Krisis Pangan dan Energi; Krisis Dunia dan Dampaknya bagi Indonesia - ekologi [merah]
Headlines News :
Home » » Krisis Pangan dan Energi; Krisis Dunia dan Dampaknya bagi Indonesia

Krisis Pangan dan Energi; Krisis Dunia dan Dampaknya bagi Indonesia

Written By ekologi [merah] on 9.01.2008 | Senin, September 01, 2008

Dunia Dalam Krisis
Krisis dunia saat ini terhitung sebagai fase paling buruk sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Depresi ekonomi dunia telah di ambang pintu menuju jurang krisis yang semakin dalam. Krisis energi, krisis finansial, krisis pangan dan krisis ekosistem telah berpadu. Hal ini semakin menjelaskan wajah dunia di bawah kekuasaan kapitalis. Kemiskinan dan kelaparan telah memicu berbagai kerusuhan sosial dan krisis politik yang telah merambah negeri-negeri terbelakang seperti Afrika, Amerika Latin dan Asia. Forum G7 (Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan AS) dalam bulan April 2008 ini, melahirkan komunike bersama untuk mengatasi defisit keuangan akibat krisis finansial yang kian tak teratasi dan krisis pangan yang telah mengoyak negeri-negeri miskin seperti di Haiti dan Kamboja. Ekonomi dunia, menurut catatan IMF pada bulan April, hanya mengalami pertumbuhan 3,7 persen atau mengalami koreksi rata-rata 1 persen akibat hantaman berbagai badai krisis tersebut.
Gejala yang paling jelas adalah apa yang tengah menimpa perekonomian Amerika Serikat. Sejak semester kedua 2007, krisis finansial di Amerika Serikat belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Justru sebaliknya, semakin banyak perusahaan keuangan besar raksasa dunia ”babak belur” karena kerugian besar dalam transaksi subprime mortgage, yang kemudian menular ke berbagai instrumen keuangan lainnya. Betapa parah dampak krisis keuangan bagi perekonomian AS, hal itu tercermin dari pertemuan Federal Reserve, 18 Maret 2008, ”… Penentu kebijakan The Fed menilai harga-harga yang berjatuhan di dalam negeri dan kekalutan pasar keuangan dapat mengarah kepada kecenderungan menurun yang jauh lebih hebat dan berlarut-larut daripada yang diperkirakan pada saat ini” (The Wall Street Journal, 9 April 2008). Situasi ini semakin menjelaskan, bagaimana teoritisi dan ekonom kapitalis seperti serdadu tua yang semakin ompong seiring dengan semakin tua dan sekaratnya kapitalisme itu sendiri.

Tak ada lagi keraguan bahwa perekonomian AS telah memasuki resesi. Pada triwulan I-2008 perekonomian AS hampir bisa dipastikan mengalami kontraksi, atau pertumbuhan negatif, dan akan berlanjut pada triwulan kedua. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS 2008 mengalami koreksi paling tajam. Persis setahun lalu, perekonomian AS tahun 2008 diproyeksikan tumbuh 2,8 persen, tetapi April tahun ini sudah terpangkas menjadi hanya 0,5 persen. Jumlah pengangguran juga meningkat pesat di AS. Mengingat sumbangan AS dalam perekonomian dunia masih dominan, yakni 25,5 persen pada tahun 2007, sudah barang tentu kemerosotan ekonomi di negeri imperialis ini akan berimbas pada perekonomian dunia.

Perang agresi, sebagai salah satu instrumen politik kekerasan imperialis yang paling brutal dewasa ini, tak kalah besar memberi kontribusi kerusakan ekonomi AS. Menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya berjudul “The Three Trillion Dollar War: The True Cost of the Iraq Conflict`, ia menyimpulkan bahwa operasi-operasi militer AS di Irak telah melampaui ongkos perang 12 tahun di Vietnam dan lebih dari dua kali lipat biaya yang dikuras dalam Perang Korea. Perang ini satu-satunya dalam sejarah AS yang menelan biaya lebih dari ongkos yang mesti dibayar dalam Perang Dunia II, ketika 16,3 juta tentara AS berperang selama empat tahun terakhir, yang menelan biaya sekitar lima trilyun dolar. Jika dikalkulasi dengan nilai dolar sekarang, perang Irak menguras biaya 400.000 dolar per tentara. Sebuah angka yang fantastis bila dikalikan jumlah pasukan pendudukan AS di Irak yang jumlahnya lebih dari 100.000 tentara.

Namun politik agresi dan terorisme negara dari kekuatan imperialis ini belum akan berakhir. Perebutan sumber-sumber kekayaan alam khususnya energi, yang telah menjadi penyulut api peperangan di Irak dan Afghanistan; masih akan terus berlangsung dan semakin intensif. Ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi dunia (negeri-negeri imperialis vs Dunia ketiga), dan gesekan kepentingan antar-negeri imperialis sendiri akan semakin meruncing yang bisa menyulut krisis keamanan dunia setiap saat. Di tengah situasi dunia yang demikian krisis, kampanye tentang ‘neo-liberal’ sebagai solusi ekonomi dunia juga semakin menunjukkan kebangkrutannya. Ia tak ubahnya menjadi mitos kemakmuran yang tak akan pernah dicapai. Berbagai terminologi seperti de-nasionalisasi, penanaman modal, liberalisasi perdagangan, privatisasi dan deregulasi; semua resep ini semakin merusak negeri-negeri terbelakang, rakyat pekerja, kaum perempuan dan lingkungan.

Privatisasi; Akar dari masalah ini tidak hanya pada aspek impor dan harga saja. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan sesungguhnya bertentangan dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog diprivatisasi, industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti juga menjadi konsumen. Privatisasi ini berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan oleh sistem monopoli atau oligopoli (kartel).

Liberalisasi; krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya, negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—justru semakin meningkat. Indonesia pun dibanjiri pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur sejak 1995 hingga sekarang. Hak ini menimbulkan dampak yang luar biasa bagi produksi dan kehidupan petani kita.

Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang terakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.

Globalisasi “pasar bebas” adalah slogan dari kapitalisme untuk merayakan perkiraan mereka bahwa sejarah sudah selesai dalam kapitalisme dan demokrasi liberal. Motif kampanye ini untuk menghancurkan negeri-negeri dan rakyat pekerja yang berjuang untuk kemerdekaan nasional, nasionalisasi dan sosialisasi dari ekonomi mereka. IMF sebagai institusi promotor dari berbagai kebijakan neo-liberal juga semakin bangkrut. Salah satu lembaga piaraan imperialis itu semakin memperjelas diri sebagai lembaga parasit dunia. Masih dalam bulan April 2008, IMF terpaksa menjual simpanan berupa 400 ton emas karena beberapa negara pengutang yang biasa tercekik dengan bunga tinggi mulai mengembalikan utang mereka lebih dini untuk menghindari beban bunga yang tinggi.

Sistem kapitalisme telah melewati periode keemasannya. Dunia kapitalis tidak akan mendapati lagi kemunculan negeri-negeri persemakmuran (welfare-state) sebagaimana terjadi pada era booming kemakmuran tahun 1970-an hingga 1980-an. Pemangkasan subsidi sosial, kesehatan, pendidikan, dsb, menjadi kenyataan pahit bagi rakyat di tengah kondisi penghidupan yang semakin dimiskinkan; baik di negeri-negeri maju belahan Utara maupun negeri-negeri bergantung di belahan Selatan. Di tengah berbagai upaya kebijakan imperialis menangani krisis dengan cara mengintensifkan penghisapan dan penindasannya terhadap rakyat dunia, khususnya rakyat di Dunia Ketiga; kabar yang terpenting adalah kebangkitan perjuangan massa rakyat yang semakin meluas di berbagai belahan dunia. Gerakan pembebasan nasional, protes rakyat menentang keberadaan rezim-rezim komprador, dan berbagai perlawanan rakyat menentang kebijakan anti-rakyat terus meluas di sektor buruh, petani, mahasiswa, perempuan, dan kaum miskin perkotaan. Gerakan rakyat semakin berkobar di pedesaan maupun perkotaan, baik dengan protes damai, reform hingga perjuangan bersenjata.

Krisis di Indonesia
Bagaimana hubungan dialektis antara krisis umum imperialisme dengan krisis ekonomi di Indonesia? Persoalan ini mengandung dimensi ekonomi-politik yang sangat penting dan suatu problem yang khas di zaman imperialisme. Zaman imperialisme menjelaskan dominasi dan hegemoni kekuatan kapitalis atas tatanan ekonomi-politik dunia. Sumber masalah masyarakat dunia dengan demikian adalah segala pikiran dan tindakan yang muncul dari sistem kapitalisme itu sendiri. Disebabkan oleh kedudukannya sebagai negeri-negeri yang bergantung pada imperialisme, krisis umum imperialisme memiliki dampak langsung terhadap Indonesia. Karena, Indonesia diperintah oleh rezim-rezim komprador (kaki-tangan) yang melayani kepentingan imperialisme dengan mengeluarkan berbagai peraturan/perundang-undangan untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat negerinya.

Demikianlah kenyataannya. Rezim-rezim komprador Republik Indonesia yang datang silih berganti, masih dengan setia diperbudak oleh Imperialisme dengan menerbitkan berbagai perundang-undangan betapa pun paket peraturan tersebut bertentangan dengan semangat UUD-1945 yang jelas-jelas memiliki watak anti-imperialisme (kolonialisme). Namun penjebolan atas UUD 1945 yang dilahirkan oleh perjuangan revolusi nasional anti kolonialisme 1945 tersebut telah benar-benar dilakukan oleh rezim-rezim komprador sejak zaman Suharto hingga SBY-JK.

Adalah tiga peristiwa penting bagi Republik Indonesia yang menandai kebangkrutan kedaulatan bangsa setelah proklamasi kemerdekaan 1945.

Pertama, pada zaman pemerintahan Soekarno, melalui Kabinet Hatta, mengadakan persetujuan dengan pemerintahan Belanda, yaitu persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada permulaan tahun 1949. Revolusi rakyat bersenjata yang berkobar sepanjang 1945-1948 dan berhasil mengusir rezim kolonial dari sendi-sendi kehidupan rakyat itu, telah dibatalkan oleh persetujuan damai KMB yang telah merestorasi susunan ekonomi kolonial di Indonesia sekaligus memupus habis harapan proletariat dan rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari penghisapan dan penindasan. Kekuatan borjuasi dengan demikian telah menyelewengkan hakekat kemerdekaan Indonesia dan menyeret jutaan nasib rakyat kembali ke dalam kubangan kolonialisme. Pengorbanan rakyat dengan darah, air mata, jiwa dan raga telah menjadi sia-sia di tangan borjuasi tersebut. Inilah hakekat yang menyatakan bahwa Revolusi Nasional tahun 1945 telah kandas di tengah jalan!

Kedua, munculnya rezim Suharto pada tahun 1966 yang disokong oleh kekuatan Imperialis AS, kemelut politik pada tahun 1965 telah melantik seorang boneka imperialis Suharto dengan jutaan darah rakyat Indonesia yang ditumpasnya. Segera setelah mendudukkan diri sebagai rezim komprador yang loyal kepada tuan penyokongnya, penjebolan UUD 1945 pertama dilakukan dengan terbitnya UU Penanaman Modal Asing No.1/1967. PT. Freeport yang datang dari Amerika Serikat untuk mengeksploitasi tambang di tanah Papua tercatat sebagai investor asing pertama sejak Indonesia Merdeka. Pemerintah imperialis AS sebagai majikan sudah layak mendapatkan keistimewaan tersebut dari rezim Soeharto. Dalam waktu yang tidak lama, imperialis Eropa dan Jepang sebagai kekuatan utama di Asia masuk ke Indonesia yang melahirkan protes gerakan sosial menentang modal asing pada tahun 1974.

Ketiga, Pasca Suharto, benteng kedaulatan politik negeri semakin dihancurkan oleh rezim yang terakhir, yakni pemerintah SBY-JK. Mereka telah menerbitkan Undang-undang Penanaman Modal paling baru Nomor. 25/2007. Salah satu bunyi pasal yang paling pro-imperialis adalah Undang-undang ini mengizinkan kepada swasta asing menggunakan (HGU) kekayaan sumber daya alam kita selama 95 tahun. Artinya, UU ini memiliki kadar penindasan tiga kali lipat dibandingkan UU PMA lama yang memberi waktu 25 tahun. Secara hakiki, rezim SBY-JK telah melipatgandakan kadar penindasannya terhadap rakyat.

Masyarakat pedesaaan semakin dihancurkan. Ekonomi pertanian pedesaan yang suram tanpa hari depan semakin dimiskinkan, dan bertambah menderita karena ditinggalkan oleh tenaga produktif (labour forces) menuju kota sebagai buruh murah (unskilled labour) atau jutaan warga desa yang menjadi buruh migran di negeri-negeri seberang. Rendahnya pendapatan masyarakat desa secara langsung telah menciptakan gizi buruk, busung lapar, hingga rendahnya tingkat pendidikan anak-anak desa yang mengarah pada hilangnya suatu generasi (The lost generation). Inilah kenyataan hidup yang dihadapi oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Dalam ranah kebijakan politik, UU Penanaman Modal 25/2007 secara langsung telah mengkooptasi keberadaan UUPA/1960 ini. Monopoli tanah oleh penguasa semakin memperparah wajah pedesaan yang miskin. Penguasa telah menjadikan penguasaannya atas tanah untuk kepentingan kelas mereka sendiri dan/atau menjadikan jutaan hektar tanah untuk melayani kepentingan imperialis. Hal ini terlihat dari adanya pembukaan jutaan hektar tanah bagi perkebunan kelapa sawit, untuk menyediakan CPO bagi kebutuhan imperialis atas tersedianya energi alternatif. Demikian juga karet, kopra, kayu tanaman industri, dsb.

Kedaulatan Pangan dibawah Kontrol Dewan Tani, Jalan Keluar atas Krisis Pangan & Energi di Indonesia
Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara agraris yang tanahnya subur seperti Indonesia. Krisis pangan saat ini terjadi karena Indonesia bergantung kepada impor yang harganya naik tak terkendali. Kebijakan ini menyebabkan Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional baik dalam penentuan harga maupun tren komoditas yang diperagangkan. Sehingga saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi di dunia internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai pada tahun 2008 ini bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya, seperti kasus beras pada tahun 1998, susu dan minyak goreng pada tahun 2007. Hal serupa juga terjadi pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional seperti beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng. Krisis pangan di awal tahun 2008 ini menunjukkan bahwa tesis tentang pasar bebas untuk kesejahteraan manusia itu tidak berlaku. Bahkan sejak perdagangan bebas dipromosikan WTO, angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 853 juta jiwa pada tahun 2007.
Dengan demikian, kiranya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan dibutuhkan panduan untuk melaksanakan Reforma Agraria Sejati yang menjaminkan TANAH, MODAL, TEKNOLOGI yang MODERN, MURAH, MASSAL untuk PERTANIAN KOLEKTIF di bawah kontrol DEWAN TANI dengan cara,
Pertama, memperluas wilayah kelola rakyat dengan mengadilkan penguasaan sumber agraria [tanah dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya] pada buruh tani dan petani miskin sebagai dasar pelaksanaan satuan-satuan usaha bersama produksi pertanian.
Kedua, mengupayakan adanya kredit usaha [modal produksi], sarana produksi pertanian [pupuk, bibit, penanggulangan hama terpadu], irigasi/pengairan yang murah, tersedia dan tidak merusak lingkungan serta mengadakan penyuluhan-penyuluhan pertanian untuk membantu para petani memecahkan masalah-masalah teknis yang di hadapinya.
Ketiga, mempromosikan perlindungan perdagangan hasil produksi agar tercipta pasar adil dengan menjauhkan para tengkulak dari kaum tani, menghapuskan sistem riba/ijon/tebas dan sistem sewa tanah dalam usaha pertanian.

Seruan Umum
1. Bahwa WTO harus dikeluarkan dari pertanian.
2. Bahwa pembaruan agraria yang sejati sebagai basis kebijakan agraria dan pertanian harus segera dilaksanakan.
3. Bahwa masalah krisis pangan dan energi harus segera dijawab pemerintah dengan cara mematok harga dasar produksi yang menguntungkan petani dan konsumen; memberikan insentif harga kepada petani; mengatur kembali tata niaga pangan dan sumber-sumber energi; menambah produksi pangan dan energi dengan cara segera meredistribusikan tanah objek landreform; menyediakan insentif berupa bibit, pupuk, teknologi dan kepastian pasar bagi petani; memberikan dukungan pelembagaan organisasi petani, yakni kelompok tani, koperasi dan ormas tani. Mereka inilah embrio Dewan Tani yang ke depan bisa memberikan jaminan kesejahteraan bagi kaum tani.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ekologi [merah] - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger