadering besar yang dipelopori pemuda Menteng 31, digelar di lapangan Ikada, dekat Monas sekarang. Vergadering, Rapat Raksasa Ikada, yang diikuti kurang lebih 200.000 ribu rakyat Jakarta, 62 tahun yang lalu itulah yang mungkin sering dilupakan oleh kita sekarang. Padahal vergadering di lapangan Ikada itulah yang menegaskan tekad kaum muda dan rakyat untuk terus melaksanakan amanat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan kehendak untuk mewujudkan "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
***


Bookmark and Share
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekologi [merah] - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger