MEMBELA REALISME SOSIALIS - ekologi [merah]
Headlines News :
Home » » MEMBELA REALISME SOSIALIS

MEMBELA REALISME SOSIALIS

Written By ekologi [merah] on 10.12.2008 | Minggu, Oktober 12, 2008

Andre Gusti Bara



Hanya ada satu kata: LAWAN!!!

Kini bukan lagi puisi
Itu jadi sampah
Di ribuan nama

PLAGIAT!!!
(Curhat Kepada Widji Thukul, Andre GB)

Aku adalah generasi yang terlahir dari sebuah masa kegelapan sejarah, di mana semua cerita yang diterima adalah apa yang telah dianggap tepat dan lulus sensor sang penguasa. Banyak hal yang samar-samar terdengar, tapi keingintahuan itu terpaksa harus diredam karena ketiadaan sumber-sumber yang dianggap sekiranya bisa menjelaskan apa dan bagaimana hal itu. Generasi yang kemudian hari ini terpaksa mengemban tanggung jawab sosial yang maha berat. Sebuah kondisi di mana masyarakatnya gagap dan latah dengan kebebasan yang baru dikecap, sedang di sisi lain masih hidup dalam bayang-bayang doktrin masa lalu yang mengerdilkan cakrawala pikir dan berimbas pada ruang gerak dan ekpresi tiap-tiap individu tersebut.

Keinginan menuliskan tentang hal ini juga dilandasi atas kegundahan atas pertanyaan yang terus menerus hadir dalam diri ketika distimulus oleh pertanyaan-pertanyan dari luar diri tentang hal yang sama. Walaupun mungkin, penjelasan ini tak akan bisa memuaskan dahaga pihak-pihak yang sama-sama dikejar rasa ingin tahu tentang hal ini, namun minimal ini adalah bentuk pertanggungjawaban atas sebuah pengetahuan yang didapatkan di atas interaksi sosial sehingga mengharuskannya kembali lagi menjadi kepunyaan bersama.

WAJAH MULA REALISME SOSIALIS

Ketika mendengar kata realisme sosialis di Indonesia, maka tak pelak ingatan orang-orang langsung akan dikaiteratkan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang didirikan antara lain oleh A.S. Dharta, Nyoto, D.N. Aidit dan M.S Ashar pada 17 Agustus 1950. Momen di mana ada sebuah repulik yang baru mengecap aroma kebebasan setelah lepas dari kolonialisme bangsa lain selama rentang waktu tertentu. Ingatan ini adalah ingatan umum mengingat penulis sejarah yang monolit di republik ini.

Dan tentu, LEKRA akan dianggap sisi keping lain dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada 1965 secara sepihak dianggap bersalah atas upaya kudeta yang samar-samar dan dipertanyakan kebenarannya. Stigma yang berujung pada pelanggaran HAM besar dan jadi noda hitam ketika ada ratusan ribu orang yang adalah saudara dan teman terpaksa disingkirkan tanpa pernah diberikan kesempatan untuk membela diri selayaknya manusia karena dianggap sebagai duri dalam daging republik muda yang penuh gelora.

Meski pada kenyataannya di Indonesia sendiri kehadiran karya-karya realisme sosialis tidaklah dimulai dengan kehadiran LEKRA. Jauh sebelum itu telah ada karya-karya yang bisa dianggap telah mencirikan realisme sosialis itu sendiri. Karya Mas Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hijo dan karya Semaoen Hikayat Kadirun adalah sedikit contoh yang bisa diangkat ke permukaan. Walau memang realisme sosialis mereka tidaklah seperti realisme sosialis yang dibakukan aturan-aturannya dalam teori-teori tentang realisme sosialis sendiri, tapi keberpihakan mereka terhadap pihak yang lemah, perlawanan dan penentangan mereka terhadap dehumanisasi manusia, serta komitmen individu yang jelas terhadap kehidupan sosial mau tak mau membuat karya-karya diatas tak bisa serta merta disingkirkan dari bingkai-bingkai kusam teori realisme sosialis yang datang kemudian.

Realisme sosialis sendiri adalah sebuah nama yang diberikan oleh Andrei Zdanov untuk mengkategorikan karya-karya seni yang di anggap sesuai dengan cita-cita partai Komunis yang saat itu di Uni Soviet baru saja mengalami kemenangan atas perebutan kekuasaan dari tangan para musuh rakyat. Istilah ini pertama kali secara resmi diperkenalkan pada Kongres Pertama Sastrawan Soviet di Moscow pada tahun 1934. Karya-karya seperti trilogi Maxim Gorkhy (Childhood, My Apprenticeship dan My Universities) yang dianggap merepresentasikan kenyataan sosial masyarakat, menggambarkan secara jelas pertentangan-pertentangan antara individu dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosialnya, menjadi sebuah batu pijakan awal untuk kemudian menarik garis pembatas antara karya berciri realisme sosialis dan di luar itu.

Maxim Gorkhy yang lahir dengan nama Aleksei Maksimovich Peskhov adalah seorang pekerja sastra yang menempa kemampuan menulisnya di luar bangku kampus. Ia tak belajar di universitas namun kemampuannya dalam menggambarkan secara detail pertentangan-pertentangan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh latar belakang kepentingan ekonomi membuatnya dianggap sebagai salah seorang yang berhasil karena mampu menerjemahkan rumitnya bahasa teori ala Marx ke dalam bentuk yang sederhana dan cantik untuk dikomsumsi masyarakat awam. Hal ini adalah salah satu hal yang membuat Gorkhy menjadi salah seorang Marxis yang khas dan unik serta membuat posisinya begitu penting untuk dilupakan dalam sejarah jatuh bangun pemikiran Marxis. Apalagi dalam dunia seni khususnya sastra.

Realisme sosialis sendiri harus diakui berakar dari estetika filsafat Marxis yang dalam pembacaannya terhadap sebuah kondisi sosial masyarakat, tidaklah melihat bahwa sebuah peristiwa atau kasus berdiri sendiri dan mengingkari bahwa ia sendiri mempunyai kaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan dari hubungan-hubungan antar individu, antar kelompok manusia dan serta pertentangan-pertentangan yang terjadi akibat ketimpangan relasi sosial itu sendiri. Determinisme ekonomi sebagai basis dasar relasi antar individu dan antar kelompok menjadi sebab yang pada akhirnya akan mempengaruhi pola-pola produksi karya seni yang akan menjadi ciri karya itu sendiri.

Dalam tinjauan teori realisme sosialis, posisi seorang produser karya seni dan karya yang kemudian dihasilkannya adalah manifestasi ketimpangan-ketimpangan relasi sosial dimana si produser karya seni adalah bagian dari pertentangan itu sendiri. Pertentangan-pertentangan ini sendiri lahir dari faktor-faktor material yaitu ekonomi. Tidak bisa tidak, posisi inilah yang kemudian akan menjadi titik awal untuk menarik garis dalam menilai sebuah karya seni dari kacamata realisme sosialis. Sebuah karya seni, mau tak mau pada akhirnya akan menunjukkan keberpihakan kelas si produser karya seni itu sendiri.

Realisme sosialis memang lahir di Rusia sebagai geliat kehidupan revolusi kelas pekerja yang baru saja menemukan kemenangannya. Namun tidak serta merta pada saat itu kemenangan revolusi tersebut langsung bisa melahirkan kebudayaannya. Sebab harus dimengerti bahwa sebuah kebudayaan dalam masyarakat tidaklah serta merta hadir begitu saja. Melainkan ia haruslah melewati sebuah proses panjang yang akan membentuknya menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda dari sebelumnya secara bentuk dan mengandung nilai yang akan mencerminkan kondisi kebutuhan masyarakatnya. Tidak semata-mata mengambil jalan pintas ketika sebuah revolusi politik terjadi dan menjadi basis pijakan kebudayaan sosialis juga secara langsung.

Pada masa-masa pasca kemenangan Revolusi Oktober yang masih muda, partai Komunis Uni Soviet sendiri tidaklah melakukan pelarangan terhadap masyarakat untuk kemudian menikmati karya-karya seni peninggalan rezim borjuis yang baru dikalahkan. Sebab bahwa kemenangan sistem politik dan ekonomi sosialis di Rusia tidaklah berarti menjadi doktrin keras untuk produk kesenian pada masa itu. Pemahaman bahwa seni haruslah menemukan jalannya sendiri untuk mampu hadir dan memaksimalkan sumbangsihnya ke dalam kehidupan masyarakat menjadi alasan kuat hal di atas.

Walau memang, ada penentangan yang sangat kuat hadir dari kelompok Proletkul’t yang adalah kelompok seniman muda sosialis garis keras yang menolak semua hasil-hasil kebudayaan lama yang dianggap sebagai hasil dari kemunafikan kaum borjuis di masa lalu. Proletkul’t menganggap bahwa karya seni sosialis haruslah murni berasal dari proses yang terpisah dari masa lalu kegemilangan borjuisme. Karya seni masa lalu bagi Proletkul’t adalah hasil yang tidak menggambarkan cita-cita sosialisme. Salah satu pemimpin teras Proletkul’t, A.A. Bogdanov bahkan berharap dapat melakukan penghapusan total terhadap semua hasil seni peninggalan masa rezim borjuis agar rakyat pekerja yang baru saja merasakan kemenangannya dapat mempercepat proses kelahiran kebudayaan mereka sendiri.

Hal ini juga ikut ditentang oleh Maxim Gorkhy yang dianggap sebagai bapak pendiri realisme sosialis itu sendiri. Konflik inilah yang kemudian menjadi awal dilaksanakannya Kongres Pertama Sastrawan Soviet dan menjadi kelahiran realisme sosialis sebagai sebuah jalan keluar yang diharapkan mampu mendamaikan pertentangan antara seniman-seniman sosialis garis keras dan mereka yang dianggap tidak mendukung cita-cita sosialisme itu sendiri.

Proletkul’t sendiri berhasil menemukan ruang untuk memaksakan niatnya ketika Stalin berkuasa. Pemberangusan karya-karya seni yang dianggap berseberangan menjadi hal yang tidak bisa terelakkan yang dijalankan lewat sensor keras dan fitnah terhadap karya dan produser karya seni itu sendiri. Di kemudian hari, sifat-sifat kasar dan keras inilah yang sering dianggap sebagai ciri realisme sosialis itu sendiri. Sebuah penarikan kesimpulan yang salah dan mengingkari tujuan mulia realisme sosialis itu sendiri.

Realisme sosialis yang lahir di Rusia ini kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia seiring menyebarnya semangat sosialisme yang berhasil memenangkan pertempurannya di Revolusi Oktober. Sehingga kemudian tak bisa dilupakan nama dan sumbangsih besar seorang Lu Hsun di China. Lu Hsun sendiri adalah produser sastra fenomenal yang terinspirasi pemikiran Marxis. Karyanya berjudul Kisah-kisah AQ adalah yang paling fenomenal. Lu Hsun adalah salah seorang otak Gerakan Empat Mei yang merupakan gerakan kebudayaan baru sebagai tawaran jalan keluar dari lingkaran budaya tradisionalisme ala Konfusius yang di masa itu terbukti menghambat kemajuan upaya-upaya perjuangan kesetaraan rakyat pekerja yang tertindas secara struktur ekonomi dan terbuntungi hak-hak politiknya.

Lu Hsun sendiri meski memang menerima dan menjadikan realisme sosialis sebagai sebuah pijakan dasar bagaimana ia kemudian menghasilkan karya-karya sastranya. Namun Lu Hsun tidaklah melihat bahwa realisme sosialis itu sendiri sebagai sebuah dogma. Sebab ketika realisme sosialis menjadi dogma, maka yang akan terjadi kemudian membuat karya-karya yang bertolak dari realisme sosialis tidak lagi mengabdi kepada rakyat sebagai produsen kebudayaan, tetapi hanya akan terjebak pada pengabdian konyol kepada partai sosialis itu sendiri. Lu Hsun menerima realisme sosialis sebagai sebuah panduan ideologi dalam proses estetik karya seni. Bagi Lu Hsun, seni tetaplah tidak bisa digantikan posisinya dalam masyarakat dan kebudayaan itu sendiri. Seni juga kemudian adalah sebuah ciri sendiri yang haruslah mendapat pembedaan jelas dari sebuah propaganda baku dan membosankan ala partai sosialis. Seni dan kelenturannya haruslah terus berdialektika dan menghasilkan puncak-puncak keagungannya yang mengabdi pada kepentingan pembebasan kaum tertindas itu sendiri.

Bagi Lu Hsun, sebuah karya yang bertujuan mengabdi pada kepentingan pembebasannya haruslah benar-benar mendapat perhatian serius dari produser karya seni yang berkomitmen akan hal itu. Itulah yang membuat hasil produksi seorang produser karya seni kemudian akan mampu dikenali sebagai karya seni ditengah-tengah masyarakat meski ada halangan dan hambatan dari kebudayaan-kebudayaan lama yang mengilusi dan membuat rakyat tertindas melupakan posisinya yang sedang diinjak. Karya seni itu sendiri yang kemudian akan membela dirinya sendiri serta menunjukkan karakter keberpihakannya terhadap ketertindasan rakyat, yang pada akhirnya akan pula menjadi petunjuk dan manifestasi nyata sikap keberpihakan si produser karya seni yang menghasilkan karya tersebut. Manifestasi lewat cara itulah yang harusnya dijalani oleh sebuah karya yang mengaku mengabdi pada kepentingan cita-cita mulia sosialisme.

Selain Lu Hsun sendiri, Mao Tse Tung adalah salah seorang teoritisi Marxis yang juga menaruh perhatian serius terhadap perkembangan dan peran kesenian dalam upayanya memperjuangkan kebebasan rakyat yang tertindas. Lewat bukunya Talks at Yenan Forum on Literature and Art, Mao berusaha menjelaskan betapa pentingnya posisi seni dan betapa bahwa seni tidaklah mungkin digantikan oleh perjuangan dalam bentuk apapun. Medan perjuangan kesenian dalam upayanya memperjuangkan cita-cita sosialisme adalah medan perjuangan yang tidak bisa digantikan dengan tentara maupun propaganda partai. Keunikan yang dimiliki oleh seni itu sendiri serta posisi strategisnya sebagai bagian masyarakat yang membuat posisi ini sevital titik-titik lain dalam bagian besar perjuangan sosialisme itu sendiri. Itulah posisi para produser karya seni dalam gelombang sosialisme.

Mao sendiri tidak pernah berupaya memberikan sebuah bentuk baku tentang apa dan bagaimana sebuah karya dapat dikategorikan sebagai karya realisme sosialis. Hal ini disebabkan kepercayaan Mao sendiri bahwa karya-karya seni yang merupakan ciri masa lalu dapat direproduksi lagi dalam bentuk agar sesuai dengan kondisi zaman dimana ia kemudian lahir. Namun yang terpenting adalah reproduksi nilai yang tentu saja dimaksud adalah nilai-nilai sosialisme itu sendiri yang bertujuan untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat.

Namun orang yang dianggap paling menaruh perhatian terhadap realisme sosialis adalah Georg Lukacs, seorang Marxis dan kritikus seni berkebangsaan Hungaria. Meski tak bisa dilupakan bahwa ia menjadi orang yang paling keras mengkritik realisme sosialis Rusia yang di kemudian hari setelah Stalin berkuasa didominasi oleh kelompok Proletkul’t. Bagi Lukacs, realisme sosialis haruslah memberikan penekanan terhadap hubungan-hubungan sosial sebagai basis dasar estetikanya. Itu yang membuat posisi manusia dalam realisme sosialis tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang statis. Sebab hal itu malah akan menjerumuskan hasil karya tersebut kepada subyektifisme dan sloganisme semata.

Menurut Lukacs, karya seni khususnya sastra mesti dinamis, menata karakter-karakter dalam perspektif sejarah sehingga sebuah karya seni yang bercirikan realisme sosialis haruslah menunjukkan arah maju, perkembangan yang jelas dan motivasi yang kuat untuk meningkat. Hal ini hanya dapat dicapai apabila pola gerak sejarah mendapat tempat dalam proses menuju manifestasi karya itu sendiri. Ini adalah sumbangan Lukacs paling vital bagi realisme sosialis yang dikemudian hari menjadi panduan bagi para produser karya seni yang ikut memperjuangkan cita-cita sosialisme.

Ia adalah orang yang berjasa besar membuka mata banyak orang terhadap karya-karya seni di masa lampau yang juga mengandung realisme sosialis meski dalam bentuk dan kesesuaian zamannya masing-masing. Kajian-kajiannya terhadap karya-karya sastra klasik menjadi pembuktian akar sejarah realisme sosialis itu sendiri. Bahwa di tiap masa telah ada upaya-upaya nyata dari sekelompok produser seni untuk kemudian dalam karya-karyanya melakukan kritik terbuka atas posisi ketimpangan hubungan manusia dengan manusia yang lain akibat hubungan ekonomi yang menindas.

Walau memang, Lukacs secara tegas menunjukkan penolakannya terhadap karya-karya seni yang mengeksplorasi teknik dan futuristik. Simbolisme adalah salah satu aliran seni yang dianggap Lukacs tidak akan mampu dinikmati oleh masyarakat awam yang sedang dalam ketertindasannya. Baginya sebuah karya berciri realisme sosialis haruslah dengan mudah dipahami oleh masyarakat oleh karena karya tersebut mengemban tanggung jawab penyadaran. Lukacs menuduh karya-karya seni yang dihasilkan sebagai bagian dari eksplorasi teknik adalah bagian dari upaya-upaya memukul mundur dan makin membenamkan kesadaran masyarakat. Secara tidak langsung, Lukacs menuduh para produser karya seni tipikal ini sebagai musuh cita-cita sosialisme yang berupaya mengangkat derajat manusia yang termarginalkan.

Hal ini ditentang secara terbuka oleh Bertold Brecht dalam eseinya Against Georg Lukacs. Brecht yang juga adalah seorang Marxis dan produser seni dari Jerman menuduh Lukacs akan membuat sebuah karya seni terpenjara dalam bentuk-bentuk formal yang tidak mengalami pertumbuhan serta menunjukkan kemajuan itu sendiri. Bagi Brecht, seni haruslah terus mengalami metamorfosis dalam bentuk meski ia mengemban nilai sosialisme berupa upaya menyadarkan masyarakat yang sedang tertindas.

Eksplorasi bentuk dan teknik karya seni tetaplah penting meski karya itu sendiri mempunyai misi ideologis. Sebab hal itu adalah sebuah pembuktian terhadap puncak-puncak estetik yang adalah sifat dasar dari seni itu sendiri. Kebakuan yang ditawarkan Lukacs adalah upaya membirokratisasikan karya seni. Bagi Brecht, bentuk dan teknik yang baru hadir memang pada awalnya akan menjadi susah untuk dimengerti oleh kalangan awam. Namun ini dapat menjadi pintu masuk untuk mendidik dan mendorong kemajuan pengetahuan dalam masyarakat itu sendiri yang mana hal itu adalah salah satu cita-cita sosialisme.

Brecht melihat bahwa bentuk karya seni hari ini juga berasal dari sebuah proses eksplorasi bentuk dan teknik. Sebuah hasil inovasi yang lahir pada sebuah masa oleh hasil kerja nyata sebuah generasi. Maka penolakan terhadap eksplorasi bentuk dan teknik sama sama sebuah upaya menolak penemuan baru yang justru dapat mendorong kemajuan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Bagi Brecht, ketidakmampuan masyarakat memahami bentuk dan teknik dalam karya seni diakibatkan oleh hegemoni kapitalisme yang membuat kesadaran masyarakat jalan di tempat. Dan untuk membongkar kesadaran semu yang telah berurat akar dalam masyarakat itulah, eksplorasi bentuk dan teknik menduduki posisi yang sangat penting.

Di Indonesia sendiri, referensi tentang realisme sosialis itu sendiri tak banyak ditemukan karena proses penghapusan sejarah yang dilakukan oleh Orde Baru. Total mungkin penjelasan teoritik tentang realisme sosialis datang dari sebuah risalah yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang kemudian dibukukan yang berjudul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Ini adalah salah satu penjelasan tentang realisme sosialis yang mungkin paling bisa menjelaskan tentang apa itu realisme sosialis dalam kerangka gerak hidup kesenian khususnya sastra di Indonesia dan yang paling terutama ditulis oleh orang Indonesia itu sendiri.

Pram juga dalam risalah ini melakukan telaah dan penarikan batas antara apa yang ia sebut dengan seni sosialis dan apa itu seni realisme sosialis. Menurut Pram, ini sama pentingnya melakukan pembedaan antara sosialisme utopis dan sosialisme ilmiah. Penarikan batas ini yang akan dapat membedakan secara jelas perbedaan mendasar karya-karya seni yang diproduksi. Batas ini sendiri dimaksudkan Pram untuk menjadi alat ukur menilai karya-karya seni yang lahir sebelum LEKRA dan sesudah LEKRA berdiri.

Bagi Pram, seni sosialis adalah karya-karya seni yang dihasilkan oleh produser seni yang sangat dipengaruhi oleh ketimpangan-ketimpangan sosial sehingga mendorong seorang produser seni untuk menuangkannya dalam bentuk karya seni. Karya seni sosialis memang telah melakukan pembukaan pintu analisa sosial bahwa ada proses marginalisasi manusia oleh manusia yang lain. Namun semuanya lebih dilandaskan pada komitmen sosial si produser seni itu sendiri dan bukan karena latar ideologi sosialisme.

Karya-karya seperti Hikayat Siti Mariah yang ditulis oleh R.M. Tirto Adhi Surjo, Hikayat Kadirun-nya Semaoen, Student Hijo-nya Marco Kartodikromo, dan Rasa Merdika yang ditulis oleh Soemantri adalah contoh karya sastra yang baru tahap pada seni sosialis itu sendiri. Dalam kacamatan Pram, di karya-karya seni sosialis belum terlihat keinginan tegas dari tiap produsernya untuk mengkontradiksikan antar kelas yang berseberangan kepentingannya. Antara tuan tanah dan tani penggarap, antara buruh dan pemilik pabrik, antara penjajah dan yang terjajah. Karya-karya seni sosialis sering terjebak pada tradisi ilutif happy ending yang semu dan tidak mampu menjelaskan sampai selesai bagaimana sebuah perjuangan yang telah dimulai.

Walau begitu, Pram menaruh hormat yang tinggi kepada para produser seni di masa seni sosialis itu sendiri. Pram mengerti keterbatasan ideologi tentang apa sesungguhnya sosialisme itu sendiri ditambah lagi dengan tradisi feodalistik yang mau tak mau mempengaruhi pola pikir dan pola tindak sehingga akan kentara dalam pola kerja si produser seni tersebut. Pram menyebutnya warisan feodalisme ini sebagai buntut-buntut yang dibawa dari asal sosial. Karya-karya pra-LEKRA ini dihasilkan oleh kalangan intelektual gerakan yang dalam pandangan Pram masih terjangkiti penyakit feodal. Ini yang membuat dalam karya-karya mereka, belum ada keberanian secara ideologis untuk menjelaskan serta membeberkan secara terang-terangan tentang konfrontasi kelas karena faktor ekonomi tersebut.

Setelah LEKRA berdiri pada 1950, Pram melihat ada loncatan besar dalam persoalan ideologis di bidang kesenian sehingga melahirkan sebuah corak baru dalam proses menghasilkan karya seni itu sendiri. Perbedaan yang dimaksud Pram adalah soal kejelasan landasan filsafat Marxis yang digunakan sebagai basis dasar karya seni tersebut sehingga karya tersebut dapat dianggap adalah gambaran sejati realisme sosialis di Indonesia.

LEKRA sendiri pada masa itu berubah menjadi sebuah organisasi payung kesenian dan kebudayaan yang benar-benar mendasari semua proses kerja keseniannya pada pembacaan realitas ekonomi politik dengan pendekatan Marxis secara terang-terangan. Dengan mengatakan bahwa rakyat adalah pencipta kebudayaan, LEKRA telah menegaskan sebuah garis tegas pemisah antara sebuah kerja kesenian yang dilandasi ketidakjelasan akan keberpihakan dan proses kesenian yang lahir, bertumbuh dan hidup di tengah rakyat dan terutama mempunyai komitmen serius terhadap semua upaya pembebasan kelas yang hari ini tertindas secara ekonomi dan politik.

Karya-karya seni yang kemudian dihasilkan LEKRA pada akhirnya memang khas karena pendekatan yang berbeda yang jelas tak bisa dilakukan oleh setiap produser seni yang tidak memiliki kemampuan pemahaman Marxis yang menyeluruh dan mendalam. Meski akhirnya hancur akibat sapu rata Orde Baru pada tahun 1965, LEKRA telah meninggalkan anak-anak tangga yang pada masanya adalah puncak-puncak pencapaian dari setiap proses panjang sebuah kerja serius pengabdian diri di bidang kesenian untuk pembebasan rakyat tertindas. Anak-anak tangga yang pada hari ini masih saja samar-samar bentuknya yang ditinggalkan sebagai titian maju untuk melompat lebih tinggi bagi generasi hari ini dengan prosesnya sendiri. Proses yang unik dan khas untuk tiap-tiap generasi karena harus menyesuaikan dengan kondisi ekonomi politik di mana si produser seni dan karyanya itu hadir. Sesuatu yang sayangnya luput dimengerti oleh generasi hari ini yang gagap dalam meniti langkah sendiri. Generasi yang kemudian gagal untuk membaca realitasnya dan pada akhirnya terjebak pada kekakuan bahasan yang tidak estetik dan miskin ideologi.


WAJAH KINI REALISME SOSIALIS DI INDONESIA

Harus diakui, pasca kehancuran LEKRA secara organisasional dan ideologis, tak ada lagi organ kesenian yang tampil ke depan mengusung realisme sosialis dalam sebuah perjuangan pembebasan rakyat yang termarginalisasi sehingga terus hidup dalam kebodohan dan usia bertahan hidup yang semakin pendek karena pendidikan dan kesehatanyang mahal tak terkira. Total, bisa dikata bahwa gerakan kesenian yang mengabdi kepada rakyat sebagai si pencipta kebudayaan terpukul mundur jauh kebelakang bahkan hampir menemui ajalnya.

Kemenangan kubu produser seni yang berbendera individualisme dan egosentrisme pada 1965 mendorong mundur gerak kesenian ke era Balai Pustaka yang kompromis dan mengabdikan diri pada kepentingan penguasa sehingga melahirkan karya-karya seni yang justru melunturkan semangat rakyat miskin untuk merebut hak-haknya yang dirampas. Kubu ini juga yang pada akhirnya berhasil mendorong kanonisasi dalam berbagai bentuk kesenian sehingga kebebasan ekspresi menjadi terkekang dan memacetkan keran inovasi kreatif dalam kerangka perjuangan menuju sosialisme. Kelompok pekerja seni ini mengasingkan kesenian ke puncak-puncak semedi dan berhasil memenangkan konstruksi pemikiran tentang karya seni yang mahasempurna yang berinduk dari perenungan-perenungan subjektif yang teralienasi dalam kesombongan.

Ini semua dapat ditemukan buktinya ketika menyusuri jejak-jejak peninggalan karya seni sejak 1965 dan hingga kini masih dominan. Betapa karya seni dianggap sebagai milik dari seorang individu semata dan sehingga mendandani diri dengan menor dalam bungkusan simbol-simbol. Menjadi produser seni kemudian didorong sebagai sebuah profesi yang mengejar akumulasi modal untuk keuntungan pribadi dengan menjajakan karya-karya seninya di galeri-galeri mahal, museum-museum, panggung-panggung tertutup yang tak mungkin diakses oleh tangan-tangan kurus kelaparan. Sifat yang sejatinya adalah karakter utama dari neoliberalisme yang berhasil diinjeksikan sebagai kesadaran berkesenian hari ini. Para produser seni kemudian menjadi sebuah kelas menengah dengan status tertentu. Status yang diperoleh sebagai kompensasi pengabdian mereka terhadap sifat dekstrutif kapitalisme terhadap kemanusiaan. Sedang kemanusiaan yang kelompok ini usung adalah kemanusiaan yang hanya menonjolkan kemahiran melanggengkan penindasan ekonomi politik di tengah rakyat. Dan efeknya, adalah menghilangnya seni kerakyatan yang seharusnya menjadi bahan bakar untuk mendorong kemajuan peradaban manusia.

Sejak kemenangan Orde Baru, para produser seni kemudian melarikan diri dari panggung pertempuran antara yang menjajah dan terjajah. Bahkan bisa dikata, sejak itu tak ada lagi kolektif pekerja seni yang secara sadar mempunyai kesadaran ideologis. Seni kemudian menjadi ajang bunuh-bunuhan antar sesama produser seni dengan kompetisi yang tidak sehat dengan sebuah standarisasi yang diciptakan oleh segerombolan kecil elit yang mendapat restu dari penguasa fasis, Soeharto. Seni tak lagi diijinkan untuk kembali naik ke panggung politik dan membicarakan tentang kelaparan, pembodohan, pelecehan dan segala tindakan dehumanisasi yang sedang terjadi. Kooptasi besar-besaran yang dilakukan sebagai strategi mencegah tumbuhnya lagi kesadaran garis berkesenian yang revolusioner dan tegas mengusung cita-cita sosialisme sebagai anti tesa neoliberalisme yang dicukongi oleh pemerintahan republik ini.

Karya-karya yang dianggap monumental berdasarkan standarisasi diatas di kemudian waktu berikut harus diakui justru datang dari kubu seberang seperti Teater Utan Kayu (TUK) yang sangat homogenistik dan kini SALIHARA yang dengan bersemangat berkampanye untuk Goenawan Muhammad sebagai figur produser seni di Indonesia. Meski memang, karya-karya itu tak lebih dari ekpresi individualis dengan metafor akut nan rumit yang dengan sengaja hanya menunjukkan kemampuan memutar-mutar tanpa ujung keberpihakan yang jelas. Ini tak lepas dari watak pengecut dan jelas tidak terlihat adanya sebuah pembacaan yang berdasar pada estetika filsafat Marxis, sehingga terlihat jelas bahwa pembacaan terhadap kondisi sosial yang sedang berlangsung disekitar justru hanyalah produk egosentrisme sang produser tanpa sebuah keterkaitan pada pola determinisme ekonomi yang menjadi dasar ketimpangan hubungan sosial budaya hari ini. TUK dan SALIHARA kemudian atas sokongan modal para borjuis yang mengabdi kepada kapitalisme menyebarkan virus paham berkeseniannya ke seantero republik ini. Penjara-penjara baru terhadap inovasi di ciptakan dan disentralisasi pengawasannya. Dan realisme sosialis hampir tak terdengar gaungnya. Sekarat dan hampir menemui ajalnya di tangan para produser seni yang memilih menjadi antek sistem kapitalisme.

Kehadiran Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKER) pada tahun 90-an yang kemudian berubah nama menjadi Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKKER) juga ternyata belum sanggup melewati patok-patok batas pencapaian yang diletakkan LEKRA sebagai titik termaju gerakan kesenian di Indonesia. Selain Widji Thukul bersama puisinya, Jhon Tobing dengan lagu-lagunya, Semsar Siahaan dan lukisan-lukisannya serta Linda Christanty yang menaiki Kuda Terbang Mario Pinto, otomatis tak ada lagi seniman dari JAKKER yang berhasil menegaskan garis baru sebagai warisan pencapaian estetik sebuah masa dimana perlawanan rakyat terhadap kediktatoran justru sedang tumbuh bergeliat setelah sekian lama terbungkam. Bahkan kalau mau jujur, nama-nama diatas justru jarang dikenal sebagai aktivis JAKKER. Mereka justru dikenal karena proses karya mereka yang menyatu dan hidup dalam sengal nafas perjuangan rakyat yang sedang berkembang.

Semboyan JAKKER semua orang adalah seniman, setiap tempat adalah panggung justru timpang dalam berbagai hal. Secara harafiah, frase seni-man yang lebih mengacu pada arti maskulin seperti menunjukkan feminisme yang tidak tuntas dan watak patriarkis feodal yang kental dalam organisasi JAKKER sendiri. Klaim JAKKER sebagai organisasi perjuangan kesenian dalam perjuangan dengan mengusung tegas realisme sosialis justru timpang disini sana. Begitu terlihat bahwa JAKKER hadir dalam suasana yang terburu-buru. Tidak siap dan berdiri sayu diatas pondasi yang rapuh. Sebuah gerakan seni yang lama terbuntungi dan kini sedang berupaya belajar merangkak lagi namun memaksa diri untuk segera melompat.

Seperti mengangkangi proses panjang jatuh bangun LEKRA dalam menegaskan sumbangsih dan peran vital seni dalam medan perjuangan pembebasan rakyat miskin, JAKKER yang hadir kemudian cenderung gagap memahami realisme sosialis itu sendiri. Nafas Lukacsian yang kaku dan birokratis serta miskin eksplorasi bentuk dan teknik tampak dalam karya-karya seni yang sering dipublikasikan oleh JAKKER dan jejaring seninya pasca generasi Widji Thukul. Semboyan LEKRA seni sebagai alas kaki revolusi justru diartikan terbalik dengan melakukan degradasi makna dan subordinasi kerja sehingga membuat posisi produser seni dan karyanya kemudian benar-benar jadi sekedar alas kaki. Tak lebih!

Miskin kreatifitas JAKKER ini kemudian berjangkit parah pada miskin produksi karya sehingga sepinya propaganda seni dalam perjuangan sosialisme menjadi ruang timpang lainnya. JAKKER seperti terbuai oleh hiruk pikuk panggung lain dan meninggalkan panggungnya sendiri. Ini bisa terlihat pada sikap terakhir JAKKER yang memilih berkongsi dengan Partai Bintang Reformasi (PBR) pada PEMILU 2009 kemarin, untuk mengejar impian duduk nikmat di kursi parlemen atas nama gerakan seni yang tak jelas tubuh dan eksistensinya.

JAKKER secara jelas tak mampu menunjukkan pesona seperti LEKRA dulu. Malah terlihat jelas sebuah gejala plagiatisme yang merebak di kalangan ini atas nama realisme sosialis yang kemudian dipahami sebagai kata-kata murahan dengan kadar estetik yang sama rendahnya. Sebuah pelecehan yang berusaha dibenarkan dengan bersembunyi pada teori-teori Lukacs yang terbukti gagal memberi bentuk pada sebuah karya seni dengan nafas Marxisme. Ini seperti pembuktian rendahnya kemampuan intelektual para produser seni yang bekerja dan berproses di JAKKER sendiri.

LEKRA dengan semboyan meninggi dan meluasnya adalah rangkuman sari kerja dan pengetahuan mereka yang tidak hanya bertumpu pada kemampuan teoritik semata, tapi mewujud dalam praktek kerja produksi karya yang adalah hakekat dasar kerja seorang produser seni. Ini sama mudahnya dengan melihat bahwa seorang petani dengan pengetahuannya haruslah mewujud dalam bentuk langsung bertani di sawah ataupun ladang. Hal ini yang sampai sekarang luput dimiliki oleh setiap organisasi kesenian yang mengaku mengusung realisme sosialis dalam bentuk perjuangan keseniannya.
Di satu sisi, hal ini tampak bisa dimaklumi mengingat ada jarak yang terbentang begitu panjang sejak kehancuran LEKRA yang pada akhirnya membabat semua bibit revolusioner pemahaman seni kerakyatan. Namun hal itu juga tak bisa dijadikan tumpuan pembenaran terhadap kondisi hari ini dimana gerakan seni tak muncul dengan ke-khas-annya dan mengambil tempat di medan pertempuran kelas yang kini semakin antagonistik.

Harus diingat misalnya, medan pertempuran LEKRA pada masanya adalah medan pertempuran kesenian. Dengan segenap kemampuannya, LEKRA menunjukkan komitmen kuat untuk memerangi setiap bentuk seni yang hanya mengabdi pada individualisme dan egosentrisme serta pemujaan terhadap ilusi bentuk dan teknik. LEKRA tak mengambil jarak dengan geliat perang kesenian yang didalamnya telah ada para produser seni yang berada disisi seberang. Justru sebaliknya, LEKRA menceburkan diri dan ikut bertarung hadap-hadapan dengan semua paham-paham kesenian yang tidak menunjukkan watak keberpihakan kelasnya. LEKRA tak alergi dengan berbagai hajatan seni nasional, karena sejatinya inilah ruang dimana para produser seni LEKRA menguji kemampuan propagandanya untuk mengajak sebanyak mungkin produser seni untuk menunjukkan keberpihakan kelasnya dan menegaskan sikapnya terhadap ketimpangan ekonomi politik oleh kapitalisme.

Setiap individu di dalam payung LEKRA menggunakan ajang-ajang borjuis ini untuk menegaskan sikap dan pandangan kesenian yang berpihak kepada kesetiaan di garis massa. Setiap momentum ini selalu dimanfaatkan sebagai ruang untuk menarik kembali posisi kesenian kedalam kehidupan rakyat. Tidak seperti ilusi borjuisme yang membuat kesenian menjadi sebuah ruang hidup yang terpisah dari geliat kehidupan rakyat sehingga kecenderungan individualisme dan egosentrisme menjadi nama lain dari kesenian. Penegasan itu dibarengi dalam praktek kerja yang kontinyu dan meningkat secara kualitas dan kuantitas.

Realisme sosialis hari ini tidak lagi dipahami sebagai sebuah spirit hidup melainkan sebuah susunan teoritik baku nan menakutkan dan sulit untuk digapai. Karya seni propaganda justru diartikan sebagai sebuah metode indoktrinasi dan pemaksaan kesadaran terhadap rakyat miskin yang terilusi oleh neoliberalisme hari ini. Ini yang membuat karya seni tampak garang, bukan kepada neoliberalisme yang menjadi musuh, melainkan kepada rakyat yang menjadi sasaran penyadaran. Pengingkaran terhadap apa yang sudah pernah dijelaskan oleh Lu Hsun, bahwa sebuah karya seni propaganda adalah sebuah karya seni yang tetap tak kehilangan sifat dasar seninya meski sarat dengan tujuan ideologis. Karya seni propaganda haruslah menunjukkan karakternya sehingga mampu membedakan diri dari karya seni yang diciptakan karya borjuis yang membuat kesadaran kelas rakyat tertindas semakin terpuruk jauh semakin dalam.

Karya seni sosialis dengan semangat humanisme proletarnya harus bisa mampu menunjukkan watak keberpihakan kelasnya sehingga ia akan menunjukkan pondasi yang berbeda dengan semangat humanisme kaum borjuis yang semata-mata menilik persoalan dari kulit luarnya tanpa menyentuh bagian terdalam, yakni ketimpangan relasi ekonomi politik hari ini yang menjadi sebab pemiskinan massal terus terjadi. Namun keberpihakan ini adalah sikap yang tidaklah murahan. Ia haruslah sebuah sikap yang estetik dan mempunyai semangat kepeloporan baik dalam muatan ideologis maupun dalam segi bentuk dan teknik. Sikap yang sederhana namun cerdik agar dipahami massa serta membawa kesadaran kelas yang akan mendidik massa untuk memperjuangkan kebebasannya dari penindasan. Inilah sikap sejati dari kesenian realisme sosialis.

Hari ini, kesenian dengan nafas realisme sosialis justru dipahami terbalik dalam pratek. Kegagalan ini tak lain disebabkan pengingkaran terhadap esensi kerja kesenian itu sendiri, yaitu produksi karya. Para produser seni hari ini menjadi malas sehingga tak memberikan efek domino dari kesadaran revolusioner si produser seni hingga ke massa rakyat yang masih terbutakan kesadarannya. Karya-karya yang hadir kemudian menjadi gersang dan tak punya akar historis dengan perjuangan massa hingga karya-karya seni ini dengan sendirinya menjadi terasing dari rakyat. Karya seni menjadi tetap pada posisinya seperti yang diharapkan oleh kaum neoliberalisme, artefak khusus yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang terpilih. Ini tak beda dengan menjerumuskan karya-karya seni ke dalam museum-museum yang diciptakan oleh kaum pemodal sebagai jurang pemisah karya seni dan rakyat miskin.

Dan seharusnya, kesenian dan karya seni yang berhaluan sosialis tidaklah perlu dibela dan diberikan penjelasan panjang lebar penuh teori. Itu akan terlihat dengan sendirinya pada sifat khas karya seni itu sendiri. Karya itu akan sanggup membela serta mendefinisikan diri sendiri kemudian akan mengambil ruang dalam ajang pertempuran antara kelas penghisap dan kelas terhisap. Saat itu, karya seni tidak lagi hanya menjadi milik si produser seni melainkan telah bertransformasi menjadi kepunyaan dari kolektif. Karya seni sosialis akan menjadi organisme yang mendorong dan meningkatkan daya hidup kualitas perjuang kelas ditengah-tengah massa melintasi batas geografis, organisasi dan waktu.

Lagu Darah Juang yang digubah Jhon Tobing adalah contoh konkretnya. Betapa kini lagu ini telah menjadi kepunyaan setiap barisan massa yang sedang meniti tangga perjuangan pembebasannya. Lagu ini terus terdengar didendangkan oleh setiap mulut-mulut yang kelaparan oleh karena pemerintahan pengecut yang dipunyai negeri ini. Nada demi nada, setiap lirik lagu ini hidup dan bernafas di tengah massa. Di tengah panas atau dibawah guyuran hujan, lagu ini terus mengalun dan menjadi penyemangat massa yang massif melebihi si produsernya sendiri. Karya itu terus bertahan melewati hantaman pentungan dan naik turun gerakan massa rakyat miskin di negara ini.

Sebuah baris dari puisi Widji Thukul, hanya ada satu kata: Lawan!!! juga telah berhasil membuktikan hal ini. Ia menjadi slogan yang tidak hanya tertulis dalam satu buah puisi saja, tetapi bermutasi bentuknya kedalam syair lagu, slogan perjuangan, guratan mural di dinding-dinding, hingga menjadi inspirasi lukisan-lukisan. Inilah hakekat seni realisme sosialis dalam sifat kepeloporannya. Tidak hanya maju dalam bentuk dan teknik, tetapi juga menjadi pendorong bagi kemajuan berpikir dan bertindak bahkan untuk karya-karya seni berikut yang lahir sesudahnya.

Namun ini tidaklah terjadi dalam sekejap waktu. Proses adaptasi dan menyatunya karya seni dalam rongga massa hingga diberikan ruang hidup dalam perjuangan membutuhkan waktu yang tidak serta merta. Rentang waktu inilah yang kemudian dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan sebuah karya seni mengejewantahkan sosialisme itu sendiri. Apakah karya seni itu cukup kuat dan ideologis sebagai kepingan kecil yang akan melengkapi sebuah gambaran utuh masa depan masyarakat yang sosialis ataukah ia hanya hasil dari kontemplasi yang berawal dari masturbasi si produser seni tanpa cita-cita.


FRONT SENI: KEBUTUHAN MENDESAK DAN PRIORITAS

Realisme sosialis yang hari ini telah bergeser menjadi sebuah pemahaman mengambang sehingga menjadi sulit terjelaskan kepada massa haruslah dikembalikan kepada ruang hidupnya dan diberikan tubuh yakni dalam bentuk karya seni yang mengandung pesan-pesan pembebasan. Dan hal ini mau tak mau mengundang konsekuensi bahwa harus ada persatuan yang tulus dari setiap seniman yang telah menegaskan sikap dalam garis politik keseniannya untuk mengkampanyekan sosialisme. Terbangunnya sebuah wadah bersama dalam bentuk front kesenian menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan jika memang kesenian revolusioner ingin hadir ditengah perjuangan massa.

Front seni yang didalamnya berisikan produser-produser seni yang berkomitmen kuat terhadap cita-cita pembebasan kelas tertindas dari kekangan sistem neoliberalisme. Front seni yang telah sepakat untuk mengabdikan proses kreatifnya kepada rakyat miskin dengan sepenuh hati dengan menghilangkan watak sektarianisme yang terbukti menghambat maju gerak kesenian revolusioner. Front ini haruslah dibangun di atas sebuah pelajaran atas sejarah kegagalan gerakan sosialisme di masa sebelumnya dan memasang target untuk melampaui segala bentuk pencapaian tertinggi gerakan sosialisme di masa lalu.

Front seni yang akan dibangun adalah jejaring berbagai kolektif kerja dan kelompok seni di berbagai daerah yang bertumbuh dan hidup dengan nafas kearifan masing-masing tempat. Perbedaan-perbedaan ini bukan harus dimusuhi dan kemudian dibumihanguskan, melainkan diolah menjadi sebuah formula baru untuk lebih menguatkan gerakan seni revolusioner. Inilah hakekat dari sebuah front seni. Sebuah persatuan organisasi multi kultur dan lintas aliran kesenian dan datang dari berbagai tempat di republik ini. Ruang yang mampu mengakomodir semua perbedaan untuk kemudian menjadi satuan kekuatan bersama dalam perjuangan.

Setiap individu yang tergabung dan menyatakan komitmen pengabdian terhadap perjuangan menuju sosialisme juga harus melibatkan diri dalam kerja-kerja praktek di lapangan. Ia haruslah terlibat aktif dalam pengorganisiran sektor-sektor rakyat, aksi radikalisasi bersama massa dan tuntutan perjuangannya. Ia tidak boleh melakukan pemisahan dengan melakukan dikotomi antara subjek dan objek inspirasi karya seni. Sebab dengan melakukan penyatuan spiritual seperti ini, setiap produser seni akan mampu melahirkan karya-karya seni yang berakar pada kondisi material di mana ia berada. Komitmen ini haruslah dijalani dengan serius dan dalam jangka waktu yang tidak terbatas sepanjang belum terwujudnya sosialis. Membangun proses kreatif mereka secara utuh dengan geliat kehidupan massa. Inilah yang dimaksud dengan kesetiaan di garis massa. Sesuatu yang harus dimiliki setiap individu produser seni revolusioner yang bergiat dalam front seni ini.

Namun yang harus dihindari adalah penyakit sentralisme birokratis ala Stalin agar tak berjangkit dalam front seni ini. Ini yang mengharuskan adanya kempimpinan yang kolektif di tingkat nasional dan bukan kepemimpinan tunggal. Bukan sebagai raja yang seenak perut memerintah jejaring seni yang berada di basis-basis. Melainkan kolektif ini adalah sebagai perwakilan dan juru bicara resmi dari front di tingkat nasional yang bisa merepresentasikan sikap dan cara pandang organisasi ini secara keseluruhan. Kepemimpinan yang diwakilkan kepada beberapa individu ini haruslah dengan jujur dan terbuka mengabdikan diri pada massa yang berada di basis-basis. Inilah pengertian demokrasi yang harus dijalankan dalam sebuah organisasi seni revolusioner di masa yang akan datang.

Front ini juga haruslah sebuah ruang yang bisa memberikan tempat bagi inovasi dan kreasi-kreasi baru lahir. Tidak boleh ada kanonisasi yang menjerumuskan pada homogenisasi hasil produksi karya seni, melainkan sebebas mungkin memberikan tempat kepada setiap keragaman bentuk dan teknik dalam menyokong perjuangan. Perdebatan, diskusi dan segala bentuk interaksi adalah dalam kerangka untuk saling memajukan. Termasuk memberikan ruang yang sama kepada tiap individu produser seni ataupun basis-basi seni untuk mengkritik secara benar setiap kesalahan, bahkan mengkritik jalan realisme sosialis itu sendiri untuk menjaga bahwa realisme sosialis tetaplah sesuatu yang dinamis dan kondisional serta tidaklah menakutkan dan statis. Inilah kebebasan berekspresi yang sejati. Kebebasan berkesenian dalam sebuah landasan bersama, landasan untuk perjuangan sosialisme.

Kebebasan ini adalah sebuah pernyataan sikap secara sadar dan bukan dengan ketertundukan karena keterpaksaan birokratis. Sikap yang lahir secara sadar menuntut tanggung jawab sepenuh hati dari setiap individu produser seni yang mau melibatkan diri dalam front seni revolusioner ini. Inilah kesadaran revolusioner yang harus dibangun dan disebarluaskan kepada setiap orang yang bermula dari front ini. Kesadaran ini penting keberadaannya, karena akan menjadi kompas gerak kreatif setiap produser seni dalam mendedikasikan karyanya untuk perjuangan sosialisme.

Front seni ini haruslah mendorong kemajuan dan penemuan puncak-puncak estetik baru. Eksplorasi bentuk dan teknik sebagai jalan pembuka menuju penemuan baru haruslah mendapat perhatian khusus dan tidak boleh dikesampingkan. Setiap individu dan kolektif yang tergabung dalam front ini haruslah menjunjung tinggi semangat kerja yang inovatif demi hasil sebuah produksi karya seni yang arus mampu menjadi alat pembongkar ilusi kapitalisme dalam alam pikir massa rakyat. Disinilah front seni ini menampakkan kepeloporannya. Sikap yang akan memandu massa rakyat dalam kereta besar perjuangan sosialisme.

Front ini haruslah sebuah front terbuka yang tidak sektarian, melainkan arena terbuka tempat orang bisa datang untuk belajar, bekerja sama, ataupun datang untuk berperang. Sebab tidak bisa tidak, dalam kondisi kesenian di Indonesia yang sudah terlanjur dikooptasi oleh pemikiran seni borjuisme, maka perang tak bisa dielakkan. Namun yang harus dimengerti, bahwa perang kesenian harus dipahami sebagai ruang untuk menguji kemampuan diri dan soliditas, ajang propaganda kepada massa yang lebih luas namun belum tercerahkan, dan tempat untuk menegaskan bukti bahwa panji realisme sosialis tidak hanya hidup dalam teks-teks buku teori melainkan dalam praktek kerja kreatif. Perang ini tidaklah dalam bentuk yang barbar. Melainkan ia harus dalam bentuk yang artistik, menarik dan cerdas meski tampil dengan balutan kesederhanaan. Di sini adalah tempat untuk membuktikan bahwa kegarangan realisme sosialis adalah kepada neoliberalisme yang menindas, bukan kepada manusia yang terpenjara. Realisme sosialis adalah gerakan seni humanis itu sendiri.

Organisasi payung kesenian yang akan dibangun ini adalah sebuah organisasi yang tidak hanya modern dari segi bentuk organisasi ataupun masa waktu ketika organ payung ini berdiri. Tapi ia sendiri haruslah modern dalam berpikir agar nyata modern dalam bertindak. Tidaklah boleh ia tinggal dan larut dalam bayang-bayang masa lalu sedemikian rupa. Melainkan sebaliknya, front ini harus mendorong sebuah perspektif kesenian masa depan dalam massa rakyat. Namun masa lalu harus tetap dihargai dan diberikan tempat sebagai bagian dari pelajaran untuk menjaga kita agar tetap awas. Tapi esensi dasar kerja organisasi ini tidaklah berupa penjiplakan-penjiplakan nilai dan bentuk pada masa lalu. Itu sebabnya nafas kerja organisasi ini bukanlah melap-lap hasil-hasil kebudayaan pada masa lalu. Melainkan ia harus secermat mungkin merumuskan serta menemukan sebuah bentuk baru dari mutasi nilai positif hidup pada masa lalu agar sesuai dengan hari ini. Inilah pengertian seni revolusioner yang modern. Ia tidak terputus dari masa lalu. Tidak juga berdiri jauh sebelum masa depan. Melainkan ia adalah tali penghubung antara generasi kemarin, kita yang hari ini berdiri, dan mereka di esok nanti.

Front seni ini haruslah terus menerus secara aktif melibatkan diri dalam berbagai aktifitas kerakyatan dengan tetap mengusung seni sebagai alat propagandanya. Tidaklah boleh ia mengasingkan diri sehingga tampak elitis. Melainkan harus sebanyak dan sesering mungkin melakukan interaksi dengan massa rakyat agar kemudian dapat mampu memahami kondisi kebutuhan massa. Sehingga kemudian, seni propaganda yang dihasilkan adalah yang berbasis kebutuhan. Bukan semata-mata hasil terkaan ataupun khayalan imajinatif dari si produser seni tersebut. Inilah pengertian turba yang harus dimengerti dan dijalankan sebagai komitmen dasar yang mengikat semua individu yang ada dalam organisasi ini nantinya.

Organisasi seni revolusioner ini harus menegaskan sikap untuk berperang melawan neoliberalisme yang destruktif, feodalisme yang membelenggu kemajuan, dan militerisme yang selalu mengancam demokrasi. Perang ini harus bersenjatakan sebuah propaganda yaitu karya seni. Karya yang harus berakar dari gejolak di tataran paling bawah massa rakyat dan membumbung tinggi dalam inovasinya. Karya seni dalam organisasi ini haruslah mencerminkan sifat-sifat dasar realisme sosialis itu sendiri. Jikapun ia sederhana itu bukan berarti apa adanya, estetik tapi tidak munafik, berbentuk mungil tapi tidak berwawasan kerdil, harus berani tapi tidak gegabah diri, mampu mendidik dengan cara yang cantik, demokratis selalu dalam pikir, ucap dan laku, dan harus kreatif tapi tidak hegemonik. Inilah pedoman-pedoman yang harus dijadikan sebagai nafas hidup proses kreatif front seni ini sekaligus menjadi milik setiap individu yang ada di dalamnya.

Inilah yang harus dilakukan sebagai prioritas mendesak gerakan kesenian di republik ini. Tidak bisa untuk ditawar lagi mengingat betapa kini neoliberalisme sudah tak lagi memberikan waktu kepada kita untuk sekedar menimbang-nimbang dan larut lagi dalam kontemplasi yang rumit dan melelahkan yang sebenarnya tak lain adalah masturbasi pribadi. Keberadaan front seni ini mesti disikapi sebagai kebutuhan gerak maju perjuangan sosialisme. Dan tanggung jawab ini harus dipikul oleh setiap produser seni yang telah sadar dan berani terbuka lagi untuk mengkampenyekan kebenaran realisme sosialis sebagai jalan keluar dari kerangkeng ilusi humanis borjuis.

tak ada lagi jalan kembali
tak boleh lagi melarikan diri
ini tugas tiap generasi
pilih jadi manusia sejati
atau membudak sampai mati

diam hanya milik batu*
itu kata kawanku
dan aku bukan batu layu
di tetesi air hingga luruh

aku memilih perang panjang
daripada hidup tenang di bawah ketakutan

ini kata aku ulang: SOSIALISME!

*salah satu baris dalam puisi Jika Nanti Anak-Anak Kita Lahir, karya Arie Oktara
(Kepada Kawan (Lagi), Andre GB)

Bookmark and Share
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekologi [merah] - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger